[ppiindia] Bangsa yang (Dibuat) Kecil - Oleh Daoed Joesoef

2010-09-01 Terurut Topik Satrio Arismunandar






 



  



  
  
  



http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=Newsid=24067
2010-08-31 
Bangsa yang (Dibuat) 
Kecil


Oleh : Daoed 
Joesoef

Penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh 
Polisi Diraja Malaysia di perairan Indonesia, dua hari menjelang HUT ke-65 dari 
Kemerdekaan RI adalah satu tamparan bagi kita, selaku satu negara bangsa. 
Pelanggaran kedaulatan wilayah kelautan kita oleh negeri jiran yang pongah ini 
bukan terjadi baru sekali ini, sudah berkali-kali.
Insiden di antara dua 
negara yang selalu digembar-gemborkan serumpun ini sepintas kelihatan aneh. 
Yang 
kecil (Malaysia) kok berani “menampar” yang relatif lebih besar (Indonesia). 
Secara fisik, Indonesia memang “besar”, in terms of jumlah penduduk, keluasan 
wilayah nasional, potensi kekayaan negeri. Namun, secara metafisika ia “kecil” 
karena ia terus-menerus dipimpin oleh warganya yang berjiwa kerdil. Hal ini 
lagi-lagi merupakan kesalahan kolektif kita, selaku satu Negara-Bangsa.
Kita 
pasrah, membiarkan berbagai bidang kehidupan bersama diperintah oleh elite 
politik dan pejabat teknis berjiwa kerdil. Kekerdilan jiwa ini, pertama, 
tercermin dalam pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan peserta 
The Future Defence Leaders Workshop 2010 tanggal 26 – 30 Juli di Jakarta. Dia 
mengaku sempat mengalami kesulitan mencari calon Menteri Pertahanan dan pejabat 
teras di Kementerian Pertahanan berlatar belakang nonmiliter. Kesulitan itu 
juga 
ditemuinya, ketika hendak mengirim orang untuk menghadiri berbagai konferensi, 
seminar, dan simposium di luar negeri tentang pertahanan, keamanan, dan 
hubungan 
internasional.
Pernyataan ini tidak betul. Membohongi masyarakat. Kalau saja 
dia tidak berjiwa kerdil, mau melihat lebih jauh dan melewati tembok berlapis 
dari opini para penasihat yang “memagari” dan “melindunginya”, dia pasti bisa 
membaca tulisan-tulisan saya mengenai masalah pertahanan, keamanan (hankam) dan 
hubungan internasional yang dibutuhkannya. Atau tulisan-tulisan serupa dari 
para 
staf analis dan peneliti dari lembaga CSIS. Tulisan-tulisan konseptual tersebut 
bisa saja berbeda, bahkan berlawanan, dengan apa-apa yang dipikirkannya di 
bidang itu. Namun, ini kan bukan berarti bahwa pemikiran di bidang hankam dari 
pihak sipil tidak ada.
Saya adalah warga negara sipil (civilian citizen). Di 
pertengahan tahun 50-an abad lalu, selaku dosen FE-UI, saya sudah mulai menulis 
tentang hubungan pertahanan dan ekonomi (defence economics). Dalam periode yang 
sama, dalam rangka kebijakan “Ganyang Malaysia” dari Presiden Soekarno, 
lagi-lagi selaku “orang sipil”, saya menjadi anggota tim penasihat Inspektur 
Jenderal Territorial dan Pertahanan Rakyat (Irjentepra).
Sebelum menulis itu, 
saya pernah berkecimpung di bidang militer. Pengalaman kemiliteran saya peroleh 
selama periode revolusi fisik (1945-1949). Berawal sebagai kadet di Akademi 
Militer Darurat di Berastagi, lalu sebagai perwira di Divisi IV TKR Sumatera 
Timur, kemudian selaku anggota Tentara Pelajar selagi ber-SMA di Yogyakarta dan 
setelah penyerahan kedaulatan aktif kembali sebagai militer di Komando Militer 
Kota Besar Jakarta Raya (1950-1951) selaku liaison officer. Saya keluar dari 
dinas kemiliteran, memilih menjadi warga sipil, ketika fakultas ekonomi 
didirikan oleh Universitas Indonesia.
Walaupun begitu, perhatian saya pada 
masalah hankam dan ketahanan nasional tetap hidup. Ketika mengikuti program S-3 
di Sorbonne, saya mengikuti perkuliahan tentang “strategi dan taktik” dari 
Jenderal Beauffre, veteran perang di Afrika, Perang Dunia II dan Vietnam dan 
disebut sebagai Bapak persenjataan nuklir Prancis. Tanpa perintah siapa pun, 
atas kesadaran sendiri, di sela-sela riset dan penulisan tesis doktoral, saya 
menyusun tiga konsep pembangunan Indonesia yang saling berkaitan, yaitu 
“Pembangunan Sistem Hankam”, “Pembangunan Ekonomi dalam rangka Pembangunan 
Nasional”, dan “Pembangunan Sistem Pendidikan dan 
Kebudayaan”.

