Re: [mediacare] Wartawan dan Teroris
Mohon Ulang Kirim Ralat Sekedar NDH12.7.2007PENUMPASAN TERORISDENGAN METODE TBB (TEPAT BAIK BENAR)RE : USUL DON MNIMBRUNG KONVERGENSI USUL - Kita ATS (Agama Tuhan Satu) JKI (Jahudi Kristen Isdlam) Legitimasi Dunia, masih terus berlatih masing-masing, semoga berhasil masuki Satu Agama Tuhan, Satu di dalam Bapa di Surga. . - Setelah Hidup Taman Eden manusia Hidup Paska Taman Eden. Manusia walau berdosa tidak ditumpas tapi cintakasih Tuhan diberi Hidup dan Talenta serta Konsensus Liberal Pakai atau Tidak Etika Firman Tuhan. Penciptaan Alam Semesta dan Pembinaannya berjalan Milyaran Tahun, sampai dilakukan Tuhan Intensip membangun Bangsa Tuhan 4004 sM ATS (Agama Tuhan Satu) Adam-Eva, ditingkatkan 1921 sM pada Abram/Abraham/Ibrahim dan pada Musa 1491 sM 10 Hukum Musa, pada Trurunan Ishak dan Turunan Ismael (dari Abraham/Ibrahim) : Ibrahim diberitahu Tuhan, Ismael akan Bangsa Besar Penyembah Tuhan, dan dilegitimasi Abad 6 M ATS JKI Jahudi Kristen Islam seperti kini untuk latihan dalam internal relevansinya lokal ke global kembali. . - Maka itu setiap JKI Moderen tentu akan menggunakan Cerahan Metode IT SS Imiahteknologi Sekular Sakral maksimal, fisika hologarfika String sampai Unsur Sakral jadi akan Holiografika (kesucian), dan bertemu Teori Batas Pembatasan, natural dan kukltural (yang diberi Tuhan dan Kesanggupan kulturalisasi pakai talenta manusia), sehingga nyata atas dasar kesadaran manusia, ia tanpa berkat Tuhan, tiada alkan selamat, maka mereka (manusia= kita) Pamroih Ora Et Labora dan Doa Khisuis dalam Etika Firman Tuhan, dambakan diberkati Tuhan kita Hidup aman damai senstosa sejahtera abadi sakral juga sekular (talenta kita disucikan Tuhan). . - Mohon konfirmasi konvergensi insentip mekanisme jabaran mekar Satu Agama Tuhan dan Implementasi pakai Metode IT SS. . - NDH Lampiran:Don M :. Pak Moderator kendati cuma sekali-kali turunkan postingan, tetapi baik pilihannya. Ini analisis yang banyak betulnya. Namun: *** Ada "daerah pertemuan" antara gerakan radikal agamis dengan para Muslim moderat, dimana dua kelompok, gurem sangat vokal dan besar namun tenang, itu bertemu, yaitu misalnya tentang rasa tertindasnya Muslimin seduia oleh AS dan teror negaranya (stateterrorism). Rupanya di daerah itupun cukup ada wartawan yang "terjebak" mindset nya *** Mungkin bisa diusulkan supaya Muslimin moderat memakaimindset yang tidak agamis dalam melihat segalanya didunia yang riil, yaitu sospolekbud dll dll dll. Hingga akan terlihat AS itu bukan serakah hanya terus mau menindas Muslim, tetapimenindas siapa saja di dunia, termasuk rakyatnya dan juga orang Eropa, Jepang, Australalia dll yang berani melawan keserakahan ekonomis dan kekuasaanya. Kalau bisa, mudah-mudahan bisa, lalu semua persepsi harus di redefinisi, dan akan sangat lebihcerah membaca keruwetan dunia yang monopolar dibawah komando AS ini. Lalu parajurnalis investigatif yth yang "terjebak" tadi juga akan bisa mengentaskan diri dari mindset subyektif yang out of date, disamping mengurangi kegenitan eksibisionis dan kehausan mencari sensasi, meski memang terus dikejar redaksi buat mendongkrak tiras. Don M radityo djadjoeri <[EMAIL PROTECTED]> wrote:Para Pembela Teroris Luthfie Assyaukanie * peneliti Freedom Institute, Jakarta Saya bukan sedang berbicara tentang Tim Pembela Muslim (TPM) yang belakangan sedang populer karena usaha mereka memberikan bantuan hukum kepada para pelaku teroris, tapi tentang para wartawan, aktvis, dan kaum terpelajar yang secara gencar dan menjengkelkan membela para teroris. Sebagian mereka tampaknya tak menyadari apa yang sedang mereka lakukan, sebagian lainnya hanya demi