[PPIBelgia] Soeharto Tak Lolos Jadi Pahlawan Nasional

2008-11-11 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana
  Soeharto Tak Lolos Jadi Pahlawan Nasional
http://www.tempointeraktif.com/
Selasa, 11 November 2008 | 11:08 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Presiden kedua RI, almarhum Jenderal (Purn) 
Soeharto, pernah diusulkan menjadi pahlawan nasional. Namun, usulan 
secara perorangan itu mental karena berbagai persyaratan tak terpenuhi. 
Salah satunya tak ada pertanggunjawaban ilmiah.

Menurut Direktur Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial 
Departemen Sosial, Muchsis,  usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional 
diajukan oleh individu. Usulan itu diajukan kepada Departemen Sosial 
sekitar  2007.  Pengusulnya saya kurang ingat, yang jelas dari kategori 
individu, kata Muchsis kepada Tempo, Selasa (11/11).

Almarhum Soeharto, kata Muchsis, termasuk dalam 27 nama calon pahlawan 
nasional yang diusulkan oleh perorangan, organisasi kemasyarakatan, 
pemerintah daerah pada periode  2007. Setelah memalui seleksi, dari 27 
nama  hanya 11 orang yang lolos verifikasi Badan Pembina Pahlawan Daerah.

Dalam proses berikutnya, 11 nama itu mengerucut menjadi 4 nama, yang 
kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional baru. Mereka adalah, 
mantan Perdana Menteri  M. Natsir, Bung Tomo (Sutomo) asal Surabaya, dan 
Abdul Halim asal Majalengka, Jawa Barat. Tiga orang sebagai pahlawan 
nasional dan  satu  mendapat bintang jasa Mahaputra Utama, almarhum 
Petta Lolo La Sinrang asal Sulawesi Selatan, kata  Muchsis.

Ia menambahkan, tak lolosnya Soeharto sebagai pahlawan nasional 
dikarenakan berbagai sebab. Salah satunya  tak ada  gelar seminar atau 
pertanggung jawaban ilmiah mengenai kepahlawanan jenderal bintang lima 
yang berkuasa selama 32 di Republik ini.  Saat itu, kami minta kepada 
pengusul, mana hasil seminar ilmiahnya. Ternyata nggak masuk-masuk 
sampai sekarang, kata Muchsis.

Fery Firmansyah
-- 
Kind regards,
Sulistiono Kertawacana
http://sulistionokertawacana.blogspot.com/


[PPIBelgia] Obama, 2008 (Caping GM)

2008-11-11 Terurut Topik Sulistiono Kertawacana
http://www.tempointeraktif.com/
Obama, 2008

Senin, 10 November 2008

 Weep no more, my lady,

 Oh weep no more today


KAU kembali ke pojok yang agak diterangi matahari di kerimbunan hutan 
itu. Kau kembali dengan mesin waktu yang tak sempurna, tapi masih kau 
dengar kor itu, My Old Kentucky Home, lagu murung yang bertahun-tahun 
terdengar sampai jauh lepas dari Sungai Mississippi, sejak Stephen 
Foster menulisnya. Itu tahun 1853. Budak belian hitam yang mencoba jeda 
dari terik dan jerih ladang tembakau. Sebuah selingan sederhana dari 
rutin panjang yang tak pernah dinamai ”Penghisapan”. Sebuah sudut hutan 
yang jadi majelis tersembunyi. Sebuah ruang buat orang-orang yang 
dirantai dan dinista untuk berkumpul dan bertanya: apa sebenarnya semua ini?

Kau tak tahu kapan kau datang. Tapi dengan mesin waktu yang tak sempurna 
kau lihat seorang perempuan tua berbicara di depan majelis itu, di depan 
jemaat yang takut menyebut nama Tuhan. Ia mengingatkan kamu kepada Baby 
Suggs dalam Beloved Toni Morrison. Kau dengar ia berbicara tentang 
sesuatu yang menakjubkan tapi diabaikan, sesuatu yang biasa tapi tak 
terduga-duga: daging, jangat, tulang, sendi yang sanggup menanggung 
pukulan dan dera perbudakan, kelenjar yang menitikkan air mata, jantung 
yang sesak sebelum tangis, tubuh yang menyembuhkan lukanya sendiri, 
badan yang dari kepedihan bisa menyanyi, menari, menyanyi.

Saudara-saudaraku, tubuh kita bisa mengejutkan kita. Kadang-kadang 
dengan kegagahan. Kadang-kadang dengan keindahan. Semuanya terbatas, 
tapi dengan itu kita menggapai yang tak terhingga. Semuanya fana, tapi 
tiap kali memberi arti yang kekal. Maka jangan menangis lagi.

