Re: [PPIBelgia] [Kertawacana] Transformasi Pertamina, Menuju Kelas Dunia

2008-11-21 Terurut Topik nugroho adi
halo om Azis

sayangnya , sampai saat ini saya belum nemu artikel menarik yang membahas
kinerja pertamina, yang di tulis oleh rekan2 di dalam tubuh internal
pertamina sendiri.

salam


2008/11/21 Furqon Azis <[EMAIL PROTECTED]>

>   mungkin sodara Nugroho bisa memposting artikel yang tidak bias
> tentang pertamina, jadi kita temen temen PPI Belgia bisa mengapresiasi
> tulisan anda
> klo anda malas baca artikel bung Sulis, ya g usah dibaca alias di delete
> gitu ajah koq repot "Gus Dur mode : ON"
>
>
> --utong--
>
>
>
> --
> *From:* nugroho adi <[EMAIL PROTECTED]>
> *To:* PPIBelgia@yahoogroups.com
> *Sent:* Friday, November 21, 2008 4:57:24 PM
> *Subject:* Re: [PPIBelgia] [Kertawacana] Transformasi Pertamina, Menuju
> Kelas Dunia
>
>  artikelnya sangat2 bias
>
> bagaimana cara mengukur ''Theme-o-Meter ketiga menunjukkan dukungan
> mencapai 28%'' tidak di bahas sama sekali.
>
> itu angka muncul dari langit??
>
> artikelnya justru banyak membahas tentang parameter keberhasilan orang lain
> daripada dalam diri tubuh pertamina, jadi tidak transparan.
>
> saya baru buka imel, dan baru baca beberapa alinea di awal, langsung males
> meneruskan untuk membaca
>
> tapi diluar komentar negatif saya tentang artikel di bawah, saya mulai
> sedikit bangga dengan Pertamina - ku ini. si doi mulai sadar dan mulai
> mencoba belajar cara memanage resources nya di offshore indonesia. banyak
> staf ahli pertamina yang akhir2 ini di kirim ke norway, statoilhydro ,
> stavanger kota di mana saya sekarang berada.
>
> semoga ilmu yg di dapat dari belasan staf pertamina yg dikirim ke sini
> bermanfaat. tidak cuman sekedar jalan2 ke negara dengan biaya hidup termahal
> di dunia ini.
>
>
>
> 2008/11/21 Sulistiono Kertawacana  ui.edu<[EMAIL PROTECTED]>
> >
>
>>
>>
>>
>> Tulisan ini dipublikasikan Majalah Warta Pertamina Edisi November 2008.
>>
>> Oleh: Sulistiono Kertawacana
>>
>> Pertamina sudah mencanangkan Transformasi sejak 2 tahun lalu. Meskipun
>> dukungan aktif karyawan terus meningkat, tapi masih belum ideal. Berdasarkan
>> hasil Theme-o-Meter ketiga menunjukkan dukungan mencapai 28% (melonjak 200%
>> dibandingkan hasil Theme-o-Meter pertama). Peningkatan yang signifikan,
>> meskipun belum mencapai angka ideal minimum 30% (Media Pertamina No.32,
>> Tahun XLIV, 11 Agustus 2008).
>> Apakah sulitnya mencapai angka ideal mencerminkan masyarakat Indonesia
>> pada umumnya yang sulit bertransformasi menuju kemajuan? Bisakah orang
