Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.
FNU Brawijaya wrote: Wah, susah urusan sama yg pesimistis giniheheya enak mimpin, kaya, dan disayang orang dong. FNA: lebih enak lagi punya anak yang baik, tidak sombong lagipula pintar, seperti si boy. Memang enak ngobrol sama pemimpi yang pengennya ideal terus :) FNU: Wah, sudah mau masuk liang kubur masak gitu. Yang proporsional ah. Kalau mau ngabur, sekarang dia bisa ngabur. Nggak perlu ke Inggris, ke negara Amerika Latin banyak yang senang menerima rangkayo seperti ini. So, argumen Bung Blucer kok serasa tidak masuk ke saya yah Bener lho, menurut saya kalau mereka mau ngabur nobody can't stop them. FNA: Lho, siapa yang nyuruh kabur? Justru di Indonesia masih lebih enak, wong dimana-mana enggak dikasih visa, mau kabur kemana. Paling-paling kerumahnya Nelson Mandela. Dengan tetap tinggalnya pak harto dicendana, pengadilan yang tersendat-sendat, bukti telepon habibie-ghalib, keluarga masih bergerak dinamis, ini tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Pak Harto itu tidak kualat dan masih menjadi penguasa sebenarnya pemerintah sekarang. FNU: Weleh...kepriben ini oom. Latar belakang argumennya bagaimana ini? Hopo iya 80 juta orang waswas ndak makan? Mosok iya Pak Harto nggak was-was keluar rumah. Kalau menurut akal saya (ndak tahu sehat atau tidak) Suharto akan sangat was-was untuk keluar rumah. Kita ndak bicara bayar-membayar rasa was-was kan? FNA: 80 juta orang ini potensial terpuruk pendapatannya dan digolongkan sebagai 'orang miskin' yang saya ekstrimkan istilahnya sebagai orang-orang yang was-was tidak bisa memenuhi makannya dengan memadai. Tanpa menuduh akal mas Jaya sehat atau tidak, saya berani jamin tidak ada secuil hatipun buat Pak Harto untuk was-was keluar rumah. Sekali lagi yang was-was keluar rumah sekarang ini di Indonesia cuma penduduk ambon dan sambas. FNU Coba disebutkan elemen keenam dan ketujuhnya itu. FNA: Justru ini yang saya binun'. Gimana kalau tanya pak Harto langsung, kenapa dia belum berhenti pada saat dia telah mendapatkan semuanya. FNU Hehe.sulit kalau diskusi dengan gelap mata gini. Pengikut Suharto masih banyak sudah didasarkan pengamatan belum? Tidak relevan membandingkan kepedihan Sukarno dan Suharto. Jamannya beda. Yang boleh bilang pedih cuman Yuni Shara aja kalau nyanyi. Rasa nikmat tidak dapat diukur oleh ada tidaknya cable. FNA: Yang saya rasakan dan amati pengikut Soeharto tetap banyak, terutama dari partai-partai yang muncul dan banyak kasus yang terjadi. Jangan-jangan malah mas jaya yang ngamatinya pake kacamata rayban :) Membandingkan kepedihan bung karno dan pak harto tidak relevan dari mana? apa mas jaya sendiri yang punya buku relevan...Orang membandingkan PD I dan PD II, saja tetap ok walaupun jamannya beda. Mas jaya ada bakat diktator lho, kok pake intruksi cuma Yuni Shara saja yang cuma boleh bilang pedih :)). Soal nikmat bukan cable saja, banyak orang makan tanpa cabe akan kurang nikmat. FNU Lho, anda ini gimana sih. Kalau endak suka sama orang yang suka ngerebut bini orang kok bisa seneng sama Bung Karno? Hehehe weleh...weleh itu mbahnya bajul itu. wah, baca lebih lengkap lagi dong. Kalau saya hormat dengan Bung Karno dengan dasar yang beda. Tapi kalau masalah kebajulan Bung Karnowahampun udah ah... ngomongin orang yg sudah meninggal ndak baik. Tapi kalau mbandingin Ken Arok dan Bung Karnoheheheserasa membandingkan boyo dg boyo, atau malah kadal dengan boyo... (ojo ngasur ae cak). FNA: Lho siapa yang bilang saya seneng sama bung Karno? Memangnya saya homo, kalau seneng sama dewi soekarno itu mungkin. Mas jaya baru bangun tidur yach? Bung Blucer kalau mau pipis jangan bilang-bilang dong. Hehehe To be honest, kita mau ngomongin apa sih ini. Kok udur-uduran jadi ndak ada ujung pangkal. Lho yang kita omongin khan persis kondisi KKN di Indonesia yang juga enggak ada ujung pangkalnya. Atau masalah keturunan Cina dan pribumi yang juga enggak ada ujung pangkalnya. Lagipula benda yang memiliki ujung pangkal juga enggak seberapa :) Pipis bareng-bareng yuk, tapi jangan deket-deket nanti disangka anak muridnya Joop Ave lagi:) peace, Blucer
Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.
