Buku bagus tentang cerita. Semoga berguna.

Bukubaruku

Minggu, 01 Juli 2007,
*Lebih Hidup dengan Cerita
*

Judul Buku : Psikologi Naratif: Membaca Manusia Sebagai Kisah
Penulis : Bagus Takwin
Penerbit : Jalasutra, Jogjakarta
Cetakan : 1, April 2007
Tebal : viii + 163 Halaman (indeks)

Cerita secara budaya mengakar sebagai habitus lokal. Dalam berbagai konteks
budaya lokal, cerita mempunyai fungsi-fungsi sosial etis dan medium
pengajaran untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan dengan cara menyenangkan,
menghibur, juga penuh lelucon. Ada cerita Malin Kundang yang melegenda,
cerita tentang Kancil Nyolong Timun di Jawa yang sangat populer, cerita
Ande-ande Lumut yang menggambarkan keikhlasan dan kejujuran seorang
perempuan dan ke-waskitha-nan laki-laki dalam mengambil keputusan mengambil
istri.

Cerita mempresentasikan kearifan dan pusat pengajaran langsung dalam
membentuk imaji kehidupan sosial yang dihayati melalui momentum kebersamaan.
Cerita tidak bisa difungsikan tanpa ada kohesi sosial yang berjejaring.
Cerita dituturkan bukan untuk maksud memberi kepuasan diri, tetapi ia
berjejaring membentuk diskursus sosial agar makna-makna kehidupan sanggup
direproduksi dan tertata secara egaliter untuk mencapai keteraturan sosial
dengan cara bijaksana.

Begitulah, cerita adalah habitus lokal bagaimana imajinasi manusia
menghidupi tatanan sosial dan sebagai cermin buah keakraban. Kemauan membuat
cerita adalah upaya sadar kita bagaimana menjalin hubungan dengan orang lain
lebih dekat. Melalui cerita, antarsesama bisa saling mengakrabi, dari tidak
kenal, dengan sedikit kemampuan diri bercerita maka kedalaman batin
menyentuh dan mendorong andrenalin seseorang untuk mencoba menjadi simpati,
empati atau bahkan tumbuh benih cinta. Nyata atau tidak sebuah cerita, ia
tetap mengambil ruang relaksasi dan menumbuhkan ekstase hubungan di antara
dua orang sekaligus mendapati manfaat menurunkan ketegangan-ketegangan
pikiran seseorang.

Orang menjadi sedih, diliputi stressor yang bertubi dan beragam, stres
karena putus cinta, atau kegagalan adaptasi dari suatu hidup dalam dunia
hiperrealitas yang memenjarakan orang untuk mencari mode-mode hidup lantas
kemudian tidak tercakup kepuasan dirinya atas objek-objek pengharapan
material itu sehingga menjadi tertekan (depresi) dan bunuh diri, padahal ia
sendiri berlimpah materi maka dapatlah orang-orang demikian memiskinkan diri
untuk enggan membuat cerita sebagai imajinasi kreatif memecah kebisuan.
Cerita dapat dikemas sebagai humor untuk meregangkan kepenatan hidup dan
menambah kematangan pribadi sekaligus mendewasakan diri dalam menyikapi
kehidupan.

Tidak sebatas cerita berdampak positif terhadap seseorang. Cerita juga bisa
hadir secara paradoksal dan antagonis dalam relung penghayatan yang
mempribadi. Bahkan sebuah cerita dalam buku akan menjadi sumber obsesi bagi
para pembunuh. Takwin mencoba menghadirkan situasi semacam ini dengan
melihat bagaimana pengaruh buku The Catcher in the Rye yang ditulis
J.DSalinger terhadap dunia batin para pembunuh. Konon buku inilah yang
memberikan penjelasan signifikan terhadap perilaku agresif para pembunuh.

Terbunuhnya musisi John Lennon oleh Mark David Chapman atau percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Ronald Reagan oleh John Warnock Hincklye Jr,
tidak terlepas karena buku Salinger. Mungkin cerita ini menjadi pengalaman
konyol, namun begitulah cerita telah mengambil bagian bagaimana dunia batin
penikmat cerita bermetamorfosis. Apakah dia begitu terinduksi untuk
tenggelam dalam alur ceritanya atau ia mengambil jarak dan memaknai ulang
sebuah cerita. Yang jelas, cerita merupakan diskursus yang membentuk
identitas diri posisional, di mana konteks kehadirannya dan siapa yang
menghadirkan. Takwin mengumpamakan, "seperti sebuah pisau yang baik,
ketajaman buku bisa dimaknai sebagai alat bantu untuk menopang makanan dalam
proses memasak oleh seorang koki atau menjadi alat membunuh oleh seorang
pembunuh" (hlm. 101).

