http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=140054

Sabtu, 7 Juli 2007


Pluralitas dan Hubungan Etnik di Kalimantan Barat
Oleh: Hardianti


KALIMANTAN Barat (Kalbar) memiliki tingkat pluralitas yang sangat tinggi. 
Berbagai orang dari agama, dan etnis serta kebudayaan yang berbeda menetap di 
daerah ini. Namun demikian, Kalbar juga dikenal sebagai salah satu daerah yang 
rawan terhadap konflik antar etnis. Hal ini terbukti dengan seringnya terjadi 
konflik yang melibatkan etnik di Kalimantan Barat, diantaranya pada tahun 1967 
yang melibatkan etnis Dayak dengan Tionghoa, tahun 1979, 1996/1997 antara etnis 
Dayak dengan Madura, kemudian tahun 1999 yang melibatkan etnis Melayu dan Dayak 
dengan etnis Madura. Kejadian-kejadian tersebut memakan korban yang tidak 
sedikit, baik nyawa manusia maupun harta benda. Hal itulah yang kemudian 
membuat Kalbar, terutama bagi masyarakat luar identik dengan konflik antar 
etnis. 

Namun jika dilihat lebih jauh dari akar budaya masyarakat di Kalbar, perdamaian 
dan harmoni memegang peranan penting. Pluralitas atau keberagaman yang sering 
dianggap sebagai pemicu konflik justru tidak bisa dipisahkan dari kehidupan 
bermasyarakat. Semua konflik yang terjadi, pada dasarnya bukanlah merupakan 
penolakan terhadap pluralitas etnik, namun lebih dipacu oleh ketidakpahaman 
masyarakat terhadap budaya-budaya lain yang ada di sekitarnya. 

Prasangka-prasangka negatif yang berkembang di kalangan masyarakat membuat 
kesempatan terjadinya konflik berkepanjangan semakin terbuka lebar. Hal ini 
terjadi karena tidak efektifnya komunikasi antar budaya dalam masyarakat. Oleh 
sebab itu, penting kiranya pluralitas dan hubungan antar etnik mendapat 
perhatian khusus dan ditinjau lebih dalam dari segi akademik guna mencegah 
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat pluralitas di Kalbar, 
diantaranya; keadaan geografis dan kebijakan pemerintah. 

Keadaan Geografis 

Kalbar merupakan salah satu provinsi di Indonesia, dimana Indonesia sendiri 
terdiri atas beribu-ribu pulau yang terpisah oleh lautan. Keadaan yang 
demikian, apalagi dengan kedudukan Indonesia yang menjadi daerah transit dari 
berbagai benua, membuat masyarakat Indonesia memiliki berbagai cara hidup yang 
berbeda. Dengan latar belakang yang demikian lahirlah berbagai kebudayaan dan 
tradisi yang berbeda pula. Hal ini lebih diperkuat dengan penyerapan 
budaya-budaya dari luar Indonesia. 

Kalbar juga mengalami hal yang sama. Sebagai daerah yang berada dalam jalur 
perdagangan Internasional pada masa lalu, Kalbar menjadi tempat bertemunya 
berbagai budaya, baik yang datang maupun budaya masyarakat asli. Tak jarang 
para pendatang ikut menetap untuk selamanya di Kalbar. Hal inilah yang kemudian 
mendorong tingginya tingkat pluralitas di provinsi yang berbatasan langsung 
dengan Malaysia ini 


Kebijakan Pemerintah 

Kebijakan Pemerintah juga menjadi salah satu penyebab pluralitas budaya di 
Kalbar. Kebijakan yang dimaksud salah satunya adalah transmigrasi, yaitu 
perpindahan penduduk dari tempat yang padat penduduknya ke daerah yang jumlah 
penduduknya sedikit. 

Kalbar telah menjadi daerah tujuan transmigrasi sejak dulu. Menurut hasil 
statistik, jumlah penduduk daerah ini memang relatif rendah, sehingga 
Pemerintah menjadikannya sebagai tujuan bagi transmigran yang berasal dari 
daerah padat, seperti pulau Jawa dan Madura. Perpindahan tersebut menambah 
keberagaman budaya di Kalimantan Barat, setelah kedatangan penduduk dari daerah 
lainnya, termasuk masyarakat etnis Tiong Hoa. 

