Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.

1999-04-18 Terurut Topik Blucer Rajagukguk

FNU Brawijaya wrote:

 Wah, susah urusan sama yg pesimistis giniheheya enak mimpin, kaya,
 dan disayang orang dong.
FNA: lebih enak lagi punya anak yang baik, tidak sombong lagipula
pintar, seperti si boy. Memang enak ngobrol sama pemimpi yang pengennya
ideal terus :)

  FNU:
 Wah, sudah mau masuk liang kubur masak gitu. Yang proporsional ah.
 Kalau mau ngabur, sekarang dia bisa ngabur. Nggak perlu ke Inggris,
 ke negara Amerika Latin banyak yang senang menerima rangkayo
 seperti ini. So, argumen Bung Blucer kok serasa tidak masuk ke saya yah
 Bener lho, menurut saya kalau mereka mau ngabur nobody can't stop them.
FNA: Lho, siapa yang nyuruh kabur? Justru di Indonesia masih lebih enak,
wong dimana-mana enggak dikasih visa, mau kabur kemana. Paling-paling
kerumahnya Nelson Mandela. Dengan tetap tinggalnya pak harto dicendana,
pengadilan yang tersendat-sendat, bukti telepon habibie-ghalib, keluarga
masih bergerak dinamis, ini tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Pak Harto
itu tidak kualat dan masih menjadi penguasa sebenarnya pemerintah
sekarang.

  FNU:
 Weleh...kepriben ini oom. Latar belakang argumennya bagaimana ini? Hopo
 iya 80 juta orang waswas ndak makan? Mosok iya Pak Harto nggak was-was
 keluar rumah. Kalau menurut akal saya (ndak tahu sehat atau tidak) Suharto
 akan sangat was-was untuk keluar rumah. Kita ndak bicara bayar-membayar
 rasa was-was kan?
FNA: 80 juta orang ini potensial terpuruk pendapatannya dan digolongkan
sebagai 'orang miskin' yang saya ekstrimkan istilahnya sebagai
orang-orang yang was-was tidak bisa memenuhi makannya dengan memadai.
Tanpa menuduh akal mas Jaya sehat atau tidak, saya berani jamin tidak
ada secuil hatipun buat Pak Harto untuk was-was keluar rumah.
Sekali lagi yang was-was keluar rumah sekarang ini di Indonesia cuma
penduduk ambon dan sambas.

   FNU
 Coba disebutkan elemen keenam dan ketujuhnya itu.
FNA: Justru ini yang saya binun'. Gimana kalau tanya pak Harto langsung,
kenapa dia belum berhenti pada saat dia telah mendapatkan semuanya.
  FNU
 Hehe.sulit kalau diskusi dengan gelap mata gini. Pengikut Suharto masih
 banyak sudah didasarkan pengamatan belum? Tidak relevan
 membandingkan kepedihan Sukarno dan Suharto. Jamannya beda. Yang
 boleh bilang pedih cuman Yuni Shara aja kalau nyanyi. Rasa nikmat tidak
 dapat diukur oleh ada tidaknya cable.
FNA: Yang saya rasakan dan amati pengikut Soeharto tetap banyak,
terutama dari partai-partai yang muncul dan banyak kasus yang terjadi.
Jangan-jangan malah mas jaya yang ngamatinya pake kacamata rayban :)
Membandingkan kepedihan bung karno dan pak harto tidak relevan dari
mana? apa mas jaya sendiri yang punya buku relevan...Orang membandingkan
PD I dan PD II, saja tetap ok walaupun jamannya beda. Mas jaya ada bakat
diktator lho, kok pake intruksi cuma Yuni Shara saja yang cuma boleh
bilang pedih :)). Soal nikmat bukan cable saja, banyak orang makan tanpa
cabe akan kurang nikmat.
  FNU  Lho, anda ini gimana sih. Kalau endak suka sama orang yang suka
 ngerebut bini orang kok bisa seneng sama Bung Karno? Hehehe
 weleh...weleh itu mbahnya bajul itu. wah, baca lebih lengkap lagi dong.
 Kalau saya hormat dengan Bung Karno dengan dasar yang beda. Tapi
 kalau masalah kebajulan Bung Karnowahampun  udah ah...
 ngomongin orang yg sudah meninggal ndak baik. Tapi kalau mbandingin
 Ken Arok dan Bung Karnoheheheserasa membandingkan boyo dg
 boyo, atau malah kadal dengan boyo... (ojo ngasur ae cak).
FNA: Lho siapa yang bilang saya seneng sama bung Karno? Memangnya saya
homo, kalau seneng sama dewi soekarno itu mungkin.
Mas jaya baru bangun tidur yach?

