REFLEKSI: Korupsi dan koruptor bukan masalah baru. Mengapa dari dulu tidak berkotek dan baru sekarang? Pemilu mendekati? Tak apa! Biar terlambat asal serius.
SUARA MERDEKA Senin, 09 Juli 2007 TAJUK RENCANA Memaknai Jihad Melawan Koruptor Sikap jihad melawan koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dideklarasikan 14 organisasi kemasyarakatan Islam, harus dipandang sebagai ungkapan geregetan atas akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan yang merugikan negara sebesar Rp 650 triliun tersebut. Geregetan, karena penanganannya yang tidak kunjung tuntas, para pelaku yang enak-enak kabur dan hidup di luar negeri, juga karena rakyatlah yang harus menanggung akibatnya. Sangatlah banyak aspek kehidupan yang terpengaruh, terutama disebabkan oleh kerusakan sendi-sendi perekonomian yang digerus perilaku para "tikus". Korupsi BLBI sebenarnya merupakan masalah lama, dan sangat menyakitkan rakyat ketika disadari betapa rumit penyelesaian yang harus ditempuh, terutama ketika para pelakunya telah kabur dan berlenggang di luar negeri. Berbagai pernyataan, seruan, janji tentang penegakan hukum, dan berbagai opsi penyelesaian sudah ditempuh, namun boleh dikata belum ada yang berhasil menyentuh persoalan. Logika yang pernah dipakai, antara lain mencoba "melunakkan" proses hukum - dengan target yang penting ada iktikad untuk mengembalikan uang yang dikemplang - juga belum membuahkan produk seperti diharapkan. Ke-14 ormas Islam itu berpijak pada logika awam, bahwa BLBI, obligasi rekap, dan program penyehatan perbankan yang diberikan pemerintah mencapai lebih dari Rp 650 triliun, padahal bukankah dana tersebut bisa digunakan untuk membangun fasilitas kesehatan, jalan-jalan di pedesaan, ruang belajar, dan sekolah gratis, serta peningkatan kesejahteraan bagi rakyat miskin? Sudah terlalu lama proses hukum ditempuh, serta janji ditebar, tetapi ketika belum memunculkan perimbangan terapi atas perilaku para pelaku yang telah menggangsir uang negara sebesar itu, apa lagi yang mesti diharapkan oleh rakyat? Bagaimanapun, langkah ke-14 ormas tersebut seperti mengingatkan memori kolektif kita tentang rasa keadilan dan hak-hak rakyat dari uang negara yang akhirnya terkorbankan. Kita memang harus menunggu follow up perjanjian ekstradisi dengan Singapura untuk dapat memulangkan koruptor yang kabur dan tinggal di negeri tetangga itu. Tetapi yang tidak kalah penting adalah kenyataan betapa jejaring hukum kita masih menghadapi fakta-fakta menyakitkan itu, seperti mengapa orang-orang yang seharusnya masuk dalam daftar cegah dan tangkal ternyata mudah lolos, baru kemudian semuanya menjadi belingsatan? Seruan jihad dan semacamnya jangan dilihat apakah efektif atau tidak dalam konteks ini. Yang terpenting, terus berlangsung penggaungan perlawanan terhadap korupsi. Juga menjadi semacam picu untuk membuat "risih" badan-badan penegak hukum kita. Proses hukum yang wajar, termasuk upaya-upaya pengampunan sebagian dosa mereka asalkan mengembalikan uang yang digangsir, terbukti bukan terapi yang efektif untuk menyelesaikan semuanya. Maka dengan menyatunya pandangan dan sikap bangsa, yang setidak-tidaknya terwakili oleh ormas-ormas tersebut, kita berharap ada dorongan yang menjadi lebih kuat lagi. Korupsi kita sadari sebagai extra ordinary crime, tetapi janganlah para pelaku seperti pengemplang BLBI itu malah terposisikan sebagai extra ordinary people dari sisi perlakuan hukumnya. Ada sudut pandang ideal yang mesti kita percayai sebagai tujuan hukum untuk membangun kesejahteraan manusia, antara lain dengan menciptakan rasa keadilan, bukan justru dengan mempertontonkan tergerusnya keadilan. Tidak ada yang kebal hukum di negeri ini, dan 14 ormas Islam itu secara tidak langsung juga mengingatkan pentingnya penghayatan tentang sikap yang sama dalam memandang dan melawan korupsi