Duet Fauzi-Prijanto pasti dapat menangkal merangkaknya Taliban terselubung ke Ibukota RI, dan sangat diharapkan akan membangun DKI sebagai ibukota metropolitan yang lebih nyaman untuk warganya serta para pendatang termasuk pembisnis dan wisman. DM
HKSIS <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Selasa, 03 Juli 2007 Pilkada DKI Adang-Dani dan Fauzi-Prijanto Ditetapkan Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta akhirnya menetapkan dua pasang calon kepala daerah yang berhak menjadi peserta pemilihan kepala daerah, Senin (2/7) di Jakarta Pusat. Kedua pasangan itu adalah Adang Daradjatun-Dani Anwar dan Fauzi Bowo-Prijanto. Menurut anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta, Ariza Patria, penetapan dilakukan karena kedua pasangan sudah mendaftar secara resmi, menjalani proses klarifikasi, tes kesehatan, dan melengkapi semua berkas administrasi yang diperlukan. Adang-Dani didukung Partai Keadilan Sejahtera dan Fauzi-Prijanto didukung koalisi 19 partai politik. Dengan penetapan ini, kedua pasangan terikat dengan semua konsekuensi hukum yang berlaku untuk pilkada. Keduanya juga tidak diperkenankan untuk mundur dan partai pendukung tidak diizinkan menarik dukungan. "Jika pasangan calon sampai mundur atau partai menarik dukungan, pasangan itu tidak diizinkan lagi untuk maju dan partai juga tidak boleh mengajukan calon baru," kata Ariza. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring yang dihubungi terpisah, Senin, menegaskan, partainya tidak pernah berpikir menarik dukungan terhadap pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang diusung PKS. "Sekali PKS memutuskan, pantang membatalkan keputusan sendiri. Itu bukan sikap PKS," katanya tegas. Ia menilai Pilkada DKI kali ini diwarnai sejumlah masalah seperti "pengeroyokan" koalisi partai politik terhadap PKS, praktik politik uang, kasus daftar pemilih tetap yang sulit diuji kebenarannya, dan kasus tidak terdaftarnya 32 persen warga DKI yang memiliki hak pilih. "Saya sungguh memprihatinkan hal ini, tetapi ini bukan alasan buat PKS mundur dari pilkada dengan menarik dukungan terhadap pasangan cagub-cawagub yang diusung PKS. Saya ingin mengingatkan, Pilkada DKI menjadi barometer pilkada di seluruh Tanah Air," papar Tifatul. Di luar Kantor KPUD, sekitar 200 orang dari Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta) dan Gema Jakarta berunjuk rasa untuk mendukung kinerja KPUD. Mereka menganggap KPUD sudah bekerja dengan benar. Kelompok ini hampir bentrok dengan massa mahasiswa dari KAMMI dan BEM Jakarta Raya yang menuduh KPUD tidak netral dalam kasus pendaftaran pemilih. Namun, ketegangan bisa diredam satuan keamanan. (ECA/WIN) http://www.gatra.com/artikel.php?id=105779 Pilkada DKI Uang Muka Calon Gubernur Dosis kesibukan Slamet Kirbiantoro, 59 tahun, sudah menurun akhir-akhir ini. Usai bertarung dalam bursa calon Gubernur DKI Jakarta, ia mengaku babak belur. Selain namanya tidak lolos sebagai calon tetap, pensiunan jenderal itu kini mengaku harus menanggung banyak utang. Tanggungan kepada pihak ketiga ini, katanya, adalah biaya pengeluaran ketika dia mencalonkan diri sebagai peserta pemilihan kepada daerah (pilkada) DKI Jakarta. Pada bursa pemilihan calon Gubernur Jakarta yang berlangsung selama setengah tahun terakhir, pensiunan jenderal bintang dua kelahiran Kutoarjo, Jawa Tengah, 18 Maret 1948, itu mengaku "diperas" oleh sejumlah partai politik. Agar namanya masuk sebagai calon tetap, mantan Pangdam Jaya itu telah mengeluarkan dana sejumlah Rp 2,25 milyar. Dana ini diberikan kepada pengurus partai agar dirinya lebih diperhitungkan. Sumber Gatra yang dekat dengannya mengungkapkan, dana tersebut disetor kepada pengurus dua partai besar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Masing-masing sebesar Rp 1 milyar dan Rp 1,25 milyar. Kirby, demikian alumnus Akademi Militer tahun 1970 itu dipanggil, mengaku diberi janji manis calon tetap Gubernur atau Wakil Gubernur DKI. Untuk itulah, mantan Komandan Satuan Intelijen Badan Intelijen ABRI (BIA) tersebut mengaku tak ragu melepas fulus. Setoran itu, katanya, diberikan langsung kepada pengurus teras partai politik bersangkutan. Penyerahannya tidak kepada bendahara atau ketua partai secara formal, melainkan diterima perorangan. Tidak pula disertai tanda terima atawa tanda bukti yang lain. Yang jelas, katanya, di antara penerimanya adalah pengurus partai yang sedang pada "posisi puncak". Dana yang digelontorkan Kirby itu disetor dalam sembilan giro bilyet dengan pecahan Rp 250 juta. Rinciannya, lima giro diserahkan kepada pengurus partai berlambang banteng gemuk, sisanya diberikan kepada pengurus partai berlogo Ka'bah. Setoran itu mulai diberikan sejak enam bulan lalu. Intensitasnya semakin meningkat menjelang penentuan calon tetap, akhir Mei lalu. Rupanya janji manis partai politik tak sama dengan janji prajurit. Meski sudah kadung memberi setoran, nama Kirby tak nongol sebagai calon jadi. PDIP dan PPP, yang merupakan bagian dari 16 partai yang tergabung dalam Koalisi Jakarta, malah mengusung pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. Merasa tertipu, Kirby bermaksud menagih kembali dana yang telanjur disetorkannya. Sayang, itu tak mudah. Rombongan tujuh orang yang diutusnya menagih ke kantor PDIP DKI Jakarta, Kamis tiga pekan silam, berujung bentrok dengan satgas tuan rumah. Seorang penagih, Ahmad Soleh, terluka di tangan kena sabetan belati. Peristiwa ini tengah ditangani Polres Metro Tebet, Jakarta Selatan. Beberapa calon gubernur yang namanya sempat muncul dalam bursa penjaringan pilkada mengaku diporoti partai politik. Jumlah totalnya belasan milyar rupiah. Selain Slamet Kirbiantoro, tokoh lain yang mengaku diporoti adalah Mayjen (purnawirawan) Edi Waluyo sebesar Rp 4 milyar, Mayjen (purnawirawan) Djasri Marin Rp 2,5 milyar, dan Mayjen (purnawirawan) Asril Tandjung Rp 3,7 milyar. Selain yang memilih blak-blakan, disinyalir banyak "korban" lain yang memilih diam. Beberapa nama jenderal dan sipil sempat beredar pada babak penjaringan bakal calon gubernur. Antara lain Agum Gumelar, Bibit Waluyo, Hendro Priyono, Sjafrie Sjamsoeddin, Farial Sofyan, dan Faisal Basri. Aliran dana itu tentu saja membuat pundi-pundi partai makin gemuk. Di pihak lain, calon yang bersangkutan merasa diperas. Padahal, untuk meraih peluang yang lebih besar, sang calon sering masuk melalui beberapa pintu partai politik. Masing-masing punya harga sendiri. Djasri Marin, misalnya, mengaku masuk melalui berbagai pintu. Pada awal penjaringan, ia mengaku didukung delapan partai Koalisi Jakarta. Dukungan ini tentu saja tak gratis. Terang saja, kantongnya jadi kebobolan. "Duit kami dirampok, tapi mereka mendukung yang lain," kata Djasri Marin, salah satu calon yang kandas melalui pintu PPP dan