Re: Fw: On Ambon

1999-02-18 Terurut Topik Ichwan Ramli.




Menarik. Analisa dengan dengan titik pandang seorang yang tahu 
banyak tentang adat di Maluku. Tapi saya prihatin dengan kecendrungan masyarakat 
yang terbawa euforia memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI. Dalam pokok 
bahasan ini saya menilai pihak penulis telah melompat terlalu jauh dari bahasan 
semula.

Penulis belum menemukan sebab dan alasan utama 
kerusuhan ini, selain adanya penyeragaman organisasi pemerintahan daerah, dan 
pengabaian struktur adat setempat. Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab 
sebelum kita sampai pada kesimpulan bahwa memang itulah penyebabnya. Tetapi 
mengapa sudah langsung melompat untuk memisahkan diri dari negara kesatuan. 
Apakah sudah dikaji kelebihan dan kelemahan pemisahan itu ?

Tantangan juga buat kita melakukan analysis yang 
benar.

salam,

-Original Message-From: 
Adri Amiruddin [EMAIL PROTECTED]To: [EMAIL PROTECTED] [EMAIL PROTECTED]Date: 
18 Februari 1999 10:14Subject: Fw: On 
Ambon
Artikel ini sedikit memberi 
gambaran tentang salah satu persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan 
bernegara kita. Yaitu hancurnya sistem tata nilai yang dimiliki oleh 
masyarakat (kesukuan atau komunitas) sebagai akibat sistem yang tidak 
menghormati model yang berkembang dari masyarakat itu sendiri. Kehancuran 
seperti dijelaskan dalam artikel ini juga terjadi di berbagai daerah di 
seluruh Indonesia. Semoga artikel ini sedikit memberi penjelasan pada kita 
semua.Adri Amiruddin[EMAIL PROTECTED]: 
MENELAAH 
PERANG AMBON 1999: : 
by 
: Semmy Littik: 
Dosen 
Fakultas Perikanan UNPATTI, AMbon: : Seperti kita sudah ketahui, 
perang saudara baru saja usai di AMbon dan: beberapa kota di Maluku. 
Bagi kalangan formal, perang tersebut dinamakan: kerusuhan. 
Padahal dalam kenyataannya, telah terjadi penyembelihan dan: 
pembakaran ratusan manusia, pembakaran ratusan rumah, penghancuran 
gedung-: gedung ibadah, pemboman, penembakan terhadap manusia, 
pembakaran: membabi-buta terhadap sarana transportasi umum, pengungsian, 
katakutan: massa, trauma dan: lain-lain akibat sebagaimana layaknya 
sebuah perang. Belum lagi dicatat: dampak perang itu terhadap 
pengangguran, wabah penyakit, pemborosan: anggaran pembangunan, eksodus 
besar-besaran dan sebagainya. Ribuan: keluarga kehilangan ayah, 
ibu, kakak, adik, bayi. Sebagian kalangan: bahkan menilai perang 
Ambon 1999 hanya selangkah di bawah perang Bosnia.: Walikotamadya Ambon, 
Drs. Chris Tanasale, menyebut chaos tersebut persis: seperti perang 
dunia kedua. Memang benar, di berbagai sudut kota dan: 
perkampungan atau dusun yang hancur, puing-puing bangunan dan 
benda-benda: yang terbakar berserakan sedemikian rupa seperti baru saja 
terjadi pemboman.

deleted.


