Ternyata masalah SBKRI menjadi perhatian serius juga oleh PBB. Di dalam Sidang Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial di Geneva, Swiss, pada 31 Juli-18 Agustus 2007 lalu hal ini sempat menjadi perhatian Sidang Komite. Terbukti dengan adanya seruan dari Sidang Komite PBB itu kepada Pemerintah RI untuk mbenar2 menjalankan penghapusan terhadap kewajiban adanya SBKRI. Karena meskipun UU No. 12 Tahun 2006 telah disahkan. Dalam prakteknya masih saja banyak instansi pemerintah yang meinta SBKRI ini dgn berbagai alasan.
Mungkinkah orang Tionghoa Indonesia yg selama ini gigih memprotes soal SBKRI di Indonesia, telah juga berhasil mendesak PBB mengeluarkan seruan tsb? Luar biasa kalau memang begitu. Saya ajukan pertanyaan sindiran ini karena selama ini oleh sebagain Tionghoa Indonesia selalu menertawakan dan mengejek orang2 Tionghoa yg menyatakan dan memprotes perihal SBKRI ini sebagai salah satu bentuk diskriminasi warisan Orde Baru yg masih terbawa-bawa sampai sekarang. Mereka beranggapan bahwa protes perihal SBKRI itu hanya rengekan cengeng orang Tionghoa, dan diskriminasi yg disebutkan Tionghoa2 itu hanya ilusi dan menyudutkan serta menjelek-jelekkan Indonesia. Setelah pemerintah bersama-sama DPR mengesahkan UU No. 12 Tahun 2006 yg antara lain berisi ketentuan penghapusan SBKRI karena dipandang sebagai bentuk diskriminasi terhadap etnis tertentu. Muncul reaksi yg terasa aneh. Mungkin karena kecewa juga pemerintah mau mengakui SBKRI sebagai salah satu bentuk diskriminasi (yg bertentangan dgn pernyataan mereka) dan mau menuangkan dalam bentuk ketentuan UU (lepas dari bagaimana implemntasinya). Salah satu reaksinya adalah pernyataan bernada sindiran: "Selamat kepada Tionghoa2 Indonesia karena berhasil mendesak pemerintah menghapus SBKRI." Salah satu alasan bahwa SBKRI harus tetap ada adalah u/ menghindari terjadinya pemalsuan identitas Kewarganegaraan. Tetapi anehnya, kewajiban SBKRI itu hanya diterapkan pada etnis Keturunan Tionghoa, sedangkan etnis keturunan Arab tidak pernah diminta. Alasan ini pun sebenarnya tidak bisa diterima. Apa iya kalau ada SBKRI maka lebih menjamin identitas kewarganegaran seseorang tidak dipalsukan? Bahkan SBKRI itu sendiripun bisa dipalsukan, bukan? Jangankan SBKRI, paspor, pun bisa dipalsukan. Uang saja bisa dipalsukan. Jadi, apa argumen tentang harus tetap ada SBKRI u/ lebih menjamin kebenaran status kewarganegaraan seseorang itu bisa dipertahankan? Ada suatu cerita tentang seorang WNI etnis Tionghoa yg sudah turun-temurun WNI, yg diceritakan oleh Arief Heryanto dalam salah satu tulisannya. Di sebuah instansi pemerintah dia diminta SBKRI oleh pegawai yg melayaninya. Terjadi percakapan antara Enin yg WNI Keturunan Tionghoa dgn sang birokrat. "Saudara punya SBKRI?" "Punya." "Mana?" "Tidak saya bawa. Ada di rumah." "Kenapa tidak Saudara bawa? Untuk mengurus ini Saudara harus bisa menunjukkan SBKRI Saudara. Kalau tidak tidak bisa diteruskan karena perlengkapan admnistrasinya tidak lengkap." "Harap maklum, Pak. SBKRI itu adalah dokumen yg paling saya sayangi. Sehingga saya simpan rapat2 di rumah...." Hening sejenak. Tak lama kemudian, Enin mengajukan pertanyan yg menohok logika Orde Baru. "Bapak sendiri punya SBKRI?" "Apa?" "Saya tanya, bapak punya SBKRI?" "Tidak. Untuk apa? Saya pribumi." "Apakah Bapak warganegara Indonesia?" "Jelas. tentu saja!!" "Mana buktinya?" "Maksud Saudara ini apa?!! "Bagaimana kita bisa yakin kalau Bapak ini warganegara Indonesia. Bagaimana Bapak bisa mengaku-ngaku sebagai orang