bergenit-genit saja, dan sebagian lainnya, tampak jelas mendukung ideologi serupa dengan para teroris hanya saja dengan sedikit kemasan yang diilmiah-ilmiahkan. Tentu saja, setiap upaya mempertanyakan prosedur hukum haruslah dihargai dan dijunjung tinggi. Adalah sebuah truisme belaka bahwa polisi bukanlah sebuah profesi yang maksum dari kesalahan. Tugas wartawan adalah mempertanyakan prosedur-prosedur yang dilakukan polisi, termasuk dalam menangani persoalan terorisme. Saya justru merasa senang bahwa pers kita kini sangat kritis dan tak takut lagi dalam menyorot kinerja aparat kepolisian. Namun, sikap kritis tentu ada batasnya. Pencarian kebenaran haruslah bermuara pada penemuan, bukannya pada pencarian itu sendiri. Premis-premis dalam logika dibangun untuk mengantarkan kita kepada kesimpulan, bukannya pada penciptaan satu premis baru yang ad infinitum. Dalam dunia khayal, Anda mungkin bisa melakukan itu, tapi dalam dunia nyata y
Re: [mediacare] Wartawan dan Teroris
Pak Moderator kendati cuma sekali-kali turunkan postingan, tetapi baik pilihannya. Ini analisis yang banyak betulnya. Namun: *** Ada "daerah pertemuan" antara gerakan radikal agamis dengan para Muslim moderat, dimana dua kelompok, gurem sangat vokal dan besar namun tenang, itu bertemu, yaitu misalnya tentang rasa tertindasnya Muslimin seduia oleh AS dan teror negaranya (state terrorism). Rupanya di daerah itupun cukup ada wartawan yang "terjebak" mindset nya *** Mungkin bisa diusulkan supaya Muslimin moderat memakai mindset yang tidak agamis dalam melihat segalanya didunia yang riil, yaitu sospolekbud dll dll dll. Hingga akan terlihat AS itu bukan serakah hanya terus mau menindas Muslim, tetapi menindas siapa saja di dunia, termasuk rakyatnya dan juga orang Eropa, Jepang, Australalia dll yang berani melawan keserakahan ekonomis dan kekuasaanya. Kalau bisa, mudah-mudahan bisa, lalu semua persepsi harus di redefinisi, dan akan sangat lebih cerah membaca keruwetan dunia yang monopolar dibawah komando AS ini. Lalu para jurnalis investigatif yth yang "terjebak" tadi juga akan bisa mengentaskan diri dari mindset subyektif yang out of date, disamping mengurangi kegenitan eksibisionis dan kehausan mencari sensasi, meski memang terus dikejar redaksi buat mendongkrak tiras. Don M radityo djadjoeri <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Para Pembela Teroris Luthfie Assyaukanie * peneliti Freedom Institute, Jakarta Saya bukan sedang berbicara tentang Tim Pembela Muslim (TPM) yang belakangan sedang populer karena usaha mereka memberikan bantuan hukum kepada para pelaku teroris, tapi tentang para wartawan, aktvis, dan kaum terpelajar yang secara gencar dan menjengkelkan membela para teroris. Sebagian mereka tampaknya tak menyadari apa yang sedang mereka lakukan, sebagian lainnya hanya demi bergenit-genit saja, dan sebagian lainnya, tampak jelas mendukung ideologi serupa dengan para teroris hanya saja dengan sedikit kemasan yang diilmiah-ilmiahkan. Tentu saja, setiap upaya mempertanyakan prosedur hukum haruslah dihargai dan dijunjung tinggi. Adalah sebuah truisme belaka bahwa polisi bukanlah sebuah profesi yang maksum dari kesalahan. Tugas wartawan adalah mempertanyakan prosedur-prosedur yang dilakukan polisi, termasuk dalam menangani persoalan terorisme. Saya justru merasa senang bahwa pers kita kini sangat kritis dan tak takut lagi dalam menyorot kinerja aparat kepolisian. Namun, sikap kritis tentu ada batasnya. Pencarian kebenaran haruslah bermuara pada penemuan, bukannya pada pencarian itu sendiri. Premis-premis dalam logika dibangun untuk mengantarkan kita kepada kesimpulan, bukannya pada penciptaan satu premis baru yang ad