Re: [mediacare] Re: Ujian Cinta dari Geger Kalong

2006-12-23 Terurut Topik Kartono Mohamad
Tanya jawab yang dikisahkan oleh mbak Aris ini mengungkap bahwa memang
poligami adalah urusan syahwat dengan menanyakan "pilih suaminya berpoligami
atau melacur". Jadi dalih poligami mengikuti sunnah Rasul atau ibadah memang
hanya omong kosong. Sebagai seorang terdidik di perguruan tinggi, mbak Aris
tidak menyampaikan bukti-bukti bahwa kalau sudah berpoligami maka laki-laki
tidak akan mencari pelacur lagi.
KM 
 
---Original Message---
 
From: mediacare@yahoogroups.com
Date: 12/22/06 22:35:39
To: mediacare@yahoogroups.com
Subject: [mediacare] Re: Ujian Cinta dari Geger Kalong
 

Yahhh...kalu udah punya isteri dan anak jgn sampe punya pikiran untuk 
berzinahgampang kok. So, jangan jadikan, mencegah perbuatan zinah 
atau berzinah itu sebagai "excuse" untuk bisa menikah lagi 
(poligami). Heran, udah menikah kok masih punya pikiran untuk 
mencegah diri berzinah.! 

Latief 

--- In mediacare@yahoogroups.com, aris solikhah <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Dari kiriman teman 
> 
> Ujian Cinta dari Gegerkalong
> 
> 20 Des 06 10:21 WIB
> 
> 
> 
> Oleh Bahtiar HS
> 
> “Pak Herman, gimana nih, Pak?”
> 
> Pak Suherman Rosyidi, dosen Fakultas Ekonomi Unair
> yang tetangga saya itu menoleh kepada asal suara. Dua
> orang sekretaris Dekan menegurnya di pintu masuk ruang
> itu. Keduanya perempuan. Seorang, sebut saja Bu A
> sudah memiliki 3 orang anak. Dan Bu B sudah menikah
> tetapi belum dikaruniai anak.
> 
> “Gimana apanya, Bu?” tanya Pak Herman pada
> mereka.
> 
> “Gimana kok Aa’ Gym menikah lagi,
> Pak?” keluh Bu A. “Kenapa mesti
> poligami?”
> 
> Pak Herman tersenyum. Kalau ada masalah-masalah
> seperti ini, anggota Dewan Ekonomi Syariah itu memang
> biasa menjadi “jujugan”. Tempat bertanya
> atau mengadu. Beliau kemudian menghampiri kedua ibu
> muda itu.
> 
> “Begini, Bu,” kata Pak Herman. “Coba
> jawab pertanyaan saya dengan jujur dan ikhlas, dari
> hati nurani ibu yang paling dalam.”
> 
> “Apa itu, Pak?” sergah Bu B.
> 
> “Tolong pilih satu di antara dua,” kata
> Pak Herman berteka-teki. “Kalau ibu disuruh
> memilih, antara: merelakan suami ibu menikah lagi atau
> merelakan suami ibu melacur, ibu pilih yang
> mana?”
> 
> Kedua wanita itu terperanjat seperti mendapatkan
> pertanyaan yang tak pernah didengar sekalipun selama
> hidupnya.
> 
> ”Kok pertanyaannya seperti itu, Pak?”
> protes Ibu A.
> 
> “Saya tak memilih dua-duanya, Pak!” tegas
> Ibu B.
> 
> “Ok. Ok,” potong Pak Herman.
> “Jikalau pertanyaan itu terlalu berat untuk
> dijawab, pertanyaannya saya ganti.”
> 
> “Diganti gimana, Pak?”
> 
> “Saya ganti begini,” lanjut Pak Herman.
> “Jikalau ada seorang isteri diberikan pilihan --
> bukan Anda berdua, lho? -- yaitu merelakan suaminya
> menikah lagi atau merelakan suaminya melacur,
> kira-kira isteri itu milih yang mana?”
> 
> Kedua ibu itu saling berpandangan. Keraguan segera
> merayap dalam senyap. Pak Herman sendiri dengan sabar
> menunggu. Dan dalam sepuluh-lima belas detik kemudian,
> seseorang menjawab.
> 
> “Ya, pilih suami menikah lagi, Pak?” kata
> Bu A sambil melirik, mengharap dukungan Bu B di
> sebelahnya. “Bukan begitu, Bu?”
> 
> Bu B mengangguk-angguk. “Ya, gimana lagi kalau
> pilihannya hanya itu.”
> 
> “Alhamdulillah,” jawab Pak Herman.
> “Ibu-ibu ternyata masih bersih.”
> 
> “Masih bersih gimana, Pak?” tanya keduanya
> hampir berbarengan.
> 
> “Ibu-ibu masih bersih,” jelas dosen itu.
> “Masih bisa membedakan antara yang benar dan
> yang bathil. Antara yang halal dan yang haram.”
> 
> ***
> 
> “Saya heran sama orang Indonesia , Pak
> Herman!” seru Bu Icy dengan logat Amerikanya
> yang tak bisa dihilangkan.
> 
> “Heran gimana, Bu?” tanya Pak Herman pada
> temannya yang sesama dosen itu. Sudah berbilang tahun
> wanita itu mengajar di kampus ini sejak ia menikah
> dengan orang Indonesia asli.
> 
> “Mengapa mereka menolak poligami yang
> nyata-nyata ada dan dibolehkan di dalam Islam?”
> tanyanya sungguh.
> 
> Pak Herman sejenak tersentak. Bagaimanapun yang ada di
> hadapannya itu adalah wanita Barat. Bukan muslimat
> lagi. Ia penganut Kristen. “Menurut Ibu, apa
> yang menyebabkan mereka seperti itu?”
> 
> “Masalahnya sudah jelas, Pak Herman. Kalian,
> orang Indonesia , sudah terkontaminasi dengan apa yang
> datang dari Barat.”
> 
> “Apa itu?”
> 
> “Kapitalisme!”
> 
> “Kapitalisme?”
> 
> “Ya. Sebuah pandangan yang menganggap segala
> yang dipunya sebagai ‘milik’. Suami saya
> adalah milik saya. Bukan dan tak akan menjadi milik
> wanita lain. Tak logis dalam benak mereka untuk
> berbagi suami dengan orang lain. Itulah ruh
> kapitalisme, Pak.”
> 
> Pak Herman manggut-manggut. Tak dinyana,