h.Orang Lama ya tetap Orang Lama... Biarkanlah Orang Baru yang mengisi gerbong Reformasi.. Salam, bRidWaN At 08:12 16/04/99 -0500, Indi Soemardjan wrote: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR. Selo Soemardjan dalam tulisannya dengan gamblang, tanpa rasa sungkan menyebutkan bahwa Habibie, Presiden Indonesia ke-3 itu tak memiliki wahyu setitik pun sebagai kepala pemerintahan. baca lebih lanjut: http://www.geocities.com/CapitolHill/Senate/9545/habibie.htm -- Indi Soemardjan Be my guest: http://pagina.de/indradi
Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.
Kalau menunggu wahyu, ini sama saja dengan pendekatan "top-down". Sekarang reformasi sedang bergerak "bottom-up". Perihal mendapatkan wahyu untuk menjadi pemimpin, ini khas ajaran feodalisme lama. Bukan hanya terdapat dalam budaya Jawa, tapi ini juga sangat mirip dengan Eropa di Abad Pertengahan sewaktu dipimpin raja-raja dan para ksatria (knights and chivalries) yang berkolusi dengan para rohaniwan yang menjadi penghubung dunia "atas" dan dunia "bawah". Budaya seperti ini selalu dipakai sebagai salah satu alat Suharto untuk melanggengkan kekuasaan. Tidak heran jika kemudian banyak melahirkan kaum penjilat dan tukang cari muka: "Jilat ke atas, menginjak ke bawah, meludah ke depan, kentut ke belakang, sambil sikut kiri dan kanan" Dengan dibudayakannya cara pandang "top-down" seperti ini, para bawahan (bawah=down) diharuskan berorientasi ke atas (top), supaya mendapatkan aliran sinar biru itu. Semua bawahan jadi manggut-manggut jika sang atasan berbicara atau memberikan keterangan. Atau cengar-cengir seperti kuda jika sang atasan sedang melucu yang tidak lucu. Betul-betul mematikan pemikiran-pemikiran kreatif. Memang benar-benar ajaran beberapa abad yang lalu Rgds, Alexander Lumbantobing
Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.