infinitum. Dalam dunia khayal, Anda mungkin bisa melakukan itu, tapi dalam dunia nyata yang menyangkut nyawa orang banyak, kecuali jika Anda sakit jiwa atau berhati teroris Anda mau melakukannya. Bersikap tegas kepada para teroris memang bukan hal yang mudah, terutama jika Anda punya kesamaan visi dengan para pelaku teroris itu, misalnya dalam meyakini adanya teori konspirasi, kebrutalan dan kesewenang-wenangan Amerika, dan ketertindasan Islam. Hanya jika Anda punya pikiran yang benar-benar jernih Anda bisa membedakan mana yang benar dan mana yang keliru. Perang terhadap terorisme memang bukanlah sesuatu yang mudah sekarang ini, karena yang kita hadapi bukan hanya para pelaku teroris, tapi juga para simpatisannya yang jumlahnya berkali lipat. Aparat polisi bisa menangkap pelaku teror tapi tentu saja harus menahan diri dan kejengkelan dari para pembela teroris yang muncul dalam beragam ekspresi. Polisi misalnya harus menahan diri dan kejengkelannya terhadap Abu Bakar Baasyir, yang terang-terangan membela para teroris dengan menyebut mereka sebagai "counter-teroris, " maksdunya adalah bahwa mereka melakukan teror demi mencegah teror yang lebih besar. Yang dia maksud dengan "teror yang lebih besar" adalah teror yang dilakukan Amerika Serikat. Para polisi juga harus menahan diri sambil mengurut dada terhadap para wartawan yang menyebut dirinya "jurnalis investigatif" yang menuhankan dan menyembah data. Tentu saja, sebutan "jurnalis investigatif" ini dimaksudkan untuk memanipulasi kesimpulan-kesimpul an yang sudah dibuat polisi. Tak perlu dikatakan bahwa ada banyak wartawan yang jujur dan berpikiran jernih, walau ada sebagian kecil dari mereka yang sayangnya bekerja di bawah standar kualitas. Sebagian retorika para pendukung teroris itu memang memikat, karena dia menyentuh sisi-sisi emosional terdalam kaum Muslim. Siapa yang tak tertawan dengan retorika bahwa Amerika adalah teroris besar karena kelakuannya di Timur Tengah dan dunia Islam lainnya? Dengan terus mempersalahkan Amerika, para pembela teroris itu merasa absah mendukung teror dan kekerasan, meski korban dan kerugian terbesar dirasakan oleh bangsa sendiri. Tak ada orang yang menyangkal bahwa faktor Amerika memainkan peran yang sangat besar bagi sulitnya menumpas gerakan terorisme yang me
[mediacare] Wartawan dan Teroris
Para Pembela Teroris Luthfie Assyaukanie * peneliti Freedom Institute, Jakarta Saya bukan sedang berbicara tentang Tim Pembela Muslim (TPM) yang belakangan sedang populer karena usaha mereka memberikan bantuan hukum kepada para pelaku teroris, tapi tentang para wartawan, aktvis, dan kaum terpelajar yang secara gencar dan menjengkelkan membela para teroris. Sebagian mereka tampaknya tak menyadari apa yang sedang mereka lakukan, sebagian lainnya hanya demi bergenit-genit saja, dan sebagian lainnya, tampak jelas mendukung ideologi serupa dengan para teroris hanya saja dengan sedikit kemasan yang diilmiah-ilmiahkan. Tentu saja, setiap upaya mempertanyakan prosedur hukum haruslah dihargai dan dijunjung tinggi. Adalah sebuah truisme belaka bahwa polisi bukanlah sebuah profesi yang maksum dari kesalahan. Tugas wartawan adalah mempertanyakan prosedur-prosedur yang dilakukan polisi, termasuk dalam menangani persoalan terorisme. Saya justru merasa senang bahwa pers kita kini sangat kritis dan tak takut lagi dalam menyorot kinerja aparat kepolisian. Namun, sikap kritis tentu ada batasnya. Pencarian kebenaran haruslah bermuara pada penemuan, bukannya pada pencarian itu sendiri. Premis-premis dalam logika dibangun untuk mengantarkan kita kepada kesimpulan, bukannya pada penciptaan satu premis baru yang ad infinitum. Dalam dunia