Ada sedikit revisi (warna biru) karena pengeditan Sinar Harapan ada yang kurang 
tepat dan dapat salah tafsir.



http://www.sinarharapan.co.id/berita/0703/21/opi01.html

Perlu Dekriminalisasi di Perbankan   



Oleh
Sulistiono Kertawacana *



Imbas pemberantasan korupsi di sektor perbankan bak buah simalakama. Tidak 
diberantas akan menyebabkan perbankan kotor yang dapat mengganggu ekonomi 
nasional. Namun, dengan model pemberantasan yang diskriminatif menyebabkan bank 
BUMN/BUMD ketakutan dalam menyalurkan kredit karena ancaman dijadikan tersangka 
jika kreditnya kelak macet. 
Kita bergembira jika akibat perang melawan korupsi membuat ciut nyali para 
direksi perbankan yang punya niatan jahat. Namun, jika yang timbul ketakutan 
direksi bank BUMN/BUMD yang berniat menyalurkan kredit, tentu tidak 
dikehendaki. Jika tugas perbankan sebagai mediasi antara dana nasabah yang 
disimpan dan debitor yang berniat menjalankan usaha/membiayai proyek 
tersendat-sendat, perkembangan sektor riil juga akan terganggu. 
Kekhawatiran yang dialami direksi BUMN/BUMD dalam menyalurkan kedit, tampaknya 
tidak dialami direksi bank swasta. Sebabnya, hanya kredit macet di bank 
BUMN/BUMD yang dapat menyeret direksi/komisarisnya menjadi tersangka korupsi, 
tidak demikian untuk direksi/komisaris bank swasta. Bisa jadi kesulitan 
pembayaran kredit bank BUMN/BUMD terjadi karena risiko bisnis yang ditanggung 
debitornya. Untuk ini, bisanya ada jaminan yang bisa disita oleh bank.
Diksriminasi ini bersumber dari penjelasan umum paragraf ke-4 huruf b UU 
No.31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan 
Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang mendefinsikan keuangan negara adalah 
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak 
dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak 
dan kewajiban yang timbul karena (di antaranya-pen) berada dalam penguasaan, 
pengurusan, dan pertanggung-jawaban BUMN/BUMD. 

Dulu Ditindak karena BLBI
UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara mengategorikan (Pasal 2 huruf g) keuangan 
negara termasuk juga (di antaranya-pen) kekayaan negara/kekayaan daerah yang 
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, 
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan 
yang dipisahkan pada perusahan negara/perusahaan daerah.
Berdasarkan data laporan keuangan publikasi Bank Indonesia, komposisi non 
performing loan (NPL, kredit bermasalah) per September 2005, persentase 
terbesar di bank BUMN yakni senilai Rp 39,1 triliun. Bank non-BUMN sebesar 26,9 
persen atau senilai Rp 15,2 triliun. 
Dari 73,1 persen NPL yang terjadi di bank BUMN, tercatat Bank Mandiri memberi 
kontribusi 64,2 persen, Bank Negara Indonesia sebesar 23,67 persen, Bank Rakyat 
Indonesia 9,7 persen dan Bank Tabungan Negara 2,03 persen.
Bisa jadi ada kalangan yang berpendapat, dengan ancaman pidana yang berat saja, 
pengelola bank BUMN masih buruk, apalagi jika dihilangkan. Namun hakikatnya 
tidak sepenuhnya tepat. Pemerintah menghendaki semua bank (swasta dan 
BUMN/BUMD) sehat. Pengalaman 1997 membuktikan, krisis yang dialami bank swasta 
getahnya toh kena ke pemerintah juga. Pertimbangannya adalah menjaga 
kepercayaan terhadap lembaga perbankan umumnya. 
Jika tidak cepat tanggap pemerintah menalanginya, sangat mungkin keresahan 
nasabah bank akan menimbulkan kerusuhan massal. Dengan pertimbangan demikian, 
sesungguhnya tidak relevan jika perumusan deliknya diskriminatif. 
Terseretnya direksi/komisaris/pemegang saham bank swasta dalam tindak pidana 
korupsi dalam krisis perbankan 1997 bukan merupakan bukti tidak 
diskriminatifnya ancaman pidana. Mereka dijadikan tersangka korupsi karena 
dugaan penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan/atau obligasi 
negara sebagai talangan pemerintah untuk mengatasi krisis perbankan. Pemerintah 
dan masyarakat sangat berkepentingan menjaga agar sektor perbankan (BUMN/BUMD 
dan swasta) dapat tumbuh sehat. Oleh karenanya, ganjaran terhadap siapa pun 
yang merusak sektor perbankan harus sama beratnya.
Sebaiknya dihapuskannya ancaman terhadap perbuatan korupsi bagi bank BUMN/BUMD 
disertai pula revisi UU Perbankan. Sanksi bagi pelanggarnya harus lebih berat 
dan kriterianya tindak pidana perbankan lebih detail dan jelas. 
Jangan lagi ada diskriminasi bank BUMN/BUMD dan swasta dalam hal sanksi atas 
pelanggaran hukumnya. Demi menghilangkan ketakutan yang tidak pada tempatnya 
para direksi bank BUMN/BUMD, perlu dilakukan dekriminalisasi (penghapusan 
tindak pidana) di bank BUMN/BUMD. Logikanya ketika institusi negara menjalankan 
usaha yang masuk dalam wilayah korporasi, maka hukum yang berlaku pun sama. 

Dekriminalisasi 
Bagaimana pun kita tidak menghendaki penyalahgunaan dana perbankan BUMN/BUMD. 
Karenanya, untuk melindungi dana masyarakat dan kepercayaan publik, diperlukan 
perubahan UU No.7/1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10/1998 tentang 
Perbankan (UU Perbankan). 
Ada beberapa pasal dalam UU Perbankan yang perlu diperjelas jenis tindak 
pidananya agar terciptanya kepastian hukum. Namun, mengingat betapa vitalnya 
sektor perbankan bagi ekonomi nasional, sanksi hukuman bagi pelanggarnya pun 
mesti diperberat. 
Adapun pasal-pasal yang perlu diperjelas adalah pasal 49, 50, dan 50A UU 
Perbankan. Pasal 49 ayat 2 huruf b UU Perbankan mengancam anggota Dewan 
Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan 
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap 
ketentuan dalam UU Perbankan dan ketentuan peraturan per-UU-an lainnya yang 
berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan 
paling lama 8 tahun serta denda sekurang-kurangnya 5 miliar rupiah dan paling 
banyak 100 miliar rupiah.
Pasal 50 mengancam pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan 
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap 
ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang 
berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan 
paling lama 8 tahun serta denda sekurang-kurangnya 5 miliar rupiah dan paling 
banyak 100 miliar rupiah.
Pasal 50A mengancam pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan 
Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan 
tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang 
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam 
undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang 
berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnnya 7 tahun 
dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya 10 miliar rupiah dan 
paling bannyak 200 miliar rupiah. 
Dari ketiga pasal tersebut perlu diatur secara jelas dan detil, apa yang 
dimaksud langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank 
terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan ketentuan peraturan 
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank. 
Dengan diperjelasnya pengertian di atas dan diperberatnya ancaman pidana dalam 
UU Perbankan, maka dekriminalisasi di perbankan akan menciptakan kepastian 
hukum bagi bank BUMN/BUMD tanpa mengurangi ancaman pidana bagi yang memang 
jelas jelas melanggar prinsip kehati-hatian pengelolaan bank. 

Penulis adalah advokat di Jakarta.


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke