Benar! 
  Retnowati hanya menggelar "agitprop" atau agitasi dan propaganda, dalam 
bahasa terkini "komunikasi dan informasi" (kominfo) untuk Suharto, teman dekat 
ayahnya. Namun bangsa ini harus siap bahwa masih akan banyak bermunculan buku 
atau tulisan lain yang akan menyanjung Suharto, mendewakannya sebagai malaikat 
tanpa dosa. Memoles indah semua segi negatif dan tak manusiswai dalam 
sejarahnya.
   
  Harap mafhum, menulis dan menerbitkan buku itu tidak murah, jadi yang sanggup 
ria adalah terutama mereka yang berduit. Mereka ini banyak yg masih tentu saja 
menikmati semua keuntungan anugerahnya Orba Suharto. Tambah mereka di LN yang 
"disuruh" oleh pihak-pihak politik dan bisnis yang telah dan terus mengeruk 
menjarah kekayaan alam Indonesia. Tabahlah!
   
  DM
  

HINU ENDRO SAYONO <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
            Retnowati Abdulgani-Knapp tidak hanya terlalu lama tinggal di luar 
negeri, tetapi memang kurang obyektif (untuk tidak mengatakan tidak obyektif) 
dalam penulisannya.
  Namun demikian, biarkanlah dia menulis apa yang seperti sekarang ini. Reaksi 
pasti, -dan sudah-, timbul.
  Masih banyak warga bangsa Indonesia yang normal atau berakal sehat. Tidak 
pikun dan "shortsighted" atau memakai "kacamata kuda".
  Ada aksi, pasti timbul reaksi.
  Menebar angin, pasti menuai badai.
  Semakin banyak buku seperti hasil karya Retnowati akan semakin menelanjangi 
diri Penguasa Orde Baru.
   