analisa Anda bagus sekali! setuju! FNU Brawijaya wrote: Mungkin Bung Alex tidak perlu membaca secara leterlek... Memang sulit bagi anda untuk memahami budaya penuh perlambang yang dianut oleh sebagian masy. kita. Pada jaman modern ini, yang dimaksud tidak mempunyai wahyu adalah tidak mempunyai tanda-tanda kepemimpinan. Buat Bung Blucer, kalau mau memimpin 30 tahun dan kaya lalu dimaki 200 juta orang apa mau? Sekarang gini aja, apa sih pemikiran orang yang sudah tua, yg sudah mau mati? Tentu keselamatan keturunannya kan? Suharto saat ini sudah terhukum oleh rasa was-was bagaimana anak-cucu- nya nanti. Saat ini mungkin masih banyak yg merasa kasihan dengan sosok tua yang disamping banyak dosa kepada rakyat, tetapi juga punya jasa kan? Kalau sudah meninggal, siapa yg dapat menjamin keselamatan anak cucunya. Lagipula ya mari kita bicara tentang Maslow deh Suharto sudah punya kelima-limanya. Di akhir senjanya justru dia kehilangan satu buah (atau dua buah) yaitu pengakuan dan pencapaian. Sejelek-jeleknya seorang pemimpin, apa tidak ingin dikenang sebagai pahlawan, atau orang yang berjasa buat negara. Yang inilah yang saat ini hilang dari rengkuhan Suharto. Selama 10 tahun pertama tidak ada yg tidak mengakui kepiawaian dia. Siapa nyana 20 tahun kemudian semua pencapaiannya hilang. Pengakuan sebagai bapak pembangunan juga menjadi bahan ejekan... Apakah sudah selesai? Belum nak-anake belum beres. Makanya...menurut saya, saat inipun Suharto sudah terhukum. Dan masih akan menerima jenis hukuman lain. Ini yang dimaksud dengan KUALAT. Hukuman masyarakat lebih pedih dari hukuman penjara. Apalagi kalau menerima keduanya. Eh, Ini terlepas dari bagaimana dia memperoleh kekuasaan. Ken Arok saja (yg diledekin terus oleh CW) di akhir hayatnya dikenang orang kerajaannya sebagai orang terhotmat. Dari sekedar Tumapel menjadi Singasari yang besar. Padahal anake rampok, ngerebut bini orang, bunuh bos-nya, toh masih dapat pengakuan dan pencapaian. Siapa yang meledek Ken Arok? Paling CW. Kalau nasib Suharto? Salam, Jaya Alexander Lumbantobing wrote: Kalau menunggu wahyu, ini sama saja dengan pendekatan "top-down". Sekarang reformasi sedang bergerak "bottom-up". Perihal mendapatkan wahyu untuk menjadi pemimpin, ini khas ajaran feodalisme lama. Bukan hanya terdapat dalam budaya Jawa, tapi ini juga sangat mirip dengan Eropa di Abad Pertengahan sewaktu dipimpin raja-raja dan para ksatria (knights and chivalries) yang berkolusi dengan para rohaniwan yang menjadi penghubung dunia "atas" dan dunia "bawah". Budaya seperti ini selalu dipakai sebagai salah satu alat Suharto untuk melanggengkan kekuasaan. Tidak heran jika kemudian banyak melahirkan kaum penjilat dan tukang cari muka: "Jilat ke atas, menginjak ke bawah, meludah ke depan, kentut ke belakang, sambil sikut kiri dan kanan" Dengan dibudayakannya cara pandang "top-down" seperti ini, para bawahan (bawah=down) diharuskan berorientasi ke atas (top), supaya mendapatkan aliran sinar biru itu. Semua bawahan jadi manggut-manggut jika sang atasan berbicara atau memberikan keterangan. Atau cengar-cengir seperti kuda jika sang atasan sedang melucu yang tidak lucu. Betul-betul mematikan pemikiran-pemikiran kreatif. Memang benar-benar ajaran beberapa abad yang lalu Rgds, Alexander Lumbantobing -- \\\|/// \\ - - // ( @ @ ) oOOo-(_)-oOOo--- FNU Brawijaya Dept of Civil Engineering Rensselaer Polytechnic Institute mailto:[EMAIL PROTECTED] Oooo oooO ( ) ( ) ) / \ ( (_/ \_) -- Indi Soemardjan Be my guest: http://pagina.de/indradi
Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.
--- bRidWaN [EMAIL PROTECTED] wrote: h.Orang Lama ya tetap Orang Lama... Biarkanlah Orang Baru yang mengisi gerbong Reformasi.. Salam, bRidWaN At 08:12 16/04/99 -0500, Indi Soemardjan wrote: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR. Selo Soemardjan dalam tulisannya dengan gamblang, tanpa rasa sungkan menyebutkan bahwa Habibie, Presiden Indonesia ke-3 itu tak memiliki wahyu setitik pun sebagai kepala pemerintahan. Apakah Hitler mendapat wahyu untuk memimpin NAZI??? Apakah Slobodan Milosovec mendapat wahyu untuk memimpin Yugoslavia? dll Ali Simplido _ Do You Yahoo!? Get your free @yahoo.com address at http://mail.yahoo.com
Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.
