Membaca artikel Luthfi dari alinea atas sampai paling bawah kok saya tidak 
menemukan kata "BODOH" ya, atau berkesimpulan seperti itu. Walau mungkin kata 
itu tak tersurat, kata "salah" tak musti dimaknai dengan "bodoh", sebaliknya 
kata "benar" tak musti dimaknai dengan "pandai" atau "pintar". Banyak orang 
yang diakui pintar di satu bidang atau lebih tapi kerap melakukan kesalahan. 
Contohnya, begitu banyak orang yang bergelar sarjana bahkan menyandang gelar 
doktor bin jendral, tapi rajin melakukan KKN. Juga Azahari yang bergelar doktor 
tapi jadi teroris karena ingin masuk surga ditemani 32 bidadari. Bukankah itu 
berarti orang pintar yang melakukan tindakan yang salah? 
   
  Sebaliknya, banyak pula orang yang dicap  bodoh - tak berilmu dan tak pernah 
makan sekolah - tapi bisa saja ia meniti di jalan yang benar.  Contohnya 
mungkin orang Badui dan Tengger, walau mereka mungkin buta huruf tapi 
berperilaku jujur. Mereka begitu mencintai alam dimana mereka tinggal, tak 
hidup sembarangan seperti orang-orang berpendidikan formal yang menebang hutan 
seenaknya sehingga malah menciptakan bencana demi bencana. Secara umum, banyak 
orang bisa menilai bahwa mereka orang yang benar. 

  Memang, kita tak bisa 100% mempercayai polisi. Di tubuh kepolisian pun - ada 
good cop dan ada bad cop - seperti kerap ditayangkan di film-film Hollywood dan 
Bollywood. Tak hanya di POLRI, di lembaga-lembaga lain milik Pemerintah pun 
banyak kotornya. Itu karena ulah para birokrat yang mempermainkan sistem tata 
kelola, yang dibiarkan oleh rezim Soeharto selama berpuluh-puluh tahun lamanya. 
Untuk merombak total memang harus dengan revolusi damai (tanpa tetesan darah), 
tapi bukan dengan jihad Islam baik yang terang-terangan maupun terselubung 
(baca: merangkak), karena akan membuat negeri ini jadi kian kacau balau. Tapi 
kalau ada sebagian orang membenarkan jihad  demi tegaknya Syariat Islam, ya 
monggo. Kalau NKRI pecah  menjadi beberapa negara kecil, kita juga bakalan tak 
dapat apa-apa toh? 
   
   
  
Farid Gaban <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          Salam,

Di bawah ini saya posting tulisan Luthfi Assyaukanie (peneliti Freedom
Institute dan aktivis Jaringan Islam Liberal) berkaitan dengan
penangkapan Abu Dujana.

Tulisan Luthfi ini ingin mengatakan bahwa orang yang tidak mengikut
polisi, tidak percaya polisi, adalah mereka yang "bersimpati pada
teroris".

Muslim yang mempertanyakan tindakan dan klaim polisi, mengikuti logika
Luthfi, adalah Muslim yang BODOH karena tidak bisa membedakan antara
Islam yang benar dari Islam yang salah.

Saya merasa bersyukur menjadi Muslim yang bodoh dalam definisi Luthfi
ini. Alhamdulillah....

Farid Gaban
(Tulsian Luthfi ada di bawah ini)

Koran Tempo | Selasa, 26 Juni 2007

Islam Benar Versus Islam Salah

Oleh Luthfi Assyaukanie
(Peneliti Freedom Institute, Jakarta)

Pada akhir 2005, mantan presiden Abdurrahman Wahid menulis sebuah
artikel di Wall Street Journal dengan judul seperti di atas ("Right
Islam Versus Wrong Islam"). Tulisan itu kemudian diterbitkan ulang di
beberapa koran ternama, seperti New York Times dan Washington Post,
serta dimuat di ratusan website penting. Tulisan Gus Dur itu sangat
relevan untuk kita baca dan renungkan kembali akhir-akhir ini, di saat
kaum muslim terbelah dalam menyikapi penangkapan teroris Abu Dujana.

Saya menerima e-mail dari beberapa mailing list Islam, yang
menunjukkan sikap simpati dan pembelaan terhadap Abu Dujana sambil
mengecam tindakan polisi yang brutal. Beberapa media juga tampak
berlebihan dalam mengecam sikap polisi yang sudah susah payah
melakukan tugasnya yang penuh risiko. Merasa dipojokkan, Sabtu (23
Juni) lalu polisi mengeluarkan laporan kronologi penangkapan Abu
Dujana. Tampak jelas bahwa polisi sudah melakukan prosedur penangkapan
secara benar.

Tulisan Gus Dur satu setengah tahun silam itu mengajak kita semua
untuk secara jernih membedakan mana Islam yang benar dan mana Islam
yang salah. Menurut tokoh Nahdlatul Ulama itu, para teroris yang kerap
mengatasnamakan Islam adalah orang-orang yang keliru. Mereka mewakili
Islam yang salah. Untuk melawan mereka, "kaum muslim harus
mengkampanyekan pemahaman Islam yang 'benar', yakni mereka harus
berani mengecam ideologi ekstremis".