>> Indonesia -menurut Mochtar Lubis (1977) bersifat munafik/hipokrit, yang
>> diantaranya menyuburkan sikap Asal Bapak Senang, enggan bertanggung jawab
>> atas perbuatannya, feodal, percaya tahkyul. dan lemah watak/karakternya â€"
>> mampu membentuk korporasi yang berkelas dunia?
>> Benarkah bendapat ekonom dan sosiolog Jerman abad ke-19 Max Webber dalam
>> The Protestant Work Ethic and Spirit of Capitalism bahwa ada beberapa kultur
>> seperti protestanisme yang lebih cocok dengan pembangunan ekonomi.
>> Jerman dan Jepang Bisa Berubah
>> Bangsa Jerman dan Jepang yang kini terkenal memiliki otak cerdas, budaya
>> kerja super disiplin, dan berwawasan luas, pada awalnya merupakan bangsa
>> yang dipandang tidak memiliki etos kerja yang positif dalam amatan para
>> ilmuwan.
>> Sebelum Jerman meningkatkan ekonominya pada pertengahan abad ke-19, orang
>> Inggris menganggap orang Jerman merupakan orang yang bodoh; jahat, dan
>> lamban (T. Hodsgskin:1820) . Mary Shelley, pengarang Frankenstein, dalam
>> bukunya Rambles in Germany and Italy (1843) menilai orang Jerman tidak
>> pernah bergegas.
>> Rupanya tak berbeda dengan orang Inggris, orang Perancis yang berbatasan
>> langsung dengan Jerman pun menilai negatif terhadap bangsa Jerman saat itu.
>> Seorang pabrikan Perancis yang menampung pekerja-pekerja Jerman mengeluh
>> bahwa orangJerman bekerja seenak hatinya sendiri (D. Landes:1998)
>> Yang lebih mengagetkan lagi, orang Inggris juga mengangap orang Jerman
>> berotak tumpul. John Russel, seorang berkebangsaan Inggris yang suka menulis
>> perjalanannya (1828) menilai orang Jerman lamban, mudah puas, tidak memiliki
>> ketajaman persepsi maupun kehalusan perasaan. Mereka tidak terbuka terhadap
>> ide baru, butuh waktu lama sebelum bisa diajak memahami hal baru, dan sulit
>> memotivasinya semangatnya.
>> Orang Inggris juga menganggap orang Jerman ketika itu sebagai orang yang
>> individualis dan tak mampu bekerja sama, dan terlalu emosional (S. Whitman;
>> 1898 dan Arthur Brooke Faulkner:1833) .
>> Tak berbeda dengan bangsa Jerman, meski dalam amatan kurun waktu yang
>> berbeda, orang Jepang pun sempat menyandang predikat kurang baik kultur
>> kerjanya di mata bangsa lain. Misionaris Amerika Sidney Gulick, yang lama
>> menetap di Jepang (1888-1913), dalam bukunya Evolution of Japanese (1903)
>> menilai orang Jepang berkesan … santai, pemalas, sama sekali tak peduli
>> dengan berlalunya waktu, dan emosional yang memiliki ciri-ciri periang,
>> bebas, dari segala kepedulian akan masa depan, hid

