http://www.indomedia.com/bpost/072007/9/opini/opini3.htm
Pudarnya Semangat Nasionalisme KALAU saja Bung Karno (BK) masih hidup, mungkin ia akan menangis melihat Bangsa Indonesia yang dipersatukannya dengan susah payah kini tercabik-cabik, bahkan telah menggerus semangat nasionalisme yang digandrunginya. Nasionalisme yang bersumber kepada Pancasila, adalah landasan dari semangat kebangsaan yang belakangan sempat ternoda oleh keinginan sementara daerah untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menjaga semangat kebangsaan memang bukan perkara mudah, kita harus memiliki semangat nasionalisme yang kuat. Dua pemimpin kita, Soekarno dan Soeharto telah berusaha untuk mempertahankannya dengan cara mereka masing-masing. BK mempersatukan bangsa dengan membakar semangat nasionalisme lewat berbagai ajaran maupun pidato berapi-api yang membuat pendengarnya larut dalam kekaguman. Sedang Soeharto mempertahankan NKRI lewat pemerintahan yang otoriter. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, keduanya berhasil dan NKRI tetap tegak dan tak pernah tergoyahkan. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Dengan tidak mengurangi arti reformasi kita melihat sejak tumbangnya pemerintahan orde baru, persatuan dan kesatuan menjadi semakin rapuh. Demokrasi yang diidam-idamkan, menjadikan Indonesia sebagai negara paling demokratis di dunia. Indikatornya antara lain lahirnya banyak partai, kebebasan yang berlebihan dan keberanian rakyat yang tidak proporsional lagi. Ditambah dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka genaplah sudah warna carut marut kebebasan di negeri ini. Hasilnya terlalu naif kalau dibilang banyak kemajuan. Yang benar justru kemunduran di berbagai sendi kehidupan, baik di bidang ekonomi, politik maupun pemerintahan. Bayangkan, baru sekarang ada bupati/walikota tidak mau taat kepada gubernurnya karena merasa menjadi 'raja' di daerahnya. Banyak lagi contoh tentang ketidakharmonisan hubungan antarpejabat. Perpindahan kekuasaan yang tidak normal, memang harus ditebus dengan harga yang mahal. Reformasi juga membuahkan perpindahan kekuasaan yang tidak biasa. Tetapi sayangnya, tokoh reformis belum siap untuk menjalankan roda pemerintahan. Akibatnya, yang tampil hanyalah orang yang serakah, yang tidak kebagian rezeki di masa pemerintahan sebelumnya. Reformasi sekadar menggeser Soeharto, tetapi warisan budayanya tetap jalan terus. Ini berbeda dengan kelaziman di berbagai negara. Di mana-mana pemimpin reformasi selalu menggantikan pemimpin sebelumnya. Seperti Lech Wallensa di Polandia atau Deng Xiao Ping di China yang membawa paham liberal sebagai koreksi terhadap komunis yang berkuasa saat itu. Di Indonesia, tokoh yang getol memimpin gerakan reformasi malah gagal dalam pemilihan presiden dan yang terpilih tidak serta merta membawa kemajuan bahkan suasana semakin lintang pukang. Hiruk pikuk yang terjadi selama ini, akhirnya menipiskan rasa nasionalisme karena orientasinya hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Bukan untuk kepentingan bangsa, seperti saat BK dan Bung Hatta mengambil alih pemerintahan dari tangan penjajah. Situasi ini bisa bermuara pada merosotnya semangat kebangsaan. Lihat saja Aceh dan Papua, keduanya menuntut merdeka dan kini mendapatkan otonomi khusus, Riau yang dulu tidak puas pada pemerintah pusat pun, mengancam akan memisahkan diri dari NKRI. Ini semua bukti bahwa kadar nasionalisme sudah semakin berkurang. Anehnya pemerintah seperti tidak bereaksi, tidak ada usaha untuk tetap menghidupkan nasionalisme. Zaman BK dan Pak Harto, Pancasila menjadi buah bibir meski dengan nafas yang berbeda. BK menggelorakan Pancasila demi persatuan dan kesatuan. Pak Harto menggunakan Pancasila sebagai alat memperpanjang kekuasaan. Sekarang, hari lahirnya Pancasila setiap 1 Juni pun tidak pernah dikenang. Begitu pula hari besar kepahlawanan yang lain, lewat begitu saja. Kalah dengan Hari Buruh, atau peringatan korban lumpur Lapindo. Demokrasi itu penting, tetapi menjadi tidak ada artinya kalau tidak bisa membawa kemajuan. Sebaliknya, malah menipiskan semangat nasionalisme, menggerus semangat kebangsaan.