http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/05/29/10501054/Sri.Mulyani.Bi
cara.Neolib.dan.Kemandirian.Ekonomi

 

Istilah neoliberalisme dan kemandirian ekonomi tiba-tiba 

menjadi jargon yang populer menjelang pemilihan presiden Juli ini. Diakui
atau 

tidak, tema ekonomi menjadi sangat relevan untuk diadu oleh para kandidat
capres-cawapres 

yang akan berlaga.

 

Menanggapi masalah neoliberalisme dan kemandirian ekonomi, Menteri Keuangan
Sri 

Mulyani Indrawati pun berbicara.

 

Dikatakan pelaksana tugas Menko Perekonomian ini, Indonesia memiliki banyak 

kemandirian ekonomi yang bisa dibangun. "Indonesia jelas punya banyak sekali


kemadirian ekonomi yang bisa dibangun berbasiskan kekuatan dari potensi
ekonomi 

dalam negeri," kata Sri Mulyani di ruang kerja Menko Perekonomian Kompleks 

Gedung Depkeu, saat menerima Kompas Gramedia Group.

 

Ia memaparkan kemandirian ekonomi dapat dibangun karena Indonesia memiliki
modal 

berupa populasi yang besar dan daya beli yang cukup. Selain itu, Menkeu
menyebut, 

Indonesia juga memiliki demografi dengan sebagian besar penduduk berusia
muda. "Itu 

akan bagus karena biasanya kalau muda itu kebutuhan dan konsumsinya biasanya


banyak. Sekolah, rumah, mobil, dan sebagainya," ujarnya. Tingginya tingkat 

konsumsi ini, akan menggerakkan kemandirian ekonomi dan menciptakan iklim
usaha 

yang sehat.

 

Sementara itu, terkait paham ekonomi liberal atau neoliberal, disebutkannya 

kompetisi bebas sebenarnya bagus buat rakyat. "Karena Anda akan membebaskan 

rakyat dari cengkaraman monopoli-monopoli yang bisa menghisap atas nama 

nasionalisme," katanya.

 

Menurut dia, mahzab ini beranggapan rakyat akan diberikan maximum benefit
(keuntungan 

besar) jika diterapkan. "Misalnya yang tadinya kalau sektor komunikasi
berperan 

cuma Telkom, dia bisa enak-enak saja. Ngomong putus sambungan dan pulsa
mahal. 

Padahal misalnya kalau ada yang lain ada keuntungan besar buat rakyat,
misalnya 

harga (pulsa bisa) gratis," kata Sri.

 

Dari sinilah, lanjut dia, muncul pertanyaan soal aset domestik yang membawa 

jargon nasionalisme atas nama rakyat. "Terus rakyat yang mana? Rakyat
producer 

dan rakyat consumer. Rakyat kelas menengah dan kelas bawah. Rakyat fix
income 

dan non fix income. Nah ini kan tergantung konstituen," kata Sri.

 

Dia mengatakan, negara mana pun di dunia tak ada yang esktrem benar
menerapkan 

konsep ekonomi neoliberal. Negara seperti China pun, lanjut dia,
mengombinasikan 

sistem komunisme yang mereka anut dengan sistem kapitalisme. Termasuk negara


ekstrem sekaliber Amerika Serikat, setelah krisis keuangan global baru sadar


kalau tingkah laku dari kapitalisnya telah merusak perekonomian mereka.
"Mereka 

mulai katakan we fell to regulated," katanya.

 

Menurut dia, dalam sistem ekonomi mana pun yang diperlukan sebenarnya adalah


peranan pemerintah yang bersih dan efektif. "Nonsense mau jadi ekonomi
liberal 

atau ekonomi kerakyatan tanpa pemerintahan yang efektif dan bersih. Kalau
Anda 

penganut liberal misalnya untuk memasukkan modal asing harus ada wasit, dan 

wasitnya adalah peran pemerintahan yang bersih dan efektif," kata dia.

 
 
 

Kirim email ke