Kolom IBRAHIM ISA
Selasa,08 MEI 2007
-------------------
TERTUJU PADA MENHUM & HAM YG BARU ANDI MATALATA
<REHABILITASI KORBAN PELANGGARAN HAM 1965!>

* * *

Andi Matalata, menurut berita pers  Jakarta, kemarin,  telah diangkat
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi MENKUM Dan HAM
Republik Indonesia, menggantikan Hamid Awaluddin. Sesuai tata-krama
pergaulan di dalam masyarakat, tidak salah kiranya kita mengucapkan
selamat bekerja kepada Andi Matalata, sebagai Menkum Dan HAM. Sebelum
fungsinya yang baru ini, Andi Matalata adalah pimpinan parpol yang
ikut berkuasa sekarang, GOLKAR, dan sekaligus juga Ketua Fraksi Golkar
di DPR.

Namun, kiranya patut pula diutarakan dengan terus terang dan
tegas-tegas di sini, sbb:

Kejadian bersejarah telah berlangsung pada tanggal 21 Mei 1998.
Presiden Suharto 'dilengserkan', oleh gelombang dahsyat gerakan
Reformasi dan Demokratisasi massa rakyat yang luas, yang menggelora di
seluruh negeri ketika itu. Pemerintah Presiden Habibie yang
menjanjikan reformasi dan demokrasi, naik panggung. Namun,  baik
Presiden Habibie maupun menteri yang punya tanggungjawb langsung
menegakkan hukum dan HAM, tak ada yang menunjukkan kepedulian yang
sungguh-sungguh serta mengambil langkah untuk menangani kasus
pelanggaran HAM terbesar di bawah tanggungjawab Orba dan Presiden
Suharto, yaitu kasus pembantaian masal terhadap lebih sejuta (mungkin
lebih) warganegara yang tak bersalah, pada periode pasca G30S.

*   *   *

Mantan Menteri Menkumdang dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid, Yusril Ihza Mahendra, pernah dapat tugas dari Presiden, untuk
mengurus 'orang-orang Indonesia yang terhalang pulang', yang terdampar
di pelbagai negeri di Eropah. Maksudnya agar mereka bisa kembali
pulang ke tanah air. Pada awal tahun 2000, Menteri Yusril datang ke
Den Haag, Nederland, membawa Instruksi Presiden No 1, Th 2000. Langkah
Presiden Wahid,  menginstruksikan Menteri Yusril ke Den Haag untuk
'mengurus pulang' para warganegara Indonesia, yang oleh Orba secara
sewenang-wenang dicabut paspornya atas tuduhan terlibat atau
berindikasi terlibat dengan peristiwa G30S, --- hakikatnya, adalah
suatu kebijaksanaan REHABILITASI. Untuk merehabilitasi nama baik,
hak-hak politik dan hak-hak kewarganegaraan mereka itu.

Di KBRI Den Haag, Yusril tatap muka dengan ratusan 'orang yang
terhalang pulang'. Beliau dengan antusias memberikan janji-janji akan
'secepat mungkin' mengurus 'orang-orang Indonesia yang terhalang
pulang', agar bisa kembali ke tanah air dengan lancar. Yusril
menandaskan bahwa pemerintah Abdurrahman Wahid punya 'political will'
untuk mengurus kasus ini. Tetapi janji-janji tinggal janji belaka. Tak
ada kelanjutannya samasekali. Yusril telah memasukkan janji-janjinya
terhadap para korban pelanggaran HAM, di dalam laji meja kantornya.
Pemerintah silih berganti, tetapi masalah 'para korban Peristiwa 1965'
samasekali tidak dijamah. Pemerintah memang punya kementerian yang
katanya urusannya adalah urusan perundang-undangan dan Hak-Hak Azasi
Manusia. Tetapi itu hanya nama saja.  Sedangkan 'gawénya' yang
menyangkut kasus pelanggaran HAM terbesar yang dilakukan penguasa pada
periode Peristiwa 1965, adalah nol besar.

Sampai dewasa ini kurang lebih 20 juta keluarga korban Peristiwa 1965,
masih menderita diskriminasi dan stigmatisasi. Hak-hak kewarganegaraan
dan hak-hak politik mereka yang telah dirampas Orba, samasekali belum
dipulihkan. Keadaan ini berlangsung sejak gerakan Reformasi dan
Demokratisasi yang telah menumbangkan pemerintahan Orbanya Presiden
Suharto.

*   *   *

Pada tahun 2007 ada perkembangan dalam politik pemerintah SBY terhadap
kaum pemberontak GAM. Pemerintah  mengadakan perundingan dengan GAM di
Helsinki, Finlandia. Hasil perundingan: Para pemimpin dan
anggota-anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) --- yang jelas-jelas
melakukan pemberontakan bersenjata terhadap Republik Indonesia dengan
tujuan mendirikan Aceh Merdeka, halmana berarti mencabik-cabik
kesatuan dan persatuan Republik Indonesia --- DIBERI AMNESTI. Para
pemberontak boleh pulang, diberi hak untuk ambil bagian dalam
kehidupan politik serta dapat dana untuk memulai hidup baru di Indonesia.