Re: [PPIBelgia] [Kertawacana] Transformasi Pertamina, Menuju Kelas Dunia

2008-11-21 Terurut Topik Furqon Azis
mungkin sodara Nugroho bisa memposting artikel yang tidak bias
tentang pertamina, jadi kita temen temen PPI Belgia bisa mengapresiasi
tulisan anda
klo anda malas baca artikel bung Sulis, ya g usah dibaca alias di delete
gitu ajah koq repot "Gus Dur mode : ON"


--utong--







From: nugroho adi <[EMAIL PROTECTED]>
To: PPIBelgia@yahoogroups.com
Sent: Friday, November 21, 2008 4:57:24 PM
Subject: Re: [PPIBelgia] [Kertawacana] Transformasi Pertamina, Menuju Kelas 
Dunia


artikelnya sangat2 bias
bagaimana cara mengukur ''Theme-o-Meter ketiga menunjukkan dukungan mencapai
28%'' tidak di bahas sama sekali. 
itu angka muncul dari langit??
artikelnya justru banyak membahas tentang parameter keberhasilan orang lain 
daripada dalam diri tubuh pertamina, jadi tidak transparan.
saya baru buka imel, dan baru baca beberapa alinea di awal, langsung males 
meneruskan untuk membaca
tapi diluar komentar negatif saya tentang artikel di bawah, saya mulai sedikit 
bangga dengan Pertamina - ku ini. si doi mulai sadar dan mulai mencoba belajar 
cara memanage resources nya di offshore indonesia. banyak staf ahli pertamina 
yang akhir2 ini di kirim ke norway, statoilhydro , stavanger kota di mana saya 
sekarang berada.
semoga ilmu yg di dapat dari belasan staf pertamina yg dikirim ke sini 
bermanfaat. tidak cuman sekedar jalan2 ke negara dengan biaya hidup termahal di 
dunia ini.


2008/11/21 Sulistiono Kertawacana 




Tulisan ini dipublikasikan Majalah Warta Pertamina Edisi November 2008.

Oleh: Sulistiono Kertawacana

Pertamina sudah mencanangkan Transformasi sejak 2 tahun lalu. Meskipun
dukungan aktif karyawan terus meningkat, tapi masih belum ideal.
Berdasarkan hasil Theme-o-Meter ketiga menunjukkan dukungan mencapai
28% (melonjak 200% dibandingkan hasil Theme-o-Meter pertama).
Peningkatan yang signifikan, meskipun belum mencapai angka ideal
minimum 30% (Media Pertamina No.32, Tahun XLIV, 11 Agustus 2008). 
Apakah sulitnya mencapai angka ideal mencerminkan masyarakat Indonesia
pada umumnya yang sulit bertransformasi menuju kemajuan? Bisakah orang
Indonesia -menurut Mochtar Lubis (1977) bersifat munafik/hipokrit, yang
diantaranya menyuburkan sikap Asal Bapak Senang, enggan bertanggung
jawab atas perbuatannya, feodal, percaya tahkyul. dan lemah
watak/karakternya â€" mampu membentuk korporasi yang berkelas dunia?
Benarkah bendapat ekonom dan sosiolog Jerman abad ke-19 Max Webber
dalam The Protestant Work Ethic and Spirit of Capitalism bahwa ada
beberapa kultur seperti protestanisme yang lebih cocok dengan
pembangunan ekonomi. 
Jerman dan Jepang Bisa Berubah
Bangsa Jerman dan Jepang yang kini terkenal memiliki otak cerdas,
budaya kerja super disiplin, dan berwawasan luas, pada awalnya
merupakan bangsa yang dipandang tidak memiliki etos kerja yang positif
dalam amatan para ilmuwan.
Sebelum Jerman meningkatkan ekonominya pada pertengahan abad ke-19,
orang Inggris menganggap orang Jerman merupakan orang yang bodoh;
jahat, dan lamban (T. Hodsgskin:1820) . Mary Shelley, pengarang
Frankenstein, dalam bukunya Rambles in Germany and Italy (1843) menilai
orang Jerman tidak pernah bergegas.
Rupanya tak berbeda dengan orang Inggris, orang Perancis yang
berbatasan langsung dengan Jerman pun menilai negatif terhadap bangsa
Jerman saat itu. Seorang pabrikan Perancis yang menampung
pekerja-pekerja Jerman mengeluh bahwa orangJerman bekerja seenak
hatinya sendiri (D. Landes:1998)
Yang lebih mengagetkan lagi, orang Inggris juga mengangap orang Jerman
berotak tumpul. John Russel, seorang berkebangsaan Inggris yang suka
menulis perjalanannya (1828) menilai orang Jerman lamban, mudah puas,
tidak memiliki ketajaman persepsi maupun kehalusan perasaan. Mereka
tidak terbuka terhadap ide baru, butuh waktu lama sebelum bisa diajak
memahami hal baru, dan sulit memotivasinya semangatnya. 
Orang Inggris juga menganggap orang Jerman ketika itu sebagai orang
yang individualis dan tak mampu bekerja sama, dan terlalu emosional (S.
Whitman; 1898 dan Arthur Brooke Faulkner:1833) .
Tak berbeda dengan bangsa Jerman, meski dalam amatan kurun waktu yang
berbeda, orang Jepang pun sempat menyandang predikat kurang baik kultur
kerjanya di mata bangsa lain. Misionaris Amerika Sidney Gulick, yang
lama menetap di Jepang (1888-1913), dalam bukunya Evolution of Japanese
(1903) menilai orang Jepang berkesan … santai, pemalas, sama sekali
tak peduli dengan berlalunya waktu, dan emosional yang memiliki
ciri-ciri periang, bebas, dari segala kepedulian akan masa depan, hidup
semata-mata untuk hari ini.
Tak berbeda jauh dengan Sidney Gulic, pemimpin sosialisme Fabian
Inggris, Beatrice Webb melukiskan orang Jepang sebagai orang yang
memiliki anggapan tentang waktu luang dan independensi personal yang
tak bisa ditoleransi dan tak ada kemauan untuk mengajar orang untuk
berfikir (N.MacKenzie dan J. MacKenzie:1984) .
Secara lebih halus, seorang konsultan Australia (1915) mengatakan pada
pejabat pemerintah Jepang yang mengundangnya berkata “rasa terke

