[CHICAGO] Perekonomian Amerika Serikat dihantui kemungkinan terjadinya resesi 
akibat banyaknya daftar perumahan baru yang tidak mendapat persetujuan 
pembiayaan. Kondisi ini akan mengganggu perekonomian negara adidaya tersebut, 
sehingga diperkirakan bakal dilanda resesi ekonomi. 

Mantan Gubernur Bank Sentral AS, Alan Greenspan dalam pertemuan dengan 
kelompok-kelompok bisnis dan keuangan di Chicago, Selasa (23/10) atau Rabu dini 
hari WIB mengatakan, peluang terjadinya resesi kurang lebih 50:50, sebab banyak 
hal-hal ketidakpastian. 

"Dalam empat, lima hingga enam bulan ke depan, kita akan melihat melambatnya 
pertumbuhan," kata Greenspan dalam the Midwest ACG Capital Connection 
conference. 

Masalah perumahan, tuturnya, merupakan isu utama yang harus dipikirkan 
bagaimana jalan keluarnya. 

Sebagi informasi, pertumbuhan ekonomi AS, ditopang oleh dua pilar yakni 
pembiayaan kredit kepemilikan rumah dan kredit kepemilikan kendaraan bermotor. 
Pada pertengahn Agustus lalu, masalah surat utang yang ditransaksikan dengan 
jaminan kredit kepemilikan rumah yang debitornya kurang layak mendapat pinjaman 
bermasalah, karena mereka (debitornya) tidak mampu membayar cicilan, akibat 
kenaikan suku bunga. 

Sebagai akibatnya, surat berharga atau portofolionya mengalami penurunan, 
sehingga menimbulkan gejolak di pasar keuangan global yang berimbas ke hampir 
semua pasar keuangan regional, termasuk pasar saham dan pasar uang Indonesia. 
Masalah kredit perumahan yang dikenal dengan subprime mortgage di AS tersebut, 
merambat ke mana-mana, karena para investor yang merugi di bursa global 
mencairkan portofolionya di negara-negara lain termasuk Indonesia, sehingga 
indeks harga saham dan kurs rupiah terkoreksi tajam. 

Greenspan menambahkan, ketika ada penipuan dalam penetapan harga rumah, maka 
akan muncul harga rumah yang baru dan sangat spesifik. Pembiayaan perumahan 
bagi pinjaman yang kurang layak berkisar 25 persen. Ketika terjadi masalah, 
hampir semua segmen ini macet. 


Globalisasi 

Sementara itu, dalam pidato Presiden Bank Dunia Robert B. Zoellick, bertajuk 
"Mengubah Masa Depan: Globalisasi yang Inklusif dan Berkesinambungan" dalam 
rapat tahunan Dewan Gubernur Grup Bank Dunia di Washington DC mengatakan, 
globalisasi juga telah mendatangkan kesenjangan manfaat bagi miliaran orang di 
negara-negara berpenghasilan menengah yang mulai menaiki tangga pembangunan 
sejak akhir Perang Dingin. 

Di banyak negara, ketegangan sosial melemahkan persatuan politik. Negara-negara 
berpendapatan menengah ini perlu terus bertumbuh, memberikan pembangunan yang 
inklusif dan mengadopsi kebijakan lingkungan demi kesejahteraan yang 
berkesinambungan. 

Pengaruh yang lebih besar dari negara-negara berkembang menimbulkan pertanyaan 
tentang posisi mereka dalam sistem global yang terus berubah. Jadi, 
pertanyaannya bukan hanya soal berapa besar negara berkembang akan berinteraksi 
dengan negara maju melainkan juga dengan negara-negara termiskin dan lebih 
kecil di dunia. 

Menurut Zoellick, hampir satu miliar orang berpenghasilan US$ 1 per hari. 
Globalisasi tidak boleh mengabaikan satu miliar orang dengan pendapatan paling 
rendah ini. Sebab, kemiskinan menciptakan ketidakstabilan, penyakit dan 
kehancuran sumber daya dan lingkungan. 

Negara-negara maju, papar Zoellick, juga menghadapi peluang dan tekanan 
globalisasi. Mereka mengakui, tidak akan mencapai keberhasilan dengan 
mengucilkan kelompok tertentu. Perilaku sopan dan kepentingan sendiri, memaksa 
mereka mengakui adanya saling ketergantungan, bahkan ketika mereka 
mempertimbangkan cara terbaik untuk mencapainya

Kirim email ke