 Bung Blucer kalau mau pipis jangan bilang-bilang dong. Hehehe
 To be honest, kita mau ngomongin apa sih ini. Kok udur-uduran
 jadi ndak ada ujung pangkal.

Lho yang kita omongin khan persis kondisi KKN di Indonesia yang juga
enggak ada ujung pangkalnya. Atau masalah keturunan Cina dan pribumi
yang juga enggak ada ujung pangkalnya. Lagipula benda yang memiliki
ujung pangkal juga enggak seberapa :)
Pipis bareng-bareng yuk, tapi jangan deket-deket nanti disangka anak
muridnya Joop Ave lagi:)

peace,
Blucer



Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.

1999-04-16 Terurut Topik bRidWaN

h.Orang Lama ya tetap Orang Lama...
Biarkanlah Orang Baru yang mengisi gerbong Reformasi..

Salam,
bRidWaN

At 08:12 16/04/99 -0500, Indi Soemardjan wrote:
Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR. Selo Soemardjan dalam
tulisannya dengan gamblang, tanpa
rasa sungkan menyebutkan bahwa Habibie, Presiden Indonesia ke-3 itu tak
memiliki wahyu setitik pun sebagai
kepala pemerintahan.


baca lebih lanjut:
http://www.geocities.com/CapitolHill/Senate/9545/habibie.htm


--

Indi Soemardjan
Be my guest: http://pagina.de/indradi





Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.

1999-04-16 Terurut Topik Alexander Lumbantobing

Kalau menunggu wahyu, ini sama saja dengan pendekatan "top-down". Sekarang
reformasi sedang bergerak "bottom-up".

Perihal mendapatkan wahyu untuk menjadi pemimpin, ini khas ajaran feodalisme
lama. Bukan hanya terdapat dalam budaya Jawa, tapi ini juga sangat mirip
dengan Eropa di Abad Pertengahan sewaktu dipimpin raja-raja dan para ksatria
(knights and chivalries) yang berkolusi dengan para rohaniwan yang menjadi
penghubung dunia "atas" dan dunia "bawah".

Budaya seperti ini selalu dipakai sebagai salah satu alat Suharto untuk
melanggengkan kekuasaan. Tidak heran jika kemudian banyak melahirkan kaum
penjilat dan tukang cari muka:

"Jilat ke atas, menginjak ke bawah, meludah ke depan, kentut ke belakang,
sambil sikut kiri dan kanan"

Dengan dibudayakannya cara pandang "top-down" seperti ini, para bawahan
(bawah=down) diharuskan berorientasi ke atas (top), supaya mendapatkan aliran
sinar biru itu. Semua bawahan jadi manggut-manggut jika sang atasan berbicara
atau memberikan keterangan. Atau cengar-cengir seperti kuda jika sang atasan
sedang melucu yang tidak lucu. Betul-betul mematikan pemikiran-pemikiran
kreatif. Memang benar-benar ajaran beberapa abad yang lalu

Rgds,

Alexander Lumbantobing



Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.

1999-04-16 Terurut Topik Indi Soemardjan

analisa Anda bagus sekali!

setuju!

FNU Brawijaya wrote:

 Mungkin Bung Alex tidak perlu membaca secara leterlek...
 Memang sulit bagi anda untuk memahami budaya penuh perlambang
 yang dianut oleh sebagian masy. kita. Pada jaman modern ini, yang
 dimaksud tidak mempunyai wahyu adalah tidak mempunyai tanda-tanda
 kepemimpinan.

 Buat Bung Blucer, kalau mau memimpin 30 tahun dan kaya lalu dimaki
 200 juta orang apa mau? Sekarang gini aja, apa sih pemikiran orang yang
 sudah tua, yg sudah mau mati? Tentu keselamatan keturunannya kan?
 Suharto saat ini sudah terhukum oleh rasa was-was bagaimana anak-cucu-
 nya nanti. Saat ini mungkin masih banyak yg merasa kasihan dengan sosok
 tua yang disamping banyak dosa kepada rakyat, tetapi juga punya jasa
 kan? Kalau sudah meninggal, siapa yg dapat menjamin keselamatan anak
 cucunya.

 Lagipula ya mari kita bicara tentang Maslow deh
 Suharto sudah punya kelima-limanya. Di akhir senjanya justru dia kehilangan
 satu buah (atau dua buah) yaitu pengakuan dan pencapaian. Sejelek-jeleknya
 seorang pemimpin, apa tidak ingin dikenang sebagai pahlawan, atau orang
 yang berjasa buat negara. Yang inilah yang saat ini hilang dari rengkuhan
 Suharto. Selama 10 tahun pertama tidak ada yg tidak mengakui kepiawaian
 dia. Siapa nyana 20 tahun kemudian semua pencapaiannya hilang.
 Pengakuan sebagai bapak pembangunan juga menjadi bahan ejekan...

 Apakah sudah selesai? Belum nak-anake belum beres.
 Makanya...menurut saya, saat inipun Suharto sudah terhukum. Dan masih
 akan menerima jenis hukuman lain. Ini yang dimaksud dengan KUALAT.
 Hukuman masyarakat lebih pedih dari hukuman penjara. Apalagi kalau
 menerima keduanya.

 Eh, Ini terlepas dari bagaimana dia memperoleh kekuasaan. Ken Arok saja
 (yg diledekin terus oleh CW) di akhir hayatnya dikenang orang kerajaannya
 sebagai orang terhotmat. Dari sekedar Tumapel menjadi Singasari yang
 besar. Padahal anake rampok, ngerebut bini orang, bunuh bos-nya, toh
 masih dapat pengakuan dan pencapaian. Siapa yang meledek Ken Arok?
 Paling CW. Kalau nasib Suharto?

 Salam,
 Jaya

 
 Alexander Lumbantobing wrote:

  Kalau menunggu wahyu, ini sama saja dengan pendekatan "top-down". Sekarang
  reformasi sedang bergerak "bottom-up".
 
  Perihal mendapatkan wahyu untuk menjadi pemimpin, ini khas ajaran feodalisme
  lama. Bukan hanya terdapat dalam budaya Jawa, tapi ini juga sangat mirip
  dengan Eropa di Abad Pertengahan sewaktu dipimpin raja-raja dan para ksatria
  (knights and chivalries) yang berkolusi dengan para rohaniwan yang menjadi
  penghubung dunia "atas" dan dunia "bawah".
 
  Budaya seperti ini selalu dipakai sebagai salah satu alat Suharto untuk
  melanggengkan kekuasaan. Tidak heran jika kemudian banyak melahirkan kaum
  penjilat dan tukang cari muka:
 
  "Jilat ke atas, menginjak ke bawah, meludah ke depan, kentut ke belakang,
  sambil sikut kiri dan kanan"
 
  Dengan dibudayakannya cara pandang "top-down" seperti ini, para bawahan
  (bawah=down) diharuskan berorientasi ke atas (top), supaya mendapatkan aliran
  sinar biru itu. Semua bawahan jadi manggut-manggut jika sang atasan berbicara
  atau memberikan keterangan. Atau cengar-cengir seperti kuda jika sang atasan
  sedang melucu yang tidak lucu. Betul-betul mematikan pemikiran-pemikiran
  kreatif. Memang benar-benar ajaran beberapa abad yang lalu
 
  Rgds,
 
  Alexander Lumbantobing

 --
\\\|///
  \\  - -  //
   (  @ @  )
 oOOo-(_)-oOOo---
 FNU Brawijaya
 Dept of Civil Engineering
 Rensselaer Polytechnic Institute
 mailto:[EMAIL PROTECTED]
 Oooo
oooO (   )
   (   )  ) /
\ (  (_/
 \_)

--

Indi Soemardjan
Be my guest: http://pagina.de/indradi



Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.

1999-04-16 Terurut Topik Ali Simplido

--- bRidWaN [EMAIL PROTECTED] wrote:
 h.Orang Lama ya tetap Orang Lama...
 Biarkanlah Orang Baru yang mengisi gerbong
 Reformasi..

 Salam,
 bRidWaN

 At 08:12 16/04/99 -0500, Indi Soemardjan wrote:
 Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.
 Selo Soemardjan dalam
 tulisannya dengan gamblang, tanpa
 rasa sungkan menyebutkan bahwa Habibie, Presiden
 Indonesia ke-3 itu tak
 memiliki wahyu setitik pun sebagai
 kepala pemerintahan.
 