PDIP. Kepada Gatra ia mengaku telah mengeluarkan dana besar, tapi ternyata cuma gula-gula politik. "Saya malas ngomong itu lagi," katanya setengah frustrasi. Ia melihat, uang yang telah dikeluarkan bukanlah investasi politik. Karena partai tidak memberi kesempatan kepadanya bertarung dalam kancah pilkada. "Ini kan tidak fair," ujarnya. Selama masa penjaringan saja, mantan Komandan Puspom TNI itu mengaku merogoh kocek sebesar Rp 3 milyar. "Untuk mendaftar saja, mereka memungut hingga Rp 50 juta," katanya. Sesudah itu, harus menyumbang untuk setiap kegiatan partai, misalnya musyawarah kerja atau rapat kerja khusus, bahkan acara gerak jalan. Djasri mengaku, pengeluaran sebesar itu dikucurkan kepada PDIP dan PPP. Partai-partai besar memang dituding paling banyak menerima dana setoran. Meski hal ini bukan lagi desas-desus, PDIP memilih menutup kasus ini. "Kami sudah menutup kasus ini karena penerimaan partai tidak pernah terbukti," kata salah satu Ketua DPP PDIP, Tjahjo Kumolo, kepada Gatra. Padahal, di awal kasus ini merebak, partai tersebut langsung memeriksa lima pengurus daerah. Mereka adalah Ketua DPD PDIP DKI Jakarta Agung Imam Sumanto, Wakil Ketua Bidang Pemilu Audi I.Z. Tambunan, Wakil Ketua Bidang Organisasi Supandi, Wakil Ketua Bidang Pemuda Mahasiswa Marsudi Prasetya Edi, dan Sekretaris Eriko Sotarduga. Namun serentetan aksi partai ini terkesan hanya formalitas. Penutupnya tetap happy ending. Menurut Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPD PDIP DKI Jakarta, Audi Tambunan, pihaknya merasa malu dengan tudingan para calon yang tak lolos itu. Ia menjelaskan, dalam bursa pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI yang lalu, pihaknya tidak menerapkan tarif mahar politik seperti ditudingkan selama ini. Namun ia mengakui adanya sejumlah setoran giro atau uang tunai yang diberikan beberapa calon kepada partai. "Itu dana sosialisasi," tuturnya. Dana tersebut digunakan partai untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan kepentingan pencalonan yang bersangkutan. Hal ini, katanya, secara kelembagaan dapat dibenarkan. "Kami tidak pernah meminta uang untuk alasan yang tidak jelas," ia menambahkan. Audi mencontohkan, untuk sebuah pertemuan yang diselenggarakan antara kandidat dan kader di tingkat cabang, seluruh biaya dibebankan kepada kandidat, mulai sewa tempat, makan, minum, hingga seragam. Biaya untuk acara seperti ini bisa cukup tinggi, terutama apabila pertemuan atau acara lain diselenggarakan di hotel atau gedung. Itu semua, tambahnya, tak lebih dari biaya politik yang wajar harus dikeluarkan. "Tak mungkin mereka mau gratis," katanya. Atas segala tudingan yang diarahkan kepadanya, ia mengaku siap memberikan jawaban. Bahkan ia siap berhadapan di depan hukum. "Daripada mengirim orang yang membuat keributan," ujar Audi. Mujib Rahman dan Bernadetta Febriana [Nasional, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 28 Juni 2007] KOMPAS - Selasa, 03 Juli 2007 Menangani Jakarta Tak Mudah Saratri Wilonoyudho Ketika Jakarta sedang menunggu gubernurnya yang baru, banyak orang pesimistis terhadap masa depan ibu kota Indonesia ini meski gubenurnya ganti puluhan kali. Sederhana saja, menangani Jakarta tidak mudah. Ibarat penyakit, Jakarta sudah mengidap kanker yang komplikatif. Ada yang menyebut Jakarta sudah terpenjara birokrasi. Benang sudah ruwet karena kepentingan ekonomi sudah