Kau lihat orang-orang terpekur. Kau mungkin tak tahu kenapa: mereka 
ingin percaya. Tapi mereka juga mendengar, konon di atas tubuh bertakhta 
Takdir. Yang tetap. Yang tegar. Yang lurus dan terang-benderang. Yang 
tangan-tangannya menebarkan daya tersendiri, merasuki ke otak, setitik 
demi setitik.

Otak itulah yang kemudian memproduksi alasan. Telah lahir penjelasan 
yang gamblang, bahwa ada pigmen dalam kulit yang jadi nasib. Pigmen kita 
membuat hakikat kita. Ada orang hitam, ada kulit ”negro”, ada juga yang 
”putih”. Warna-warna itulah yang mengarahkan sejarah. Identitas adalah 
nujum. Ada esensi sebelum eksistensi.

Tapi benarkah Takdir segala-galanya? Di majelis hutan Mississippi itu, 
suara perempuan tua itu merendah: ”Saudara-saudaraku, kegelapan 
menyertai kita.”

”Kegelapan di balik pori-pori, di ceruk sel darah merah dan getah 
bening. Kegelapan dalam suara serak, dalam lagu Old Black Joe yang 
memberat menjelang ajal. Kegelapan Maut, kegelapan kata-kata Tuhan yang 
tak selamanya kita mengerti, kegelapan yang mengelak dari Takdir yang 
makin lama makin putih.

”Kegelapan yang membiarkan kita tak punya nama, yang menampik nama bila 
nama adalah daftar milik yang jelas dari tuan-tuan kita. Kegelapan hutan 
ini yang teduh. Kegelapan yang melindungi kita dari Kebengisan.”

 Blood on the leaves

 And blood at the root

 Black bodies swinging

 In the southern breeze

 Strange fruits hanging

 From the poplar trees


Kebengisan itu tak pernah kau lihat. Mesin-waktumu yang tak sempurna 
hanya menemukan potret tubuh George Hughes yang digantung di dahan 
pohon. Tak hanya digantung. Ia dibakar. Ini Sherman, Texas, 1930.

Kau bisa baca di perpustakaan kota itu: ”negro” buruh tani ini ditangkap 
dengan tuduhan membunuh majikannya dan memperkosa istri si tuan. Di 
kampung kecil yang jarang dihuni itu, bisik-bisik beredar: Hughes adalah 
”hewan yang tahu betul apa yang dimauinya”.

Para petani kulit putih yang tinggal di dusun itu telah lama beringas, 
dan kini punya alasan buat lebih beringas. Mereka yang selamanya takut, 
curiga, dan benci kepada makhluk dengan pigmen berbeda itu kini punya 
dalih. Mereka serbu gedung pengadilan tempat Hughes ditahan. Mereka 
bakar. Hughes mereka seret ke luar dan mereka lemparkan ke atas truk. 
Polisi tak berbuat apa-apa—malah membantu mengatur lalu lintas. Di 
sebuah lapangan dekat tempat tinggal orang hitam, Hughes diikat dan 
dikerek ke atas sebuah pohon. Api besar dinyalakan.

Dalam sebuah potret kau lihat: Hughes yang tinggal arang, terpentang, 
bergayut, pada pokok yang rendah.

Orosco mengabadikan adegan itu dalam sebuah litograf dari tahun 1934, 
Negros Colgados. Lihat, tak cuma satu ”negro”. Tubuh-tubuh yang dibunuh 
itu bergelantungan seperti puluhan buah yang aneh. Billie Holiday 
mengungkapkannya dalam Strange Fruits: suaranya setengah serak, dengan 
pilu yang seakan-akan telah jadi napas: Darah pada daun/darah pada 
akar/Jasad hitam yang terayun-ayun/di angin selatan/buah ganjil yang 
tergantung/ di pohon poplar.

Ada sesuatu yang lain pada lagu itu, yang mula-mula tampak pada litograf 
Orosco: pohon dan dahan itu—tak dihiasi daun-daun—seakan-akan menegaskan 
kekuatan yang lurus, lugas, tegak. Juga ia tempat pameran yang 
meyakinkan. Tak sengaja Orosco mengingatkan kita bahwa sebuah negeri, 

Re: [PPIBelgia] Soeharto Tak Lolos Jadi Pahlawan Nasional

2008-11-11 Terurut Topik dora sihotang
Kalau sampai Soeharto lolos jadi pahlawan nasional
Saya tidak tahu harus bilang apa sama murid2 saya nanti 
begitu saya kembali mengajar.
 