Cerita sebagai narasi diri merupakan mode menjadi (becoming) yang
terus-menerus berproses dan tidak ada ujung pangkalnya sehingga diperlukan
sebuah logika yang bisa menjelaskan proses itu, karena manusia tidak cukup
dimengerti oleh keberadaannya (being) saja. Melalui cerita logika itu
menjadi masuk akal. Memahami otentisitas manusia sebagai identitas diri
naratif yang berubah terus-menerus memerlukan kajian hermeneutika
sebagaimana usaha kita untuk melakukan pemahaman terhadap narasi
historisnya.

Bagus Takwin menjelaskan dengan merujuk pada konsepsi hermeneutika Ricoeur
bahwa hermeneutika berguna untuk memahami identitas diri manusia dalam
konteks dinamika identitas naratif diri. Melalui konsepsi identitas naratif
kita dapat "memahami manusia sebagai pembentuk kisahnya sendiri dalam
interaksinya dengan manusia lain dalam aliran waktu" (hlm. 8).

Identitas naratif mendasari keberadaan diri yang selalu tercakup dan
terintegrasi bersama dengan orang lain. Ia memahamkan kita pada dunia yang
saling terkait sehingga diri seseorang perlu dipahami sebagai bagian dari
diri orang lain. Selain sebagai esensi yang menubuh (embodied), diri naratif
memberikan gambaran kepada kita adanya proses menjadi yang menjelaskan
identitas diri itu terbukti berjejaring mengambil ruang waktu dan kultural
sebagai dialektika diskursif dari rangkaian narasi historis seseorang.

Di antara kisah-kisah itu pribadi manusia tersusun menjadi detail-detail
yang menarik, liku-liku terdiskripsi sebagai rangkaian hidup dan menumbuhkan
makna batin seseorang sehingga mendorong pemahaman manusia terhadap
realitasnya menjadi lebih komprehensif, kreatif dan simpatik (hlm. 56).
Kemampuan orang membuat cerita memberikan artikulasi dan pemahaman lebih
luas tentang identitas dirinya. Kesanggupan orang menghadirkan cerita
menjadi bagian dari dirinya sungguh berarti ia memenuhi kehidupannya dengan
beragam pemaknaan. Menurut logoterapi, kemauan kita menghadirkan kehidupan
dengan beragam cerita-cerita kreatif menunjukkan jika manusia memiliki
hasrat untuk memaknai realisasi pribadi agar bisa keluar dari penderitaan.

Membuat cerita secara terus-menerus sepanjang rentang kehidupan, menurut
Takwin, merupakan tanggung jawab kita sebagai pertanda hadirnya zaman
pemaknaan, walaupun seluruh ruang waktu telah dipenuhi oleh munculnya
beragam teknologi modern dengan ciri komputerisasi. Ia mengajak, "Biarkan
komputer menyelesaikan masalah-masalah teknis dan rutin. Mari kita perkaya
hidup dengan pemaknaan yang mendalam, kreatif, hangat dan riang" (hlm. 58).

Buku ini terasa kaya karena cerita ternyata bisa hadir dalam berbagai
perspektif dan mudah dipahami bagi banyak kalangan, karena cerita bisa hadir
dalam setiap imajinasi seseorang. Kekayaan buku ini terletak pada potret
teoritik yang digali penulis melalui filsafat hermeneutika sebagai deskripsi
identitas diri dan psikologi mengenai keterkaitan cerita sebagai kekuatan
imajiner yang bisa mempengaruhi sikap dan perilaku manusia. Cerita hadir
sebagai komponen kebudayaan. Ia dipraktikkan dalam bentuk oral seperti
dongeng rakyat (folklore) dan bisa melalui buku-buku. Dalam psikologi cerita
memiliki posisi penting yang bisa dijadikan salah satu pendekatan terapi
yang disebut dengan pendekatan terapi naratif. (*)
*) Mohammad Mahpur, peserta Program Doktor Psikologi Sekolah, Pascasarjana
UGM Jogjakarta



2007/6/25, Institute Ecosoc Rights <[EMAIL PROTECTED]>:
>
>
> Tulisan ini adalah sebuah refleksi anak muda yang lahir pasca 65
> setelah membaca A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in
> Indonesia, Karya Benedict R O'G Anderson dan Ruth T McVey
>
> Baca tulisan lengkapnya di blog kami :
> http://ecosocrights.blogspot.com/
>
> Salam
> yanti
>
> 
>

Kirim email ke