Re: [PPIBelgia] [Kertawacana] Transformasi Pertamina, Menuju Kelas Dunia

2008-11-21 Terurut Topik nugroho adi
artikelnya sangat2 bias

bagaimana cara mengukur ''Theme-o-Meter ketiga menunjukkan dukungan mencapai
28%'' tidak di bahas sama sekali.

itu angka muncul dari langit??

artikelnya justru banyak membahas tentang parameter keberhasilan orang lain
daripada dalam diri tubuh pertamina, jadi tidak transparan.

saya baru buka imel, dan baru baca beberapa alinea di awal, langsung males
meneruskan untuk membaca

tapi diluar komentar negatif saya tentang artikel di bawah, saya mulai
sedikit bangga dengan Pertamina - ku ini. si doi mulai sadar dan mulai
mencoba belajar cara memanage resources nya di offshore indonesia. banyak
staf ahli pertamina yang akhir2 ini di kirim ke norway, statoilhydro ,
stavanger kota di mana saya sekarang berada.

semoga ilmu yg di dapat dari belasan staf pertamina yg dikirim ke sini
bermanfaat. tidak cuman sekedar jalan2 ke negara dengan biaya hidup termahal
di dunia ini.



2008/11/21 Sulistiono Kertawacana <[EMAIL PROTECTED]>

>
>
>
> Tulisan ini dipublikasikan Majalah Warta Pertamina Edisi November 2008.
>
> Oleh: Sulistiono Kertawacana
>
> Pertamina sudah mencanangkan Transformasi sejak 2 tahun lalu. Meskipun
> dukungan aktif karyawan terus meningkat, tapi masih belum ideal. Berdasarkan
> hasil Theme-o-Meter ketiga menunjukkan dukungan mencapai 28% (melonjak 200%
> dibandingkan hasil Theme-o-Meter pertama). Peningkatan yang signifikan,
> meskipun belum mencapai angka ideal minimum 30% (Media Pertamina No.32,
> Tahun XLIV, 11 Agustus 2008).
> Apakah sulitnya mencapai angka ideal mencerminkan masyarakat Indonesia pada
> umumnya yang sulit bertransformasi menuju kemajuan? Bisakah orang Indonesia
> -menurut Mochtar Lubis (1977) bersifat munafik/hipokrit, yang diantaranya
> menyuburkan sikap Asal Bapak Senang, enggan bertanggung jawab atas
> perbuatannya, feodal, percaya tahkyul. dan lemah watak/karakternya â€" mampu
> membentuk korporasi yang berkelas dunia?
> Benarkah bendapat ekonom dan sosiolog Jerman abad ke-19 Max Webber dalam
> The Protestant Work Ethic and Spirit of Capitalism bahwa ada beberapa kultur
> seperti protestanisme yang lebih cocok dengan pembangunan ekonomi.
> Jerman dan Jepang Bisa Berubah
> Bangsa Jerman dan Jepang yang kini terkenal memiliki otak cerdas, budaya
> kerja super disiplin, dan berwawasan luas, pada awalnya merupakan bangsa
> yang dipandang tidak memiliki etos kerja yang positif dalam amatan para
> ilmuwan.
> Sebelum Jerman meningkatkan ekonominya pada pertengahan abad ke-19, orang
> Inggris menganggap orang Jerman merupakan orang yang bodoh; jahat, dan
> lamban (T. Hodsgskin:1820). Mary Shelley, pengarang Frankenstein, dalam
> bukunya Rambles in Germany and Italy (1843) menilai orang Jerman tidak
> pernah bergegas.
> Rupanya tak berbeda dengan orang Inggris, orang Perancis yang berbatasan
