http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/7/16/o1.htm

Program RPPK yang diketuai Menteri Koordinator Perekonomian itu dijabarkan 
dalam 11 program, yakni revitalisasi penjaminan kredit untuk petani, pemberian 
bibit tanaman pangan, pemberian biodiesel, revitalisasi tambak udang, 
pengolahan rumput laut, mina padi, hutan industri, peningkatan hasil hutan, 
jasa berbasis hutan, dan penandatanganan enam propinsi percontohan. Berhasilkah 
program RPPK ini? Perlu dibuktikan walaupun SBY dengan tegas mengatakan ini 
bukan retorika dan bukan main-main.


Busung Lapar dan Problem RPPK
Oleh Ardi Winangun

SAAT ini di Indonesia ribuan anak balita mengalami kekurangan gizi, ratusan di 
antaranya menderita busung lapar. Kematian sudah banyak menimpa mereka. Negara 
salah urus dan kemiskinan adalah penyebabnya. Pada 9 Juni 2005 lalu, mungkin 
kuping seluruh gubernur di Indonesia merah, terutama yang di daerahnya tertimpa 
busung lapar dan gizi buruk, karena saat rapat dengan Presiden Susilo Bambang 
Yudhoyono (SBY), mereka disindir dengan ucapan, ''Bikin apa anda di daerah, kok 
sampai ada busung lapar.'' Untung saja Presiden kelahiran Pacitan itu hanya 
menyindir dengan kata-kata, bisa jadi saat presidennya Soeharto, para gubernur 
itu bisa ''digebuk'' atau justru didiamkan saja. Karena penyakit itu 
menunjukkan bahwa kemiskinan masih ada dan itu merupakan noda hitam di tengah 
negara yang dikatakan gemah ripah loh jinawi, sawahe jebar-jebar, parine 
lemu-lemu.



Kasus busung lapar dan kekurangan gizi rupanya bak tsunami, melanda di 
mana-mana seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), 
Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, 
Sulawesi Selatan, Riau, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Banten, Kalimantan 
Barat, DKI Jakarta, dan Maluku. 

Salah Urus
Kalau ditanya, apa penyebab timbulnya busung lapar dan kekurangan gizi, 
tentunya jawabannya adalah kemiskinan dan tidak tersedianya kebutuhan pangan 
dan asupan gizi yang memadai di daerah itu. Misalnya di NTT, anak-anak dan 
balita mengkonsumsi bubur encer atau bubur campur jagung hanya dua kali sehari. 
Sementara di Serang, Banten, dari 1.878 anak menderita gizi buruk, 11 di 
antaranya kekurangan kalori atau maramus. Di daerah itu juga, di Puskesmas 
Krama Ratu, ada balita yang bernama Firmansyah dalam keadaan buruk gizi. Di 
usia yang hampir lima tahun, Firmansyah hanya memiliki berat badan 5,9 
kilogram. Ibu dari Firmansyah mengatakan kondisi ekonomi keluarganya semakin 
susah setelah suaminya pergi meninggalkannya. Ia mengatakan tidak mampu membeli 
telur atau susu buat Firmansyah.

Kemiskinan yang mengakibatkan busung lapar dan kekurangan gizi, menurut 
Peneliti Lembaga Penelitian Pemberdayaan Buruh Tani dan Nelayan (LPBTN) PP 
Muhammadiyah Imam Cahyono, akibat negara tidak bisa mengurus rakyatnya. Akibat 
dari kesalahan ini maka rakyat hidupnya selalu jauh dari sejahtera. Robert L. 
Sassone pun mengatakan demikian, dalam bukunya yang berjudul ''Handbook on 
Population'' (1994), ia mengatakan bahwa kelaparan mencerminkan 
ketidaksanggupan pemerintah dalam menghargai harkat dan martabat manusia dan 
kegagalan pemerintah dalam mengadakan pangan secara merata.

Apa yang dikatakan kedua cendekiawan itu benar. Buktinya Menteri Kesehatan Siti 
Fadilah Supari keheranan ketika busung lapar terjadi di NTB. Padahal, propinsi 
yang terkenal dengan sebutan Bumi Gogo Rancah (Gora) ini adalah lumbung padi. 
Tetapi kenyataannya setiap tahun 1.500 balita tertimpa busung lapar. 