Apakah Hitler mendapat wahyu untuk memimpin NAZI???
Apakah Slobodan Milosovec mendapat wahyu untuk memimpin Yugoslavia?

dll

Ali Simplido
_
Do You Yahoo!?
Get your free @yahoo.com address at http://mail.yahoo.com



Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.

1999-04-16 Terurut Topik Blucer Rajagukguk

Barusan saja Wahyu lewat didepan saya :)

peace,
-Blucer-

Alexander Lumbantobing wrote:

 Kalau menunggu wahyu, ini sama saja dengan pendekatan "top-down". Sekarang
 reformasi sedang bergerak "bottom-up".

 Perihal mendapatkan wahyu untuk menjadi pemimpin, ini khas ajaran feodalisme
 lama. Bukan hanya terdapat dalam budaya Jawa, tapi ini juga sangat mirip
 dengan Eropa di Abad Pertengahan sewaktu dipimpin raja-raja dan para ksatria
 (knights and chivalries) yang berkolusi dengan para rohaniwan yang menjadi
 penghubung dunia "atas" dan dunia "bawah".

 Budaya seperti ini selalu dipakai sebagai salah satu alat Suharto untuk
 melanggengkan kekuasaan. Tidak heran jika kemudian banyak melahirkan kaum
 penjilat dan tukang cari muka:

 "Jilat ke atas, menginjak ke bawah, meludah ke depan, kentut ke belakang,
 sambil sikut kiri dan kanan"

 Dengan dibudayakannya cara pandang "top-down" seperti ini, para bawahan
 (bawah=down) diharuskan berorientasi ke atas (top), supaya mendapatkan aliran
 sinar biru itu. Semua bawahan jadi manggut-manggut jika sang atasan berbicara
 atau memberikan keterangan. Atau cengar-cengir seperti kuda jika sang atasan
 sedang melucu yang tidak lucu. Betul-betul mematikan pemikiran-pemikiran
 kreatif. Memang benar-benar ajaran beberapa abad yang lalu

 Rgds,

 Alexander Lumbantobing



Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.

1999-04-16 Terurut Topik FNU Brawijaya

 FNU Brawijaya wrote:
  Buat Bung Blucer, kalau mau memimpin 30 tahun dan kaya lalu dimaki
  200 juta orang apa mau?
 FNA (Blucer): daripada enggak pernah mimpin dan enggak pernah kaya, tapi
 tetap dimaki orang, yach saya pilih yang atas sajalah :)

Wah, susah urusan sama yg pesimistis giniheheya enak mimpin, kaya,
dan disayang orang dong.

 FNA:
 pemikirannya banyak, bukan keselamatan keturunannya saja. Bisa ingin
 berlibur ke Hawaii, atau ke London, atau ke New Zealand (yang ini
 kayaknya hobinya Joop Ave, habis banyak yang imut-imut sich disana),
 ataupun menambah partner hidup (selir).

Wah, sudah mau masuk liang kubur masak gitu. Yang proporsional ah.
Kalau mau ngabur, sekarang dia bisa ngabur. Nggak perlu ke Inggris,
ke negara Amerika Latin banyak yang senang menerima rangkayo
seperti ini. So, argumen Bung Blucer kok serasa tidak masuk ke saya yah
Bener lho, menurut saya kalau mereka mau ngabur nobody can't stop them.


 FNU:
  Suharto saat ini sudah terhukum oleh rasa was-was bagaimana anak-cucu-
  nya nanti. Saat ini mungkin masih banyak yg merasa kasihan dengan sosok tua yang 
disamping banyak dosa kepada rakyat, tetapi juga punya jasa kan? Kalau sudah 
meninggal, siapa yg dapat menjamin keselamatan anak cucunya.
 FNA: Saya bisa membayangkan sampai sejauh mana was-wasnya pak harto,
 yang tentunya tidak sebesar was-wasnya 80 juta orang miskin untuk
 makannya dan keluarganya untuk esok hari (enggak usah menunggu sampai
 meninggal). Was-wasnya Pak Harto juga tidak sebesar was-wasnya penduduk
 Ambon dan Sambas untuk keluar dimalam hari. Was-wasnya yang cuma sebesar
 itu telah terbayar dengan mendapat kedudukan pemimpin selama 32 tahun
 dan mewariskan harta trilyunan kepada anak (ponakan), adik, cucu dan
 cicit tersayang.