Pluralitas yang tinggi memiliki peluang besar terjadinya konflik apabila tidak 
disikapi dengan bijaksana. Arogansi kebudayaan pada setiap kelompok masyarakat 
akan berakibat fatal apabila tidak dapat dibendung dan dikomunikasikan dengan 
berbagai budaya yang ada. Hal ini merupakan realitas kehidupan yang perlu 
disikapi secara tepat. Tidak selamanya pluralitas menimbulkan dampak yang 
negatif bagi kehidupan masyarakat. Bagi setiap manusia yang lahir ke dunia, 
keberadaannya dalam suatu etnis tertentu bukanlah sebuah pilihan. Pada dasarnya 
setiap etnik mengajarkan nilai-nilai kearifan pada masyarakatnya. Selain rawan 
terhadap konflik, keberagaman ini juga memiliki nilai positif. Keberagaman ini 
merupakan salah satu aset negara yang sangat berharga. 

Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya banyak orang dari berbagai suku yang 
bekerjasama dan bahkan bersahabat. Hal ini dapat dilihat di pusat-pusat 
keramaian, seperti di pasar. Setiap orang bekerjasama dengan tujuan yang sama 
pula, yakni memenuhi kebutuhan hidup. Namun di beberapa tempat juga terjadi 
konflik akibat masyarakat yang sama-sama tidak memahami kebudayaan di 
sekitarnya. Sebagai contoh, di daerah-daerah tertentu umumnya masyarakat tidak 
begitu menyukai kebiasaan orang Madura yang selalu membawa clurit ke mana-mana. 
Mereka menganggap hal itu sebagai wujud pamer kekuatan dan tidak wajar. 

Namun jika dilihat dari sudut pandang orang Madura, membawa celurit merupakan 
suatu kebiasaan yang telah menjadi tradisi, layaknya keris bagi para bangsawan 
Jawa. Seperti keris, celurit juga merupakan pelengkap dalam berpakaian, selain 
untuk menjaga diri dari perbuatan jahat orang lain. Jadi penggunaan celurit 
dari sisi ini tidak menunjukkan sikap kesombongan, namun lebih cenderung pada 
kebiasaan dan tradisi yang berkembang. 

Hal ini juga terjadi pada etnis-etnis lainnya. Anggapan yang salah dan terus 
berkembang di masyarakat membuat hubungan antar etnis yang seharusnya dapat 
rukun menjadi tersulut konflik. Pandangan yang menyatakan bahwa orang-orang 
Tiong Hoa selalu korupsi dan bermuka dua, membuat masyarakat etnis lainnya 
tidak mempercayai mereka. Padahal jika dikaji lebih jauh, masyarakat Tiong Hoa 
memegang peranan penting dan turut berjasa dalam pertumbuhan ekonomi di Kalbar. 

Anggapan lainnya, seperti orang-orang Melayu yang memiliki sifat malas, dan 
Dayak yang terbelakang turut memperparah keadaan yang rawan akan konflik. Semua 
anggapan dan pandangan ini sebenarnya tidak dapat dibuktikan secara empirik. 
Sayangnya, pandangan-pandangan negatif ini terus bekembang hingga sekarang. 

Anggapan-anggapan dan kecurigaan antar etnis di Kalbar harus segera ditangani 
lebih serius. Hal ini jika didiamkan hanya akan membawa akibat buruk bagi 
kesejahteraan dan keamanan masyarakat. Semua itu dapat ditanggulangi dengan 
membuka forum komunikasi antar etnis dan mengaktifkan kegiatan-kegitan yang 
berorientasi pada keberagaman etnik. Selain itu masyarakat juga harus membuka 
wahana berpikirnya lebih luas, untuk memahami kearifan yang tersimpan dalam 
budaya masing-masing. 

Dalam hal ini, pemerintah juga dituntut untuk ikut serta secara aktif. 
Pemerintah lewat aparat penegak hukumnya harus mewujudkan supremasi hukum 
secara tegas. Hal ini penting untuk menindak setiap kejahatan, agar tidak 
terjadi kecurigaan yang kemudian berakhir dengan kemarahan masyarakat. Sikap 
keterbukaan, perlakuan yang adil dan pengetahuan luas akan dapat menjembatani 
semua keberagaman yang hidup, bahkan semakin membuat Kalimantan Barat menjadi 
kaya akan budaya, tanpa adanya kerusuhan dan korban jiwa. Semoga. 



Penulis: Mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)Jurusan Dakwah 
STAIN Pontianak 

Kirim email ke