> langsung dengan Jerman pun menilai negatif terhadap bangsa Jerman saat itu.
> Seorang pabrikan Perancis yang menampung pekerja-pekerja Jerman mengeluh
> bahwa orangJerman bekerja seenak hatinya sendiri (D. Landes:1998)
> Yang lebih mengagetkan lagi, orang Inggris juga mengangap orang Jerman
> berotak tumpul. John Russel, seorang berkebangsaan Inggris yang suka menulis
> perjalanannya (1828) menilai orang Jerman lamban, mudah puas, tidak memiliki
> ketajaman persepsi maupun kehalusan perasaan. Mereka tidak terbuka terhadap
> ide baru, butuh waktu lama sebelum bisa diajak memahami hal baru, dan sulit
> memotivasinya semangatnya.
> Orang Inggris juga menganggap orang Jerman ketika itu sebagai orang yang
> individualis dan tak mampu bekerja sama, dan terlalu emosional (S. Whitman;
> 1898 dan Arthur Brooke Faulkner:1833).
> Tak berbeda dengan bangsa Jerman, meski dalam amatan kurun waktu yang
> berbeda, orang Jepang pun sempat menyandang predikat kurang baik kultur
> kerjanya di mata bangsa lain. Misionaris Amerika Sidney Gulick, yang lama
> menetap di Jepang (1888-1913), dalam bukunya Evolution of Japanese (1903)
> menilai orang Jepang berkesan … santai, pemalas, sama sekali tak peduli
> dengan berlalunya waktu, dan emosional yang memiliki ciri-ciri periang,
> bebas, dari segala kepedulian akan masa depan, hidup semata-mata untuk hari
> ini.
> Tak berbeda jauh dengan Sidney Gulic, pemimpin sosialisme Fabian Inggris,
> Beatrice Webb melukiskan orang Jepang sebagai orang yang memiliki anggapan
> tentang waktu luang dan independensi personal yang tak bisa ditoleransi dan
> tak ada kemauan untuk mengajar orang untuk berfikir (N.MacKenzie dan J.
> MacKenzie:1984).
> Secara lebih halus, seorang konsultan Australia (1915) mengatakan pada
> pejabat pemerintah Jepang yang mengundangnya berkata “rasa terkesan saya
> mengenai tenaga yang murah segera rusak ketika saya melihat rakyat anda
> dalam bekerja. Pantaslah mereka di bayar rendah karena hasil kerjanya yang
> demikian. Melihat mereka bekerja membuat saya merasa bahwa bangsa anda
> merupakan bangsa yang puas dan santai, menganggap waktu tidak penting. Tidak
> mungkin mengubah kebiasaan yang merupakan warisan nasional” (Japa

[PPIBelgia] Vacancy: Academic Support Officer

2008-11-21 Terurut Topik petrus indrianto surjadi


Vacancy: Academic
Support Officer

 

The Photonics
Research Group of Ghent University is a dynamic research team of about 40
engineers and scientists, about half of which come from abroad (15 different
nationalities). The team is active in a variety of international research
programs. Furthermore the group coordinates a prestigious international master
program: the Erasmus Mundus Master of Science in Photonics. This English-taught
two-year master program combines the courses of 5 European universities into a 
unique
master degree program. Each year about 20 non-EU students start in this
program. 