Barusan saja Wahyu lewat didepan saya :) peace, -Blucer- Alexander Lumbantobing wrote: Kalau menunggu wahyu, ini sama saja dengan pendekatan "top-down". Sekarang reformasi sedang bergerak "bottom-up". Perihal mendapatkan wahyu untuk menjadi pemimpin, ini khas ajaran feodalisme lama. Bukan hanya terdapat dalam budaya Jawa, tapi ini juga sangat mirip dengan Eropa di Abad Pertengahan sewaktu dipimpin raja-raja dan para ksatria (knights and chivalries) yang berkolusi dengan para rohaniwan yang menjadi penghubung dunia "atas" dan dunia "bawah". Budaya seperti ini selalu dipakai sebagai salah satu alat Suharto untuk melanggengkan kekuasaan. Tidak heran jika kemudian banyak melahirkan kaum penjilat dan tukang cari muka: "Jilat ke atas, menginjak ke bawah, meludah ke depan, kentut ke belakang, sambil sikut kiri dan kanan" Dengan dibudayakannya cara pandang "top-down" seperti ini, para bawahan (bawah=down) diharuskan berorientasi ke atas (top), supaya mendapatkan aliran sinar biru itu. Semua bawahan jadi manggut-manggut jika sang atasan berbicara atau memberikan keterangan. Atau cengar-cengir seperti kuda jika sang atasan sedang melucu yang tidak lucu. Betul-betul mematikan pemikiran-pemikiran kreatif. Memang benar-benar ajaran beberapa abad yang lalu Rgds, Alexander Lumbantobing
Re: Di surat kabar KOMPAS, pakar sosiologi Prof. DR.
FNU Brawijaya wrote: Buat Bung Blucer, kalau mau memimpin 30 tahun dan kaya lalu dimaki 200 juta orang apa mau? FNA (Blucer): daripada enggak pernah mimpin dan enggak pernah kaya, tapi tetap dimaki orang, yach saya pilih yang atas sajalah :) Wah, susah urusan sama yg pesimistis giniheheya enak mimpin, kaya, dan disayang orang dong. FNA: pemikirannya banyak, bukan keselamatan keturunannya saja. Bisa ingin berlibur ke Hawaii, atau ke London, atau ke New Zealand (yang ini kayaknya hobinya Joop Ave, habis banyak yang imut-imut sich disana), ataupun menambah partner hidup (selir). Wah, sudah mau masuk liang kubur masak gitu. Yang proporsional ah. Kalau mau ngabur, sekarang dia bisa ngabur. Nggak perlu ke Inggris, ke negara Amerika Latin banyak yang senang menerima rangkayo seperti ini. So, argumen Bung Blucer kok serasa tidak masuk ke saya yah Bener lho, menurut saya kalau mereka mau ngabur nobody can't stop them. FNU: Suharto saat ini sudah terhukum oleh rasa was-was bagaimana anak-cucu- nya nanti. Saat ini mungkin masih banyak yg merasa kasihan dengan sosok tua yang disamping banyak dosa kepada rakyat, tetapi juga punya jasa kan? Kalau sudah meninggal, siapa yg dapat menjamin keselamatan anak cucunya. FNA: Saya bisa membayangkan sampai sejauh mana was-wasnya pak harto, yang tentunya tidak sebesar was-wasnya 80 juta orang miskin untuk makannya dan keluarganya untuk esok hari (enggak usah menunggu sampai meninggal). Was-wasnya Pak Harto juga tidak sebesar was-wasnya penduduk Ambon dan Sambas untuk keluar dimalam hari. Was-wasnya yang cuma sebesar itu telah terbayar dengan mendapat kedudukan pemimpin selama 32 tahun dan mewariskan harta trilyunan kepada anak (ponakan), adik, cucu dan cicit tersayang. Weleh...kepriben ini oom. Latar