[mediacare] Re: Ujian Cinta dari Geger Kalong

2006-12-22 Terurut Topik latipuscaverius

Yahhh...kalu udah punya isteri dan anak jgn sampe punya pikiran untuk 
berzinahgampang kok. So, jangan jadikan, mencegah perbuatan zinah 
atau berzinah itu sebagai "excuse" untuk bisa menikah lagi 
(poligami). Heran, udah menikah kok masih punya pikiran untuk 
mencegah diri berzinah.! 

Latief   


--- In mediacare@yahoogroups.com, aris solikhah <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Dari kiriman teman 
> 
> Ujian Cinta dari Gegerkalong
> 
> 20 Des 06 10:21 WIB
> 
>  
> 
> Oleh Bahtiar HS
> 
> “Pak Herman, gimana nih, Pak?”
> 
> Pak Suherman Rosyidi, dosen Fakultas Ekonomi Unair
> yang tetangga saya itu menoleh kepada asal suara. Dua
> orang sekretaris Dekan menegurnya di pintu masuk ruang
> itu. Keduanya perempuan. Seorang, sebut saja Bu A
> sudah memiliki 3 orang anak. Dan Bu B sudah menikah
> tetapi belum dikaruniai anak.
> 
> “Gimana apanya, Bu?” tanya Pak Herman pada
> mereka.
> 
> “Gimana kok Aa’ Gym menikah lagi,
> Pak?” keluh Bu A. “Kenapa mesti
> poligami?”
> 
> Pak Herman tersenyum. Kalau ada masalah-masalah
> seperti ini, anggota Dewan Ekonomi Syariah itu memang
> biasa menjadi “jujugan”. Tempat bertanya
> atau mengadu. Beliau kemudian menghampiri kedua ibu
> muda itu.
> 
> “Begini, Bu,” kata Pak Herman. “Coba
> jawab pertanyaan saya dengan jujur dan ikhlas, dari
> hati nurani ibu yang paling dalam.”
> 
> “Apa itu, Pak?” sergah Bu B.
> 
> “Tolong pilih satu di antara dua,” kata
> Pak Herman berteka-teki. “Kalau ibu disuruh
> memilih, antara: merelakan suami ibu menikah lagi atau
> merelakan suami ibu melacur, ibu pilih yang
> mana?”
> 
> Kedua wanita itu terperanjat seperti mendapatkan
> pertanyaan yang tak pernah didengar sekalipun selama
> hidupnya.
> 
> ”Kok pertanyaannya seperti itu, Pak?”
> protes Ibu A.
> 
> “Saya tak memilih dua-duanya, Pak!” tegas
> Ibu B.
> 
> “Ok. Ok,” potong Pak Herman.
> “Jikalau pertanyaan itu terlalu berat untuk
> dijawab, pertanyaannya saya ganti.”
> 
> “Diganti gimana, Pak?”
> 
> “Saya ganti begini,” lanjut Pak Herman.
> “Jikalau ada seorang isteri diberikan pilihan --
> bukan Anda berdua, lho? -- yaitu merelakan suaminya
> menikah lagi atau merelakan suaminya melacur,
> kira-kira isteri itu milih yang mana?”
> 
> Kedua ibu itu saling berpandangan. Keraguan segera
> merayap dalam senyap. Pak Herman sendiri dengan sabar
> menunggu. Dan dalam sepuluh-lima belas detik kemudian,
> seseorang menjawab.
> 
> “Ya, pilih suami menikah lagi, Pak?” kata