Salam,
Dora

--- On Wed, 11/12/08, Sulistiono Kertawacana [EMAIL PROTECTED] wrote:

From: Sulistiono Kertawacana [EMAIL PROTECTED]
Subject: [PPIBelgia] Soeharto Tak Lolos Jadi Pahlawan Nasional
To: PPI Belgia ppibelgia@yahoogroups.com
Date: Wednesday, November 12, 2008, 1:48 AM






Soeharto Tak Lolos Jadi Pahlawan Nasional
http://www.tempoint eraktif.com/
Selasa, 11 November 2008 | 11:08 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Presiden kedua RI, almarhum Jenderal (Purn) 
Soeharto, pernah diusulkan menjadi pahlawan nasional. Namun, usulan 
secara perorangan itu mental karena berbagai persyaratan tak terpenuhi. 
Salah satunya tak ada pertanggunjawaban ilmiah.

Menurut Direktur Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial 
Departemen Sosial, Muchsis, usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional 
diajukan oleh individu. Usulan itu diajukan kepada Departemen Sosial 
sekitar 2007. Pengusulnya saya kurang ingat, yang jelas dari kategori 
individu, kata Muchsis kepada Tempo, Selasa (11/11).

Almarhum Soeharto, kata Muchsis, termasuk dalam 27 nama calon pahlawan 
nasional yang diusulkan oleh perorangan, organisasi kemasyarakatan, 
pemerintah daerah pada periode 2007. Setelah memalui seleksi, dari 27 
nama hanya 11 orang yang lolos verifikasi Badan Pembina Pahlawan Daerah.

Dalam proses berikutnya, 11 nama itu mengerucut menjadi 4 nama, yang 
kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional baru. Mereka adalah, 
mantan Perdana Menteri M. Natsir, Bung Tomo (Sutomo) asal Surabaya, dan 
Abdul Halim asal Majalengka, Jawa Barat. Tiga orang sebagai pahlawan 
nasional dan satu mendapat bintang jasa Mahaputra Utama, almarhum 
Petta Lolo La Sinrang asal Sulawesi Selatan, kata Muchsis.

Ia menambahkan, tak lolosnya Soeharto sebagai pahlawan nasional 
dikarenakan berbagai sebab. Salah satunya tak ada gelar seminar atau 
pertanggung jawaban ilmiah mengenai kepahlawanan jenderal bintang lima 
yang berkuasa selama 32 di Republik ini. Saat itu, kami minta kepada 
pengusul, mana hasil seminar ilmiahnya. Ternyata nggak masuk-masuk 
sampai sekarang, kata Muchsis.

Fery Firmansyah
-- 
Kind regards,
Sulistiono Kertawacana
http://sulistionoke rtawacana. blogspot. com/
 














  

[PPIBelgia] Three cups of tea

2008-11-11 Terurut Topik agung wibisono






Merebut Hati Himalaya
Rabu, 12 November 2008 | 11:53 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: 


Three Cups of Tea: One Man’s Mission to Promote Peace, One School at a Time 
Penerbit: Penguin, Januari 2007 
Tebal: 368 halaman 
Penulis: Greg Mortenson, David Oliver Relin
 