belakang argumennya bagaimana ini? Hopo iya 80 juta orang waswas ndak makan? Mosok iya Pak Harto nggak was-was keluar rumah. Kalau menurut akal saya (ndak tahu sehat atau tidak) Suharto akan sangat was-was untuk keluar rumah. Kita ndak bicara bayar-membayar rasa was-was kan? FNU Lagipula ya mari kita bicara tentang Maslow deh Suharto sudah punya kelima-limanya. Di akhir senjanya justru dia kehilangan satu buah (atau dua buah) yaitu pengakuan dan pencapaian. Sejelek-jeleknya seorang pemimpin, apa tidak ingin dikenang sebagai pahlawan, atau orang yang berjasa buat negara. Yang inilah yang saat ini hilang dari rengkuhan Suharto. Selama 10 tahun pertama tidak ada yg tidak mengakui kepiawaian dia. Siapa nyana 20 tahun kemudian semua pencapaiannya hilang. Pengakuan sebagai bapak pembangunan juga menjadi bahan ejekan... FNA: Akh Maslow mana cocok untuk Pak Harto. Diperlukan teori kepuasan baru untuk beliau. Bukankah lima macam elemen Maslow sebenarnya telah diraih, hanya beliau saja tidak puas dan mau mencari elemen keenam dan ketujuh. Coba disebutkan elemen keenam dan ketujuhnya itu. FNU Apakah sudah selesai? Belum nak-anake belum beres. Makanya...menurut saya, saat inipun Suharto sudah terhukum. Dan masih akan menerima jenis hukuman lain. Ini yang dimaksud dengan KUALAT. Hukuman masyarakat lebih pedih dari hukuman penjara. Apalagi kalau menerima keduanya. FNA: Kalau dibilang pedih, saya cuma komentar mungkin saja. Karena kedalaman hati pak harto susah diukur, buktinya beliau masih sempat komentar disurat kabar jepang. Pengikut juga masih banyak, apanya yang kualat, pak Karno malah lebih pedih lagi diakhir hidupnya, padahal beliau yang malah korban supersemar. Pak harto masih bisa lihat cable, ngobrol sana-sini, pak karno dulu (berdasarkan bukti-bukti sejarah) benar-benar diisolasi. Hehe.sulit kalau diskusi dengan gelap mata gini. Pengikut Suharto masih banyak sudah didasarkan pengamatan belum? Tidak relevan membandingkan kepedihan Sukarno dan Suharto. Jamannya beda. Yang boleh bilang pedih cuman Yuni Shara aja kalau nyanyi. Rasa nikmat tidak dapat diukur oleh ada tidaknya cable. FNU Eh, Ini terlepas dari bagaimana dia memperoleh kekuasaan. Ken Arok saja (yg diledekin terus oleh CW) di akhir hayatnya dikenang orang kerajaannya sebagai orang terhotmat. Dari sekedar Tumapel menjadi Singasari yang besar. Padahal anake rampok, ngerebut bini orang, bunuh bos-nya, toh masih dapat pengakuan dan pencapaian. Siapa yang meledek Ken Arok? Paling CW. Kalau nasib Suharto? FNA: kalau soal mengenang akan kembali keindividu. Apakah akan dikenang sebagai orang yang terhormat, atau dikenal sebagai orang yang gila hormat. Saya akan tetap meledek ken Arok, karena saya tak pernah suka sama orang yang ngerebut bini orang (malu-maluin lah yauw..:) Lho, anda ini gimana sih. Kalau endak suka sama orang yang suka ngerebut bini orang kok bisa seneng sama Bung Karno? Hehehe weleh...weleh itu mbahnya bajul itu. wah, baca lebih lengkap lagi dong. Kalau saya hormat dengan Bung Karno dengan dasar yang beda. Tapi kalau masalah kebajulan Bung Karnowahampun udah ah... ngomongin