*   *   *

Di LAIN FIHAK,  status para korban Peristiwa 1965, para keluarga tapol
Orba, --- para warganegara tak bersalah yang dipersekui penguasa,
namun  dituduh dan difitnah, terlibat atau berindikasi terlibat dengan
G30S, tetap tidak berubah adanya.

Para korban tsb adalah warganegara yang patuh hukum yang samasekali
tidak bersalah. Oleh karena itu pemerintah Orba tidak punya alasan
untuk mengadili dan menghukum mereka. Tetapi mereka tokh mengalami
persekusi, dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan dibantai. Sampai
kini, beberapa hari lagi, sudah sembilan tahun setelah jatuhnya rezim
Orba, namun, mereka masih tetap mengalami  perlakuan diskriminasi
politik dan sosial. Masalahnya sudah begitu jelas, mereka tidak
melakukan kesalahan atau pelanggaran hukum apapun. Namun, tak ada
tanda-tanda nama baik dan hak-hak politik dan kewarganegaraan mereka
akan DIREHABILITASI oleh pemerintah. Dan ini berlaku sejak pemerintah
Habibie, sampai pemerintah SBY sekarang ini.

Bukankah sikap politik dan kebijaksanaan pemerintah terhadap kaum
pemberontak GAM, nyata-nyata  seratus delapan puluh derajat berbeda,
dengan politik dan kebijakan pemerintah terhadap para korban Peristiwa
1965 dan keluarganya yang berjumlah sekitar 20 juta, yang adalah
warganegara yang cinta dan setia kepada Republik Indonesia?

*   *   *

Pers dan masyarakat, dan setiap insan yang punya hati nurani,
sesungguhnya menyadari bahwa kebijakan pemerintah tsb tidak adil.
Sehingga seorang wartawan yang mewawancarai salah seorang  mantan
'mahid' (mahasiswa ikatan dinas, yang karena parpornya dicabut
sewenang-wenang oleh pemerintah Orba terpaksa 'berkelana' di
luarnegeri), menyatakan, di Helsinki, -- rupanya kalian harus
memberontak dulu, seperti GAM, baru kemudian akan memperoleh amnesti
dan mendapat perlakuan istimewa.

Yang mengherankan dan menggelisahkan, ialah, pernyataan mantan
Menkumdang dan HAM Awaluddin Hamid, terhadap salah seorang mantan
'mahid' di Helsinki beberapa waktu yang lalu. Awaludin Hamid dengan
bérang dan membentak, menolak untuk membicarakan masalah hak-hak azasi
manusia para  'orang-orang yang terhalang pulang'. Awaludin Hamid
hanya mau, atas dasar UU Kewarganegaraan yang baru,  begitu saja
membagi-baikan paspor kepada 'orang-orang yang terhalang pulang',
memberikan semacam 'kado' dari pemerintah.

Padahal tuntutan 'orang-orang yang terhalang pulang' jelas, yaitu,
pemerintah pertama-tama harus mengakui kesalahan Orba telah melanggar
hukum dan HAM, ketika tanpa proses hukum, atas dasar tuduhan dan
fitnah semata-mata, telah mencabut paspor mereka. Selanjutnya
pemerintah harus minta maaf, dan secara menyeluruh MEREHABILITASI
semua korban pelanggran HAM terbesar pada Peristiwa 1965. Karena,
masalah 'orang-orang yang terhalang pulang' adalah sebagian kecil saja
dari masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim Orba.

*   *   *

Walhasil, ini pesan kita kepada ANDI MATALATA, Menhum dan HAM yang
baru diangkat :

Mulailah mengurus kasus pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah
Republik ini, yaitu kasus Peristiwa 1965, di mana telah jatuh jutaan
korban rakyat yang tak bersalah, yang sampai kini begitu menderita.
Lupakanlah 'kebijakan membagi-bagi paspor' tanpa mau bicara soal
pelanggaran HAM yang menjadi penyebab sejumlah besar warganegara
menjadi 'orang yang terhalang pulang'.

Dengan cara ini, maka bisa diharapkan bahwa KEMENTERIAN MENHUM DAN
HAM, dengan menterinya yang baru diangkat,  ANDI MATALATA, mulai
melakukan fungsinya, membenahi masalah yang dihadapi bangsa ini.
Menghapuskan IMPUNITY, dalam rangka menegakkan NEGARA HUKUM REPUBLIK
INDONESIA.

*   *   *


Kirim email ke