tertancap sehingga susah mengurainya. Menurut PBB (1991) lebih dari 52 persen penduduk perkotaan dunia ada di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Meningkatnya pertumbuhan penduduk perkotaan, termasuk Jakarta, disertai dengan peningkatan level of urbanization. Kalau pada tahun 1950-an hanya 17,1 persen penduduk di negara berkembang yang tinggal di perkotaan, maka pada tahun 1970-an menjadi 24,7 persen dan pada tahun 1990-an menjadi 37,1 persen. Diperkirakan pada tahun 2000-2025 angka-angka tersebut menjadi 61 persen! Sebuah angka yang fantastis. PBB juga memperkirakan sekitar 1 miliar atau 17 persen penduduk dunia saat ini hidup di perkotaan dengan kondisi perumahan dan permukiman yang kumuh dan padat, dan hidup di tengah polusi udara yang kotor (termasuk Jakarta). Dari jumlah itu, 220 juta jiwa tidak memiliki akses ke air bersih, lebih dari 420 juta jiwa tidak memiliki akses WC, dan lebih dari sepertiga sampah padat tidak terurus (Miller, 2000). Kalau pada tahun 1950-an di Indonesia hanya ada satu kota metropolitan, yakni Jakarta. Pada tahun 1970-an ditambah lagi Bandung dan Surabaya. Pada tahun 1990-an sudah tambah lagi Semarang, Medan, Palembang, Bogor, Makasaar, dan lain-lain. Jumlah ini akan semakin bertambah karena diperkirakan pada tahun 2025 tingkat urbanisasi di negeri ini menjadi 59,5 persen (Budhy Tjahjati, 2000). Khusus untuk Jakarta saja, kini kota terbesar di Tanah Air ini sudah nyaris "tenggelam" dengan beban penduduk 10 juta-12 juta jiwa. Sialnya, dari sebagian besar jumlah itu, kualitas sumber daya manusia, kedisiplinan, ketidaktertiban, dan lain-lain masih jadi pertanyaan besar. Rusaknya lingkungan dan kualitas kehidupan di Ibu Kota tampaknya tidak semata-mata dari beban jumlah penduduknya, tetapi juga tergantung dari kualitas penduduk dan pemerintahnya. Keadaan Jakarta itu dapat dipahami sebab, menurut Bishop (2000), persoalan yang muncul di perkotaan umumnya bersumber dari 1) perkembangan penduduk yang cepat, tidak diimbangi dengan jumlah sarana dan prasarana yang memadai; 2) perkembangan kota diatur oleh kekuatan pasar dibandingkan perencanaan strategis. Akibatnya, koordinasi kurang, spekulasi tanah meningkat, termasuk KKN; 3) hukum dan peraturan, manajemen, dan perencanaan hanya lip service dan tidak berjalan; 4) perkembangan kota masih berdasar kepada prescriptive urban landuse planning yang berbentuk penggunaan lahan jangka panjang dan masterplan yang tidak sensitif terhadap perubahan sosial-pasar. Pada akhirnya, visi manajemen perencanaan tidak diikuti oleh perubahan sikap mental birokrasi pelayanan, seperti 1) penataan perangkat pemerintah dan dinas-dinas pelayanan (institutional arrangements); 2) pengaturan luasnya lingkup pelayanan (jurisdictional size); 3) kepekaan dan daya tanggap birokrasi (responsiveness); 4) pemerataan pemberian pelayanan kepada seluruh masyarakat tanpa membedakan golongan (equity); 5) lembaga perwakilan yang mampu menjalankan fungsinya sebagai kontrol dan penyalur aspirasi. Jakarta perlu mempertimbangkan dimensi-dimensi dalam perencanaan kotanya. Dimensi antar-ruang, apa yang terbaik untuk satu kawasan belum tentu baik untuk kawasan lain. Saratri Wilonoyudho Pengajar Planologi pada Universitas Negeri Semarang --------------------------------- Boardwalk for $500? In 2007? Ha! Play Monopoly Here and Now (it's updated for today's economy) at Yahoo! Games.