  
--- In [EMAIL PROTECTED], "HKSIS" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> 
> ----- Original Message ----- 
> From: [EMAIL PROTECTED] 
> To: [EMAIL PROTECTED] 
> Cc: [EMAIL PROTECTED] 
> Sent: Saturday, 28 April, 2007 12:14
> Subject: [wahana-news] resensi buku Retnowati Abdulgani tentang Soeharto
> 
> 
> Dimuat pada rubrik Pustaka, Media Indonesia, 28 April 2007
> 
> Retnowati Abdulgani-Knapp, Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia's
> Second President, Singapore: Marshall Cavendish Editions, 2007
> 
> PEMBELAAN BAGI SOEHARTO ?
> Oleh Asvi Warman Adam
> 
> 
> Buku ini diterbitkan sebuah penerbit swasta Singapura yang sudah 
> menghasilkan beragam buku dari manajemen perusahaan sampai resep masakan
> dan cara menghilangkan kegemukan. Ditulis oleh putri kedua Ruslan
> Abdulgani yang lulus sarjana hukum UI tahun 1968 kemudian ikut ayahnya
> yang bertugas di AS. Retnowati bekerja pada bidang perbankan di New York
> sampai 1978 sebelum kembali ke Indonesia. Kini ia berprofesi sebagai
> konsultan dan tinggal di Bangkok dan London. Entah suatu kebetulan atau
> tidak, buku ini terbit dan diluncurkan beberapa waktu setelah Kejaksaan
> Agung mengumumkan akan memperkarakan Yayasan-Yayasan Soeharto secara
> perdata.
> 
> Saya setuju dengan Retnowati yang ingin melihat secara sejarah
> pemerintahan Soeharto secara berimbang. Benar bahwa dalam masa Orde Baru
> terjadi kemajuan misalnya dalam swasembada beras, keluarga berencana dan
> peningkatan kesehatan masyarakat seperti penurunan tingkat kematian (bagi
> ibu yang melahirkan) dan kenaikan harapan hidup. Bung Karno tahun 1964
> mengatakan kepada wartawati Newsweek bahwa saat itu penduduk Indonesia 100
> juta, kalau ditambah dua kali lipat, tanah air yang kaya ini masih sanggup
> menampungnya. Kini masalahnya, kekayaan alam itu sudah terkuras terus
> menerus tanpa bisa dicegah. Kalau penduduk berlipat ganda namun tidak
> diikuti perkembangan ekonomi, maka itu hanya akan menambah jumlah penduduk
> miskin yang tidak terurus.
> Pembentukan ASEAN adalah hal yang positif dalam politik luar negeri
> Indonesia. Karena ini menciptakankan situasi regional yang kondusif untuk
> pembangunan ekonomi masing-masing negara. Tidak disebut dalam buku ini
> tetapi saya ingin menambahkan bahwa penampungan pengungsi Vietnam di pulau
> Galang pasca banjir "manusia perahu" tahun 1976 yang dikelola dengan baik
> merupakan prestasi yang mengharumkan nama Indonesia.
> Namun pertumbuhan ekonomi secara makro yang cukup signifikan itu ternyata
> harus dibayar dengan menekan demokrasi dan mengorbankan hak asasi manusia
> (HAM). Pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1965 sampai 1998 telah
> memakan korban jiwa hampir sejuta jiwa. Ini meninggalkan penderitaan dan
> trauma yang berkepanjangan sampai sekarang.
> 
> Soal Kesehatan dan Yayasan
> Tidak ada hal baru dalam pengisahan tentang masa kecil dan karier
> ketentaraan yang berujung pada jabatan Presiden terlama dalam sejarah
> Indonesia sampai "lengser keprabon" tahun 1998. Persoalan krisis ekonomi
> menjelang kejatuhan Soeharto sudah dibicarakan oleh berbagai buku lain.
> Mengenai bisnis putra-putri Soeharto, Retnowati hanya menyinggung sambil
> lalu walaupun ayahnya pernah mengingatkan Soeharto untuk tidak
> mencampurkan antara azas kekeluargaan (family-style affairs) dengan azas
> keluarga (family affairs).
> Retnowati mencoba menempatkan Soeharto sebagai orang Jawa dalam sikap dan
> kebijakannya. Menurut Retnowati kekuasaan Soeharto diperoleh melalui
> "wahyu" yang diterima oleh istrinya. Ketika Tien Soeharto meninggal tahun
> 1996, maka "wahyu" itu ikut tercabut dari Soeharto. Tentu boleh saja
> analisis semacam itu, walaupun Retnowati tidak tepat ketika menyatakan
> bahwa Soekarno melihat primbon dalam menentukan proklamasi jatuh pada
> tanggal 17 Agustus 1945. Dalam pertemuan dengan Soeharto dan keluarga di
> Kemusuk, Yogya dan Klaten bulan September 2005, penulis berusaha
> menampilkan kesederhanaan "orang kuat" Indonesia itu dalam kesehariannya.
> Tidak benar ada emas yang disembunyikan di Kalitan Solo atau makam
> Mangadeg tidak semegah yang digosipkan orang.
> Dengan kemasan "sejarah yang berimbang" itu penulisnya juga menyampaikan
> kritik secara umum tentang keadaan pada masa Orde Baru misalnya tentang
> korupsi yang merajalela antara lain di Bulog dan Pertamina. Ia juga
> mengecam kebijakan penguasa dalam kasus penyerbuan kantor PDI Megawati
> tanggal 27 Juli 1996. Namun yang lebih menonjol sebetulnya adalah masalah
> kesehatan dan Yayasan-Yayasan yang didirikan Soeharto.
> Retnawati mengungkapkan riwayat kesehatan Soeharto termasuk operasi yang
> pernah dijalani. Betapa sulitnya Soeharto untuk berkomunikasi kini tampak
> dari hasil test yang diberikan tim medis. Untuk "Test Pemahaman Umum", ia
> hanya memperoleh nilai 8 per 20. Dengan menggunakan test Hachinski yang