> Bu A sambil melirik, mengharap dukungan Bu B di
> sebelahnya. “Bukan begitu, Bu?”
> 
> Bu B mengangguk-angguk. “Ya, gimana lagi kalau
> pilihannya hanya itu.”
> 
> “Alhamdulillah,” jawab Pak Herman.
> “Ibu-ibu ternyata masih bersih.”
> 
> “Masih bersih gimana, Pak?” tanya keduanya
> hampir berbarengan.
> 
> “Ibu-ibu masih bersih,” jelas dosen itu.
> “Masih bisa membedakan antara yang benar dan
> yang bathil. Antara yang halal dan yang haram.”
> 
> ***
> 
> “Saya heran sama orang Indonesia , Pak
> Herman!” seru Bu Icy dengan logat Amerikanya
> yang tak bisa dihilangkan.
> 
> “Heran gimana, Bu?” tanya Pak Herman pada
> temannya yang sesama dosen itu. Sudah berbilang tahun
> wanita itu mengajar di kampus ini sejak ia menikah
> dengan orang Indonesia asli.
> 
> “Mengapa mereka menolak poligami yang
> nyata-nyata ada dan dibolehkan di dalam Islam?”
> tanyanya sungguh.
> 
> Pak Herman sejenak tersentak. Bagaimanapun yang ada di
> hadapannya itu adalah wanita Barat. Bukan muslimat
> lagi. Ia penganut Kristen. “Menurut Ibu, apa
> yang menyebabkan mereka seperti itu?”
> 
> “Masalahnya sudah jelas, Pak Herman. Kalian,
> orang Indonesia , sudah terkontaminasi dengan apa yang
> datang dari Barat.”
> 
> “Apa itu?”
> 
> “Kapitalisme!”
> 
> “Kapitalisme?”
> 
> “Ya. Sebuah pandangan yang menganggap segala
> yang dipunya sebagai ‘milik’. Suami saya
> adalah milik saya. Bukan dan tak akan menjadi milik
> wanita lain. Tak logis dalam benak mereka untuk
> berbagi suami dengan orang lain. Itulah ruh
> kapitalisme, Pak.”
> 
> Pak Herman manggut-manggut. Tak dinyana, perempuan
> “barat” itu punya pendapat sedemikian. Ia
> memang telah banyak belajar tentang Islam, meski
> sayang belum memeluknya hingga sekarang.
> 
> “Sedangkan dalam pandangan Islam, semua yang ada
> ini ‘ kan milik Tuhan?” lanjut wanita itu.
> “Sehingga, berbagi dalam Islam adalah sesuatu
> yang common-sense.”
> 
> Pak Herman kemudian bertanya, “Lantas menurut
> Ibu, apa masalahnya dengan penolakan poligami?”
> 
> “Masalahnya, Pak, ketika pintu poligami
> ditutup,” kata wanita asing itu, “maka
> pintu pelacuran akan terbuka lebar-lebar.”
> 
> ***
> 
> Itulah pengantar perbincangan seputar poligami oleh
> Ust. Suherman Rosyidi – kami memanggil beliau
> Pak Herman -- di Masjid Rungkut Jaya Ahad pagi ini.
> Agaknya fenomena heboh Aa’ Gym yang menikah lagi
> itu turut menghangatkan beranda masjid ini setelah
> diguyur hujan semalam.
> 
> “Kalau saya baca press release Aa’ Gym
> awal Desember lalu,” kata saya turut menanggapi,
> “sebenarnya ada 4 calon yang diajukan Aa’
> Gym seba