khayal, Anda mungkin bisa melakukan itu, tapi dalam dunia nyata yang menyangkut nyawa orang banyak, kecuali jika Anda sakit jiwa atau berhati teroris Anda mau melakukannya. Bersikap tegas kepada para teroris memang bukan hal yang mudah, terutama jika Anda punya kesamaan visi dengan para pelaku teroris itu, misalnya dalam meyakini adanya teori konspirasi, kebrutalan dan kesewenang-wenangan Amerika, dan ketertindasan Islam. Hanya jika Anda punya pikiran yang benar-benar jernih Anda bisa membedakan mana yang benar dan mana yang keliru. Perang terhadap terorisme memang bukanlah sesuatu yang mudah sekarang ini, karena yang kita hadapi bukan hanya para pelaku teroris, tapi juga para simpatisannya yang jumlahnya berkali lipat. Aparat polisi bisa menangkap pelaku teror tapi tentu saja harus menahan diri dan kejengkelan dari para pembela teroris yang muncul dalam beragam ekspresi. Polisi misalnya harus menahan diri dan kejengkelannya terhadap Abu Bakar Baasyir, yang terang-terangan membela para teroris dengan menyebut mereka sebagai "counter-teroris, " maksdunya adalah bahwa mereka melakukan teror demi mencegah teror yang lebih besar. Yang dia maksud dengan "teror yang lebih besar" adalah teror yang dilakukan Amerika Serikat. Para polisi juga harus menahan diri sambil mengurut dada terhadap para wartawan yang menyebut dirinya "jurnalis investigatif" yang menuhankan dan menyembah data. Tentu saja, sebutan "jurnalis investigatif" ini dimaksudkan untuk memanipulasi kesimpulan-kesimpul an yang sudah dibuat polisi. Tak perlu dikatakan bahwa ada banyak wartawan yang jujur dan berpikiran jernih, walau ada sebagian kecil dari mereka yang sayangnya bekerja di bawah standar kualitas. Sebagian retorika para pendukung teroris itu memang memikat, karena dia menyentuh sisi-sisi emosional terdalam kaum Muslim. Siapa yang tak tertawan dengan retorika bahwa Amerika adalah teroris besar karena kelakuannya di Timur Tengah dan dunia Islam lainnya? Dengan terus mempersalahkan Amerika, para pembela teroris itu merasa absah mendukung teror dan kekerasan, meski korban dan kerugian terbesar dirasakan oleh bangsa sendiri. Tak ada orang yang menyangkal bahwa faktor Amerika memainkan peran yang sangat besar bagi sulitnya menumpas gerakan terorisme yang melanda dunia Islam. Kebrutalan dan kesewenang-wenangan Amerika juga sangat menyulitkan kaum moderat Muslim dan siapa saja yang ingin berjuang menumpas terorisme. Banyak orang menahan diri untuk mengecam teroris karena mereka takut dibilang "antek Amerika" atau "antek zionis." Sementara itu, para "penulis investigatif" yang umumnya duduk manis di ruang ber-AC ikut-ikutan membela para teroris yang umumnya hidup sulit dan kepanasan di luar sana. Saya tidak terlalu yakin bahwa mereka mengenal pasti dengan obyek yang sedang ditulisnya. Kesan saya, mereka sepertinya sedang meng-entertain ego dan libido intelektual saja, jika bukan benar-benar ada habitus teror dalam dirinya. Perang terhadap teror memang bukanlah tugas polisi semata. Ia merupakan tugas kita semua, baik masyarakat agama, hukum, pers, akademis, maupun lainnya. Yang diperlukan adalah kejernihan berpikir, keseriusan, dan rasa tanggungjawab yang besar terhadap persoalan. Tugas polisi adalah menangkap pelaku teror, sementara tugas kita adalah menyadarkan betapa terorisme dan kekerasan atas nama agama dengan dalih apapun merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Tanpa perlu dikatakan, the benefit of doubt harus terus dipakai, tujuannya adalah mencari kebenaran sepanjang ia sesuai dengan aturan-aturan hukum formal, bukan sepanjang khayalan-khayalan liar yang tak bertanggung jawab. Pers menjadi ujung tombak bagi k