Saya mencoba merenung mengapa kaum muslim begitu sulit mengecam para
teroris, padahal, selain telah menyusahkan ekonomi orang banyak
(akibat hengkangnya para investor, misalnya), para teroris jelas-jelas
sudah mencoreng-moreng wajah Islam. Kaum muslim semestinya menyadari
bahwa apa yang dilakukan para teroris sejak beberapa tahun terakhir
telah mencemari citra Islam jauh lebih buruk daripada yang pernah
dilakukan penulis mana pun.

Kaum muslim kerap mengeluh dan mengecam para orientalis yang dianggap
telah mencemari citra Islam, tapi apa yang dilakukan para teroris,
menurut hemat saya, jauh lebih dahsyat dan memiliki dampak lebih luas
ketimbang karya para orientalis itu. Ironisnya, belum pernah ada
gerakan serius dari kaum muslim untuk mengecam terorisme.

Paling tidak sampai hari ini, saya belum pernah mendengar lembaga atau
otoritas Islam, baik di Mesir, Pakistan, Iran, Kuala Lumpur, maupun di
Indonesia, yang mengeluarkan fatwa mengecam Usamah bin Ladin.
Satu-satunya pernyataan (fatwa) semacam ini dibuat oleh sebuah
organisasi Islam di Spanyol. Tampaknya kaum muslim memang tidak peduli
terhadap citra Islam di mata dunia internasional.

Saya berandai-andai, sekiranya Abu Dujana itu bernama lain yang
melakukan tindakan terorisme karena menginginkan uang atau harta,
mungkin kaum muslim tidak akan membelanya atau paling tidak tak akan
memperlihatkan rasa empatinya, sekalipun, misalnya, para polisi
melakukan tindakan lebih brutal dalam menangkapnya. Mungkin tak akan
ada Tim Pembela Muslim (TPM) yang sangat gigih membela orang-orang
yang selama ini dituduh teroris.

Sikap empati berlebihan terhadap para teroris yang mengatasnamakan
Islam menunjukkan bahwa kaum muslim memang belum mampu membedakan apa
yang oleh Gus Dur disebut "Islam benar" dan "Islam salah". Mereka
seakan-akan masih menaruh kebimbangan terhadap apa yang dilakukan oleh
para teroris itu: jangan-jangan apa yang dibuat para teroris tersebut
ada benarnya; bukankah mereka sedang memperjuangkan Islam?

Memang tidak mudah menyamakan tindakan kriminal atas nama agama dengan
kriminal umum, misalnya, atas nama uang. Kaum muslim selalu merasa
bahwa ada yang luhur dari perjuangan atas nama agama. Apalagi para
teroris itu selalu menggunakan istilah-istilah yang selama ini akrab
di telinga mereka, seperti jihad, syahid, melawan thaghut, dan li
i'lai kalimatillah (menegakkan kalimat Allah).

Tapi, kalau kaum muslim terus-menerus membela atau menaruh sikap
simpati kepada para teroris, saya khawatir upaya negara menumpas
terorisme dan kekerasan atas nama agama secara umum akan sia-sia,
karena para teroris atau para pelaku tindak kekerasan akan terus
merasa bahwa mereka tidak sendirian; ada orang yang secara diam-diam
terus mendukung dan memberi simpati terhadap perjuangan mereka.

Akar dan penyebab munculnya terorisme tentu bermacam-macam: bisa
karena persoalan ekonomi, politik, psikologi, rasa tertindas, dan bisa
juga gabungan dari semua unsur itu. Tidak ada jalan pintas untuk
mengatasi masalah ini. Namun, kerja sama dalam menumpasnya mutlak
diperlukan. Yang harus dilakukan kaum muslim sekarang adalah
memperlihatkan sikap tegas bahwa mereka tidak menyetujui para teroris.
Otoritas agama, seperti Majelis Ulama Indonesia, saya kira sudah
seharusnya berbicara. Jika selama ini MUI begitu mudah mengeluarkan
fatwa kepada kelompok-kelompok "sempalan" (seperti Ahmadiyah dan
Salamullah), mengapa lembaga ini tidak juga mengeluarkan fatwa kepada
kelompok yang jelas-jelas sudah jauh menyempal?

Penangkapan terhadap Abu Dujana adalah sebuah prestasi yang harus
didukung, bukannya dikecam sambil terus mengeksploitasi emosi
masyarakat untuk membenci polisi. Tanpa harus dikatakan, masalah hak
asasi manusia adalah persoalan yang perlu diperhatikan, tapi sikap
empati berlebihan terhadap para teroris akan berdampak buruk bagi
upaya perang terhadap terorisme di masa depan.

Gus Dur telah memperlihatkan sikap yang sangat bijak ketika menanggapi
para pengacara TPM yang mengecam polisi dan meminta polisi mencabut
status teroris Abu Dujana. Dengan tegas, Gus Gur berkata, "Kenapa
mesti dicabut? Mereka memang teroris, kok," (detik.com, 23 Juni).
Sebaliknya, Gus Dur merasa keberatan dengan para teroris yang kerap
menggunakan istilah-istilah Islam, seperti "jihad", untuk membenarkan
tindak kejahatan mereka.

Bagi Gus Dur, mengetahui "Islam benar" dan "Islam salah" itu penting.
Tapi lebih penting lagi menyatakan keduanya secara tegas. Kita
berharap, beberapa hari mendatang, para tokoh Islam yang lain memiliki
ketegasan sikap seperti Gus Dur dalam menyikapi kasus penangkapan Abu
Dujana.***



         

       
---------------------------------
Yahoo! oneSearch: Finally,  mobile search that gives answers, not web links. 

Kirim email ke