Weleh...kepriben ini oom. Latar belakang argumennya bagaimana ini? Hopo
iya 80 juta orang waswas ndak makan? Mosok iya Pak Harto nggak was-was
keluar rumah. Kalau menurut akal saya (ndak tahu sehat atau tidak) Suharto
akan sangat was-was untuk keluar rumah. Kita ndak bicara bayar-membayar
rasa was-was kan?


  FNU Lagipula ya mari kita bicara tentang Maslow deh
  Suharto sudah punya kelima-limanya. Di akhir senjanya justru dia kehilangan
  satu buah (atau dua buah) yaitu pengakuan dan pencapaian. Sejelek-jeleknya
  seorang pemimpin, apa tidak ingin dikenang sebagai pahlawan, atau orang
  yang berjasa buat negara. Yang inilah yang saat ini hilang dari rengkuhan
  Suharto. Selama 10 tahun pertama tidak ada yg tidak mengakui kepiawaian
  dia. Siapa nyana 20 tahun kemudian semua pencapaiannya hilang.
  Pengakuan sebagai bapak pembangunan juga menjadi bahan ejekan...
 FNA: Akh Maslow mana cocok untuk Pak Harto. Diperlukan teori kepuasan
 baru untuk beliau. Bukankah lima macam elemen Maslow sebenarnya telah
 diraih, hanya beliau saja tidak puas dan mau mencari elemen keenam dan
 ketujuh.

Coba disebutkan elemen keenam dan ketujuhnya itu.


 FNU Apakah sudah selesai? Belum nak-anake belum beres.
  Makanya...menurut saya, saat inipun Suharto sudah terhukum. Dan masih
  akan menerima jenis hukuman lain. Ini yang dimaksud dengan KUALAT.
  Hukuman masyarakat lebih pedih dari hukuman penjara. Apalagi kalau
  menerima keduanya.
 FNA: Kalau dibilang pedih, saya cuma komentar mungkin saja. Karena
 kedalaman hati pak harto susah diukur, buktinya beliau masih sempat
 komentar disurat kabar jepang. Pengikut juga masih banyak, apanya yang
 kualat, pak Karno malah lebih pedih lagi diakhir hidupnya, padahal
 beliau yang malah korban supersemar. Pak harto masih bisa lihat cable,
 ngobrol sana-sini, pak karno dulu (berdasarkan bukti-bukti sejarah)
 benar-benar diisolasi.

Hehe.sulit kalau diskusi dengan gelap mata gini. Pengikut Suharto masih
banyak sudah didasarkan pengamatan belum? Tidak relevan
membandingkan kepedihan Sukarno dan Suharto. Jamannya beda. Yang
boleh bilang pedih cuman Yuni Shara aja kalau nyanyi. Rasa nikmat tidak
dapat diukur oleh ada tidaknya cable.


 FNU Eh, Ini terlepas dari bagaimana dia memperoleh kekuasaan. Ken Arok
 saja (yg diledekin terus oleh CW) di akhir hayatnya dikenang orang
 kerajaannya sebagai orang terhotmat. Dari sekedar Tumapel menjadi
 Singasari yang
  besar. Padahal anake rampok, ngerebut bini orang, bunuh bos-nya, toh
  masih dapat pengakuan dan pencapaian. Siapa yang meledek Ken Arok?
  Paling CW. Kalau nasib Suharto?
 FNA: kalau soal mengenang akan kembali keindividu. Apakah akan dikenang
 sebagai orang yang terhormat, atau dikenal sebagai orang yang gila
 hormat. Saya akan tetap meledek ken Arok, karena saya tak pernah suka
 sama orang yang ngerebut bini orang (malu-maluin lah yauw..:)

Lho, anda ini gimana sih. Kalau endak suka sama orang yang suka
ngerebut bini orang kok bisa seneng sama Bung Karno? Hehehe
weleh...weleh itu mbahnya bajul itu. wah, baca lebih lengkap lagi dong.
Kalau saya hormat dengan Bung Karno dengan dasar yang beda. Tapi
kalau masalah kebajulan Bung Karnowahampun  udah ah...
ngomongin