For its internal
organization and communication as well as for the daily coordination of the
international master program the group has a full-time vacancy for an Academic
Support Officer.

 


Job description

The support officer
will carry out the daily management of the international master program and
will support the Photonics Research Group in its research and education
operations. He/she will manage all processes behind the operation of the
master: student admissions, interaction with the international partners and
with the European Commission, publicity, administrative support to and
communication with the students, financial management, website maintenance,
coordination of initiatives for alumni etc. Furthermore he/she will support the
Photonics Research Group in its operations, whereby he/she will manage and
improve the tools – among others web-based tools - that the group uses for
internal information and knowledge exchange as well as for external
communication.  He/she is expected to take initiative, work independently and
act proactively. He/she will report directly to the senior academic staff of
the group.

 

Responsibilities:

·
daily management of the
Erasmus Mundus MSc in Photonics programme

·
content management of
the websites of the Master Programme and of the Photonics Research Group as
well as extension of their functionality

·
general organization and
communication support to the Photonics Research Group

 

Candidate profile: 

·
academic degree at master level

·
ability to work
independently and to take responsibility

·
ability to deal with
many parallel tasks with a good sense of priority

·
very strong communication skills

·
a few years of
experience is welcome

·
strong project management skills

·
fluency in Dutch and
English (spoken and written)

·
strong skills in the use
of common office tools

·
experience in web
development (in particular Content Management Systems) or at least the
motivation and background to be able to acquire those skills in a short time

·
interest and skills to
interact with international students of diverse cultural background

 

What we offer:

We offer a job with
a lot of variation in a young and dynamic international academic environment.
The salary accords with Ghent University standards and depends on degrees as
well as on level of experience.

 

For more
information, please contact Ms. Ilse Van Royen ([EMAIL PROTECTED], tel: 
+3292643339) 

 

 

 

  
 




  

[PPIBelgia] Plasma Etch & Strip in Microelectronics in Leuven - Belgium

2008-11-21 Terurut Topik petrus indrianto surjadi

 
  




  
 

  
 
  

  Home

  Topics

  Invited Speakers

  Committees

  Program

  Deadlines


  Paper Submissions

OnlineDownloads

  Registration/Fees
  Location/ Travel

  Hotel accomodations
Sponsors

Contact

PESM2007 

  
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
     

  




  
   
  


  

   
   
   
   
   
   
   
   
   
   
Conference scope
  Continuing
downscaling of semiconductors devices brings new challenges for plasma
etch and strip. New materials (high-k and low-k dielectrics, metal
gates, phase-shift memories etc.) and new architectures (3D devices,
channel-engineered devices etc.)  require new etch and strip
approaches. We organize this workshop to bring together people from
research institutions and industry to discuss new challenges in plasma
etch and strip
   
  Conference venue
  Leuven
has a long and rich history. Founded in the 9th century, it became an
important trading centre during the middle ages. A very important event
in that time was the foundation of its University in 1425. For almost 6
centuries Leuven has been a centre of education and research; a
tradition which is continued until today.Walking through Leuven you
will discover the many building that testimony its glorious past: its
finely sculpted Gothic town hall, the 13th century beguinage, numerous
historical University buildings scattered all over the town…Another
major event in Leuven’s history is the foundation in 1366 of the
brewery “Van den Hoorn”. This brewery still exists today, changed name
a couple of times, and today is known as “Inbev”, the world largest
brewery. The famous beer “Stella Artois” was born and still is brewed
in Leuven.