Fw: On Ambon

1999-02-17 Terurut Topik Adri Amiruddin
Artikel ini sedikit memberi gambaran tentang salah satu persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Yaitu hancurnya sistem tata nilai yang dimiliki oleh masyarakat (kesukuan atau komunitas) sebagai akibat sistem yang tidak menghormati model yang berkembang dari masyarakat itu sendiri. Kehancuran seperti dijelaskan dalam artikel ini juga terjadi di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Semoga artikel ini sedikit memberi penjelasan pada kita semua.Adri Amiruddin[EMAIL PROTECTED]: MENELAAH PERANG AMBON 1999: : by : Semmy Littik: Dosen Fakultas Perikanan UNPATTI, AMbon: : Seperti kita sudah ketahui, perang saudara baru saja usai di AMbon dan: beberapa kota di Maluku. Bagi kalangan formal, perang tersebut dinamakan: kerusuhan. Padahal dalam kenyataannya, telah terjadi penyembelihan dan: pembakaran ratusan manusia, pembakaran ratusan rumah, penghancuran gedung-: gedung ibadah, pemboman, penembakan terhadap manusia, pembakaran: membabi-buta terhadap sarana transportasi umum, pengungsian, katakutan: massa, trauma dan: lain-lain akibat sebagaimana layaknya sebuah perang. Belum lagi dicatat: dampak perang itu terhadap pengangguran, wabah penyakit, pemborosan: anggaran pembangunan, eksodus besar-besaran dan sebagainya. Ribuan: keluarga kehilangan ayah, ibu, kakak, adik, bayi. Sebagian kalangan: bahkan menilai perang Ambon 1999 hanya selangkah di bawah perang Bosnia.: Walikotamadya Ambon, Drs. Chris Tanasale, menyebut chaos tersebut persis: seperti perang dunia kedua. Memang benar, di berbagai sudut kota dan: perkampungan atau dusun yang hancur, puing-puing bangunan dan benda-benda: yang terbakar berserakan sedemikian rupa seperti baru saja terjadi pemboman.: Sampah mulai bertumpuk di pinggiran jalan dan taman-taman kota dan pinggiran: pantai Mardika tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk melepas lelah: seperti sedia kala. Penyakit tifus mulai menyerang anak-anak.: : Sungguh ironis, tragis dan mengerikan, mengingat julukan MANISE yang selama: ini melekat pada kota Ambon. Kedamaian dan keindahan kota Ambon terasa: lenyap begitu saja, seolah kota ini telah menjadi kota hantu. Kalangan: formal (terutama pihak Pemerintah Daerah dan ABRI) telah menyatakan bahwa: kota ini sudah aman. Sementara pihak awam, terutama para pengguna jasa: transportasi umum dan bahkan sebagian besar pegawai negeri, pelajar dan: mahasiswa, masih was-was dan takut serta trauma dengan perang yang berlangsung: hampir seminggu itu. Masyarakat masih takut keluar rumah setelah jam 18:00: malam, walaupun tidak ada pemberlakuan jam malam. Mereka tidak percaya: ada jaminan keamanan terhadap jiwa mereka seiring dengan datangnya kegelapan: malam. Siang hari pun, masyarakat memilih menghindari wilayah kota yang: sepi. Hanya sedikit toko yang berani buka, walau pada siang hari. Itupun: hanya sebuah pintu yang setengah terbuka untuk dilewati satu orang saja.: Kantor-kantor dan sekolah-sekolah belum berjalan normal. Barak-barak: pengungsian masih penuh pengungsi yang enggan pulang ke desa-desa mereka.: Sementara itu belum ada satupun orang yang diajukan ke pengadilan dalam: kaitan dengan perang Ambon 1999 itu. Memang tidak mungkin menghilangkan: trauma dan puing-puing akibat perang itu hanya dalam tempo 2 minggu: pasca-perang.: : -***-: : Seiring dengan usaha pemulihan kehidupan kota, merebak pula berbagai diskusi: dan telaah terhadap sebab musabab dan jalan keluar untuk menghindari timbul-: nya perang serupa di masa depan. Nampaknya banyak pihak ingin menjadikan: pertumpahan darah dan kerusakan yang begitu hebat dan dahsyat di kota AMbon: itu sebagai catatan sejarah kelabu yang pertama dan terakhir, alfa dan omega.: Tentu harapan baik tersebut tidak begitu saja dapat terwujud apabila akar: pemicu dan iklim pendukung timbulnya perang saudara itu tidak dicari, dikaji: dan dimusnahkan secara sistematis, logis dan adil. Ibarat api dalam sekam,: faktor-faktor apapun yang sengaja disembunyikan di balik peristiwa ini,: akan kembali membakar dan menghanguskan kota Ambon, cepat atau lambat,: khususnya dalam suasana politik, ekonomi dan sosial budaya nasional yang: hingar-bingar dan amburadul seperti saat ini.: : Sebagai sumbangan pemikiran bagi pulihnya kondisi Ambon, bahkan Maluku,: pasca-perang AMbon 1999, maka berikut ini penulis sampaikan pendapat: yang penulis sampaikan pada pertemuan antara tim Komisi HAM Nasional: Indonesia (Bapak ALbert Hasibuan, SH dan Bapak Benjamin Mangkudilaga, SH): dengan civitas akademika Unpatti di AMbon tanggal 1 Februari 1999 yang lalu.: : Pertama, telah terjadi salah kaprah dalam menilai akar penyebab perang: antar suku dan agama di Ambon. Begitu perang itu pecah tanggal 19 Januari: 1999, para birokrat dan pemuka agama di level nasional dan daerah serta: sebagian masyarakat Maluku, mempertanyakan efektifitas nilai pela dan gandong.: Banyak pihak hanyut dan latah (ikut-ikutan) menyuarakan hal itu. Namun: tidak ada suara yang mempertanyakan keberadaan SISTEM ADAT yang di dalamnya: nilai-nilai