Berprasangka Mencampuri 
Sewaktu menjabat Menteri 
Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Pembangunan III, saya pernah 
membicarakan pokok-pokok pemikiran saya tentang pembangunan sistem hankam itu 
dengan Presiden Soeharto sendiri. Saya pikir kebijakan pemerintah di bidang 
tersebut selama ini keliru. Bagaimana pertahanan nasional bisa fungsional dan 
efektif kalau kekuatan di darat jauh lebih diutamakan daripada kekuatan di 
laut, 
sedangkan negeri kita dua pertiga terdiri dari laut dengan aneka kekayaan yang 
dikandungnya.
Jangan lupa bahwa Indonesia bukan sekadar “negara maritim” 
tetapi above all an archipelagic state. Jadi, bukan terdiri atas pulau-pulau 
yang dikelilingi laut, tetapi lautan yang ditaburi oleh kira-kira 13.000 pulau 
besar dan kecil. Untuk mengamankan dan melindungi (wilayah) lautan ini 
diperlukan suatu Angkatan Laut yang tangguh.
Ternyata pikiran strategis saya 
tidak diterima sewajarnya oleh Presiden Soeharto. Dia malah berprasangka ada 
kehendak mencampuri 

Re: [ppiindia] Bangsa yang (Dibuat) Kecil - Oleh Daoed Joesoef

2010-09-01 Terurut Topik Siradj Al-Soloni
Indonesia sebagai negara maritim, lautan yang ditebari pulau-pulau besar dan 
kecil, memang seharusnya kekuatan militer tiga angkatan harus dapat berimbang 
dan saling topang-bantu. Pendapat Pak Daoed Joesoef hipotetis sesuai dengan 
sitkon geografis dan sitkon geo-politis serta geo-ekonomis. Dan jawaban SBY 
yang meremehkan intelegensi para warga sipil (kesulitan cari calon menteri 
pertahanan yang handal) dalam hal pemahaman dan pemikiran kemiliteran adalah 
kesombongan militer profesional model KNIL yang pernah menggusur para pejuang 
asal warga sipil yang berjiwa patriotik besar di zaman RI 1946-1948 dari 
komando satuan-satuan TNI, semacam ex-KNIL Soeharto.  


From: Satrio Arismunandar 
Sent: Wednesday, September 01, 2010 1:49 PM
To: news Trans TV ; kampus tiga ; aipi_poli...@yahoogroups.com ; Forum Kompas ; 
ppiindia ; sastra pembebasan ; jurnalisme ; Indonesia Rising ; ex menwa UI 2 ; 
HMI Kahmi Pro Network ; angkasa readers 
Subject: [ppiindia] Bangsa yang (Dibuat) Kecil - Oleh Daoed Joesoef


  


 



http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=Newsid=24067
2010-08-31 
Bangsa yang (Dibuat) 
Kecil