Ondonesia, warganegara Indonesia, sedangkan Bapak tidak punya dokumen resmi yg dapat membuktikan itu?" "???" "Jelek2 begini, saya orang Indonesia. Saya ini warganegara Indonesia. Saya tidak asal mengaku saja seperti bapak. Karena saya punya dokumen resmi yg dapat membuktikan hal ini. Namanya SBKRI." --- Cerita di atas memang benar2 menohok logika Orde Baru. Kalau memang SBKRI adalah dokumen yg paling sahih u/ membuktikan kewarganegraan seseorang, kenapa hanya etnis Tionghoa saja yg mempunyai kewajiban untuk itu? Padahal mereka sudah turun-temurun dilahirkan sebagai WNI. Lain halnya kalau orang tsb apapun etnisnya semula WNA dan hendak menjadi WNI. Dalam kasus2 seperti ini dokumen seperti Akta Kelahiran dan KTP pun dirasakan tidak cukup. Padahal kedua dokumen negara ini dgn jelas-jelas menyatakan bahwa orang tersebut dilahirkan dan mempunyai kewarganegaraan Indonesia. Apakah ini tidak sama dgn instansi yg tetap minta SBKRI itu tidak percaya, atau tidak mengakui pernyataan di dalam Akta Kelahiran dan KTP tsb? Seseorang yg mempunyai etnis pribumi (misalnya etnis Jawa), tidak absolut mutlak dia pasti seorang WNI. Bisa saja dia telah berubah kewarganegaraan menjadi warganegara asing. Jadi kewarganegaraan seseorang tidak bisa dilihat semata-mata hanya dari etnisitas saja. Orang-orang Jawa di Suriname, apakah mereka juga WNI? Jelas, bukan. Sebab sejak turun-temurun mereka adalah Warganegara Suriname sekalipun dari bentuk fisik, ras, etnis dan budaya mereka adalah Jawa. Dan. mereka tetap bangga sebagai orang Jawa, tanpa mengurangi nasionalismenya sebagai Warganegara Suriname. Sudah entah berapa banyak UU yg disahkan, yg bagus di atas kertas, tetapi tidak dalam implementasinya. Tidak terkecuali dgn UU No. 12 Tahun 2006 ini. Berbagai alasan biasa dikemukakan. Misalnya, belum ada juklak, dan sejenisnya. Padahal jika memang punya itikad baik, atau tidak kaku dalam bersikap para birokrat yg masih tetap bersikukuh untuk minta SBKRI itu bisa saja untuk tidak lagi mewajibkan SBKRI ini. Tidak harus menunggu juklak atau sejenisnya. Yang terpenting adalah dapat menghayati esensi dari ketentuan hukum tersebut. Walaupun kewajiban melampirkan SBKRI masih kerap ada, tetapi keadaaanya tidak separah di era Orde Baru lagi. Sebagai instansi pemerintah kelihatannya sudah mempunyai itikad baik untuk mengubahnya dalam birokratisasi dokumen/administarsi kenegaraan yg dulunya selalu mewajibkan SBKRI bagi WNI Keturunan Tionghoa. Yang terpenting bagi WNI Keturunan Tionghoa sendiri harus berani melawan, apabila dalam mengurus administrasi kenegaraan, seperti di Catatan Sipil dan Imigrasi, masih diminta SBKRI. Bikin surat pembaca, atau lapor ke atasannya, bilamana perlu sampai ke level Menteri. Seperti Menteri Hukum dan HAM. Mudah2-an Indonesia tidak harus terus-menerus mendapat tekanan dari luar baru mau benar2 bertindak. -------------------------------------------------------------------------------- Kompas, Jumat, 24 Agustus 2007 PBB Programkan Penghapusan SBKRI Sidang Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial di Geneva, Swiss, pada 31 Juli-18 Agustus lalu, mengharapkan Pemerintah Indonesia membuat program nyata untuk penghapusan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Meski Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menyatakan SBKRI tak berlaku, dalam praktiknya surat itu sering ditanyakan. "Komite berharap, tahun depan SBKRI benar-benar tidak ada di Indonesia," kata Rafendi Djamin dari Human Rights Working Group, Kamis (23/8) di Jakarta. (nwo)