> dimodifikasi Eisdover (1985), Soeharto mendapat nilai 1 dan 2 per 10.
> Kalau mengikuti kriteria kelulusan Ujian Nasional tingkat SMP dan SMA
> sekarang itu masih kurang.
> 
> Sampai kini masih ada tujuh Yayasan yang didirikan oleh Soeharto untuk
> aneka keperluan yaitu Trikora, Supersemar, Dharmais, Amalbakti Muslim
> Pancasila, Dakab, Gotong Royong and Damandiri. Dakab misalnya untuk
> membantu keluarga besar Golkar dalam pemilu. Retnowati menemui para
> pengurus Yayasan tersebut, antara lain Syaukat Banjarsari (mantan
> Sekretaris Militer Presiden) untuk Yayasan Trikora dan Sulastomo untuk
> Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila.
> 
> Di dalam buku ini diuraikan secara panjang tentang sejarah pendirian
> Yayasan itu. Benar bahwa yayasan itu telah memberikan bantuan berharga
> bagi para penerimanya (pelajar, mahasiswa, janda prajurit, anak yatim
> piatu, dst). Sebanyak 953 mesjid telah dibangun di seluruh Indonesia. Itu
> bagus. Namun yang jadi persoalan adalah cara penerimaan dana yayasan itu
> dan pengelolalaannya. Karena ada di antara dana yayasan itu yang digunakan
> oleh keperluan bisnis kroni Soeharto (termasuk putranya). Demikian pula
> dengan dana amal bakti muslim Pancasila. Menurut Soeharto ia telah
> menyurati Ketua Korpri yang setuju dengan pemotongan gaji pegawai negeri
> sipil (beragama Islam). Tetapi sebetulnya gaji itu adalah hak perorangan
> yang tidak bisa dipungut begitu saja. Setelah Soeharto jatuh, potongan itu
> dihentikan.
> Sudradjat Djiwandono mantan Menteri era Soeharto yang kini bermukim di
> Singapura dalam pembahasan buku ini mengutip Lee Kuan Yew (The Singapore
> Story, 1965-2000) tentang tulisan pada majalah Forbes bahwa asset Soeharto
> dan keluarganya berjumlah 42 milyar USD yang ditanamkan di Indonesia. 
> Retnowati menanyakan hal itu kepada Soeharto yang menjawab "Ya, itu uang
> Yayasan". Menurut Sudradjat, jawaban itu tidak tuntas, pertama, apakah ya
> itu berarti jumlah asset Soeharto memang sebanyak itu dan kedua mengenai
> berbagai hal terkait dengan kekayaan tersebut.
> Beberapa kritik
> Dalam buku ini beberapa hal perlu dipertanyakan. Misalnya Retnowati
> menulis bahwa candi Borobudur terletak antara Yogya dan Solo (hal 305).
> Mungkin yang dimaksudkannya adalah candi Prambanan. "Indonesia's
> nationalist movement started back in 1825 with Kebangkitan Nasional" (hal
> 335) Apakah yang dimaksud pecahnya perang Diponegoro sebagai awal
> kebangkitan nasional ?
> Ia juga mengatakan bahwa "rakyat bisa memberontak terhadap Soeharto tetapi
> mereka tidak melakukannya".(hal 338) Retnowati terlalu lama di luar negeri
> sehingga kurang menghayati betapa kerasnya represi rezim Soeharto terhadap
> pihak yang kritis. Jangankan untuk berontak, untuk beda pendapat saja
> tidak boleh. Ini yang terjadi dengan para penandatangan petisi 50, mereka
> dicegal ke luar negeri dan perusahaan mereka dimatikan. Bahkan untuk
> menghadiri pesta pernikahan pun dilarang apabila acara itu dihadiri
> Presiden Soeharto. Jenderal polisi Hugeng misalnya pernah dihubungi
> Soemitro Djojohadikusumo ketika akan menikahkan putranya Prabowo dengan
> Titiek Soeharto. Namun kemudian Soemitro menelpon Hugeng meminta maaf
> karena ada "permintaan" agar Hugeng tidak usah hadir dalam acara tersebut.
> Pada hal 347 ia menulis bahwa "President Soekarno had been fooled by the 
> PKI and President Soeharto by the conglomerates and his cronies". Kedua
> Presiden itu menurut saya tidak mudah dibodohi. Pernyataan itu sangat
> menyederhanakan persoalan. Soekarno menjaga perimbangan kekuatan politik
> antara Angkatan Darat dengan PKI sedangkan Soeharto juga memanfaatkan
> konglomerat.
> Dalam buku ini uraian tentang kesehatan Soeharto panjang lebar, tetapi
> Bung Karno terkesan tiba-tiba sakit tahun 1970. Ada yang ditutupi yakni
> fakta bahwa selama dalam proses pemeriksaan dan menjadi "tahanan rumah" di
> Wisma Jasso, Soekarno yang mengalami sakit ginjal hanya diberi vitamin B
> oleh perawat. Resep obat yang ditulis Dr Mahar Mardjono hanya disimpan di
> dalam laci, tidak dibelikan ke apotek. Dr Kartono Mohammad menyimpulkan
> bahwa Soekarno tidak dirawat sebagaimana semestinya. Ini berbeda seperti
> bumi dengan langit dengan perawatan Soeharto sekarang. Ungkapan bahwa
> Soeharto menjalankan prinsip mikul dhuwur mendhem jero, itu sama sekali
> tidak benar dalam kasus perawatan terhadap sang proklamator.
> Pesan utama yang ingin disampaikan buku ini bahwa Soeharto memang
> betul-betul sakit dan Yayasan-yayasan yang didirikannya itu sudah berjasa
> membantu banyak pihak. Sesuai dengan Pancasila dan sejalan dengan asas
> gotong royong. Setuju pak Jaksa Agung ? ***
> 
> 
> 
> 
> Yahoo! Groups Links
>

  

         


       
---------------------------------
Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?
 Check outnew cars at Yahoo! Autos.

Kirim email ke