Oleh : Daoed 
Joesoef

Penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh 
Polisi Diraja Malaysia di perairan Indonesia, dua hari menjelang HUT ke-65 dari 
Kemerdekaan RI adalah satu tamparan bagi kita, selaku satu negara bangsa. 
Pelanggaran kedaulatan wilayah kelautan kita oleh negeri jiran yang pongah ini 
bukan terjadi baru sekali ini, sudah berkali-kali.
Insiden di antara dua 
negara yang selalu digembar-gemborkan serumpun ini sepintas kelihatan aneh. 
Yang 
kecil (Malaysia) kok berani “menampar” yang relatif lebih besar (Indonesia). 
Secara fisik, Indonesia memang “besar”, in terms of jumlah penduduk, keluasan 
wilayah nasional, potensi kekayaan negeri. Namun, secara metafisika ia “kecil” 
karena ia terus-menerus dipimpin oleh warganya yang berjiwa kerdil. Hal ini 
lagi-lagi merupakan kesalahan kolektif kita, selaku satu Negara-Bangsa.
Kita 
pasrah, membiarkan berbagai bidang kehidupan bersama diperintah oleh elite 
politik dan pejabat teknis berjiwa kerdil. Kekerdilan jiwa ini, pertama, 
tercermin dalam pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan peserta 
The Future Defence Leaders Workshop 2010 tanggal 26 – 30 Juli di Jakarta. Dia 
mengaku sempat mengalami kesulitan mencari calon Menteri Pertahanan dan pejabat 
teras di Kementerian Pertahanan berlatar belakang nonmiliter. Kesulitan itu 
juga 
ditemuinya, ketika hendak mengirim orang untuk menghadiri berbagai konferensi, 
seminar, dan simposium di luar negeri tentang pertahanan, keamanan, dan 
hubungan 
internasional.
Pernyataan ini tidak betul. Membohongi masyarakat. Kalau saja 
dia tidak berjiwa kerdil, mau melihat lebih jauh dan melewati tembok berlapis 
dari opini para penasihat yang “memagari” dan “melindunginya”, dia pasti bisa 
membaca tulisan-tulisan saya mengenai masalah pertahanan, keamanan (hankam) dan 
hubungan internasional yang dibutuhkannya. Atau tulisan-tulisan serupa dari 
para 
staf analis dan peneliti dari lembaga CSIS. Tulisan-tulisan konseptual tersebut 
bisa saja berbeda, bahkan berlawanan, dengan apa-apa yang dipikirkannya di 
bidang itu. Namun, ini kan bukan berarti bahwa pemikiran di bidang hankam dari 
pihak sipil tidak ada.
Saya adalah warga negara sipil (civilian citizen). Di 
pertengahan tahun 50-an abad lalu, selaku dosen FE-UI, saya sudah mulai menulis 
tentang hubungan pertahanan dan ekonomi (defence economics). Dalam periode yang 
sama, dalam rangka kebijakan “Ganyang Malaysia” dari Presiden Soekarno, 
lagi-lagi selaku “orang sipil”, saya menjadi anggota tim penasihat Inspektur 
Jenderal Territorial dan Pertahanan Rakyat (Irjentepra).
Sebelum menulis itu, 
saya pernah berkecimpung di bidang militer. Pengalaman kemiliteran saya peroleh 
selama periode revolusi fisik (1945-1949). Berawal sebagai kadet di Akademi 
Militer Darurat di Berastagi, lalu sebagai perwira di Divisi IV TKR Sumatera 
Timur, kemudian selaku anggota Tentara Pelajar selagi ber-SMA di Yogyakarta dan 
setelah penyerahan kedaulatan aktif kembali sebagai militer di Komando Militer 
Kota Besar Jakarta Raya (1950-1951) selaku liaison officer. Saya keluar dari 
dinas kemiliteran, memilih menjadi warga sipil, ketika fakultas ekonomi 
didirikan oleh Universitas Indonesia.
Walaupun begitu, perhatian saya pada 
masalah hankam dan ketahanan nasional tetap hidup. Ketika mengikuti program S-3 
di Sorbonne, saya mengikuti perkuliahan tentang “strategi dan taktik” dari 
Jenderal Beauffre, veteran perang di Afrika, Perang Dunia II dan Vietnam dan 
disebut sebagai Bapak persenjataan nuklir Prancis. Tanpa perintah siapa pun, 
atas kesadaran sendiri, di sela-sela riset dan penulisan tesis doktoral, saya 
menyusun tiga konsep pembangunan Indonesia yang saling berkaitan, yaitu 
“Pembangunan Sistem Hankam”, “Pembangunan Ekonomi dalam rangka Pembangunan 
Nasional”, dan “Pembangunan Sistem Pendidikan dan 
Kebudayaan”.

Berprasangka