Tiga cangkir teh di Himalaya. Cangkir pertama adalah sambutan untuk tamu asing. 
Cangkir kedua menandakan si tamu sudah dianggap teman. Nah, pada cangkir 
ketiga, ”Kau bergabung dengan keluarga kami dan karena itu keluarga kami siap 
berbuat apa pun, bahkan mati, demi dirimu.” 
Makna tiga cangkir teh itu disampaikan Haji Ali Korphe, kepala desa di Gunung 
Korakoram, kepada Greg Mortenson, 51 tahun. Lelaki asal Montana, Amerika 
Serikat, ini telah bertahun-tahun mondar-mandir di labirin Pegunungan Himalaya. 
Sahib Greg, begitu dia dipanggil, mulanya adalah pendaki gunung. Pada 1993 dia 
mendaki K2, puncak tertinggi di Karakoram, Himalaya. Sial, dia tersesat. 
Tubuhnya nyaris membeku. Kematian berjarak seujung kuku. 
Setelah berhari-hari dihajar beku salju Karakoram, Mortenson diselamatkan orang 
gunung. Dia dirawat di rumah Haji Ali Korphe. Cangkir demi cangkir teh 
dihidangkan. Mortenson telah menjadi bagian dari jantung Korakoram. 
Jatuh hati pada ketulusan warga, Mortenson berjanji akan membangun sebuah 
gedung sekolah untuk desa ini. Janji yang sungguh tidak mudah. Desa-desa di 
pucuk gunung itu tak mudah diraih. Alam yang keras membentengi mereka dari 
dunia luar. 
Mortenson muda, ketika itu 37 tahun, kembali ke Amerika. Dia terkaget-kaget 
mendapati kenyataan bahwa menggalang dana sama sekali tidak gampang. Ada 580 
surat permintaan dana dilayangkan, tapi hanya ada satu surat balasan dengan 
lampiran cek US$ 100. 
Jean Hornie, seorang jutawan yang sedang sekarat, kebetulan mendengar kisah 
Mortenson dan memberinya US$ 20 ribu. ”Ini tak seberapa dibanding uang yang 
bisa dihabiskan mantan istriku dalam sehari,” kata Hoerni. ”Bangunkan aku 
sebuah sekolah di Himalaya.” 
Menembus alam yang ganas, diakali orang-orang culas, dikenai fatwa haram oleh 
ulama kolot, bahkan disekap tentara Taliban adalah menu yang harus dihadapi. 
David Oliver Relin, penulis yang mendampingi Mortenson, menyajikan drama nyata 
di Pegunungan Himalaya ini dengan narasi menarik. Maka buku ini terhitung 
sebagai buku terlaris versi New York Times selama 74 pekan, sejak diterbitkan 
akhir 2007. Bulan lalu, Three Cups of Tea sudah diterjemahkan ke dalam bahasa 
Indonesia oleh penerbit Hikmah. 
Kesulitan tak membuat Mortenson patah arang. Gedung sekolah berhasil dia 
bangun. Tak hanya satu, tapi ada 55 gedung sekolah di sepanjang perbatasan 
Pakistan dan Afganistan. Sebuah pencapaian luar biasa. 
Pencapaian yang didapat dengan melibatkan masyarakat. Penduduk wajib berunding 
jika ingin desanya dibangunkan gedung sekolah. Mereka harus menyediakan tanah 
dan tenaga untuk proses membangun. Walhasil, ketika ada pasukan Taliban 
mengganggu ketenteraman sekolah, penduduk desa berada di barisan paling depan. 
”Akan kami bela sampai mati,” kata Haji Ali Korphe. 
Lebih dari sekadar membangun gedung, Mortenson adalah contoh tentang bagaimana 
merangkul sesama manusia dengan tulus. Kerja humanitarian yang tidak membuat 
orang menadahkan tangan, tapi menempatkan orang yang ditolong dalam posisi 
bermartabat. 
Di pedalaman Himalaya, Mortenson menyaksikan betapa kelompok radikal rajin 
merekrut remaja belasan tahun. Hanya dengan imbalan US$ 300, anak-anak itu 
menyerahkan hidup mereka kepada Taliban. Ibu-ibu yang berpendidikan, menurut 
Mortenson, lebih kuat melindungi anak mereka dari godaan untuk bergabung dengan 
kaum militan. ”Itu sebabnya, mendidik perempuan sangat penting,” katanya. 
Kerja keras Mortenson membuktikan bahwa pendidikan adalah cara jitu menekan 
fundametalisme, bukan bom dan bukan rudal. Seperti tonik, dia memberi darah 
baru bagi masyarakat yang miskin dan terabaikan. Pendidikan sanggup membuka 
cakrawala di tempat sedingin dan setinggi Himalaya. 
Melalui buku 368 halaman ini, Mortenson meyakinkan dunia bahwa pendidikan jauh 
lebih efektif dan murah ketimbang jurus militeristik ala pemerintah George 
Bush. Satu misil Tomahawk, misalnya, berharga minimal US$ 500 ribu. Uang 
sebanyak itu bisa untuk membangun selusin sekolah di Himalaya. Letnan Kolonel 
Christopher Kolenda, perwira Amerika yang bertugas di Afganistan, memuji kerja 
Mortenson. ”Saya yakin, solusi jangka panjang di Afganistan adalah pendidikan,” 
katanya. 
Sebuah solusi yang, tentu saja, berlaku tak hanya untuk Afganistan, tapi juga 
untuk negeri ini. 
Mardiyah Chamim




Recent Activity
Visit Your Group 


Give Back
Yahoo! for Good
Get inspired
by a good cause.

Y! Toolbar
Get it Free!
easy 1-click access
to your groups.

Yahoo! Groups
Start a group
in 3 easy steps.
Connect with others.
. 
 














  Pamer gaya dengan skin baru yang keren