Apakah negara juga salah urus? Benar pemerintah juga salah urus. Gubernur NTB 
Lalu Serinata mengungkapkan, meningkatnya jumlah busung lapar disebabkan oleh 
sistem pemantauan yang tidak jalan sejak pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintah 
dan masyarakat lebih terfokus pada masalah politik, terutama menyambut pilkada. 
Problem busung lapar pun bisa terjadi karena adanya laporan dengan sistem asal 
bapak senang (ABS). Ini terjadi di NTT, Gubernur NTT merasa dibohongi para 
bupatinya. Kebohongan para bupati terungkap ketika ribuan anak menderita 
kekurangan gizi, ratusan di antaranya mengalami busung lapar dan puluhan 
meninggal.

Akibat dari musibah itu, untuk memulihkan diperlukan biaya yang besar. Di NTT 
terdapat sekitar 11.432 anak mengalami gizi buruk yang mengarah pada marasmus 
atau busung lapar. Untuk memulihkan, dalam waktu 90 hari mereka harus diberi 
makanan pendamping, idealnya biaya per hari masing-masing anak Rp 10.000. Maka 
dana yang dibutuhkan lebih dari Rp 10,28 milyar. Itu baru NTT, belum propinsi 
yang lain.

Banyaknya dana yang dibutuhkan, membuat Menteri Koordinator Kesejahteraan 
Rakyat Alwi Shihab mengharap kepada para gubernur dan bupati melakukan 
kreativitas dan terobosan, misalnya dengan jalan gotong royong sehingga 
keterbatasan dana bisa diatasi. Untung kepedulian masyarakat tumbuh, salah satu 
parpol membentuk Laskar Antibusung Lapar. Anggota dari laskar adalah seluruh 
kader maupun simpatisannya di tingkat ranting dan cabang. Tugasnya, menelusuri 
potensi keluarga yang rawan busung lapar di lingkungannya. Keluarga yang 
anaknya terkena busung lapar akan disantuni dan diberikan bantuan berupa susu 
gratis.



RPPK Mampukah?

Pada 11 Juni 2005, di Waduk Serbaguna Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, 
Jawa Barat, Presiden Yudhoyono mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, 
Perikanan dan Kehutanan (RPPK). RPPK merupakan program dan strategi umum 
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan, dan petani hutan; 
meningkatkan daya saing program pertanian, perikanan, dan kehutanan, serta 
menjaga kelestarian sumber daya pertanian, perikanan, dan kehutanan.

Program RPPK yang diketuai Menteri Koordinator Perekonomian itu dijabarkan 
dalam 11 program, yakni revitalisasi penjaminan kredit untuk petani, pemberian 
bibit tanaman pangan, pemberian biodiesel, revitalisasi tambak udang, 
pengolahan rumput laut, mina padi, hutan industri, peningkatan hasil hutan, 
jasa berbasis hutan, dan penandatanganan enam propinsi percontohan, yaitu 
Kalimantan Timur, Jambi, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. 
Sedangkan fokus dari RPPK dititikberatkan pada ketahanan pangan, ketersediaan 
pangan yang terjamin, daya beli yang terjangkau, dan kemandirian pangan. Dari 
fokus ini SBY mengharapkan semoga tidak terjadi lagi masalah kekurangan gizi 
dan busung lapar.

Berhasilkah program RPPK ini? Perlu dibuktikan walaupun SBY dengan tegas 
mengatakan ini bukan retorika dan bukan main-main. Namun, program ini 
sebenarnya tidak jauh dengan program yang sudah dilakukan oleh semua presiden 
terdahulu, bahkan sejak Departemen Pertanian didirikan pada zaman Belanda. 
Semua program yang dijalankan dari masa ke masa juga sama, yakni ketahanan 
pangan dan kesejahteraan petani. Soal hasil begitu-begitu saja.

Program yang di-launching SBY itu sebenarnya juga pernah diucapkan Presiden 
Soekarno saat hendak meletakkan batu pertama pembangunan gedung Fakultas 
Pertanian di Bogor, 27 April 1952. Bagi Soekarno soal pangan merupakan soal 
hidup dan mati.

Dengan lantang Soekarno mengatakan, ''...terbangunlah satu bangsa Indonesia 
baru yang badannya sehat-kuat karena cukup persediaan makan, yang dijiwanya 
dinamis-tangkas-perkasa....''

Namun, program-program pemberdayaan di bidang pertanian dan perikanan (dan 
kehutanan) yang dijabarkan atau dilaksanakan sering dihadapkan pada masalah 
yang tidak bisa dihindari seperti, berlanjutnya peralihan lahan pertanian ke 
nonpertanian, pencemaran yang berakibat pada menurunnya kualitas dan kesuburan 
lahan akibat kerusakan lingkungan, banyaknya kerusakan hutan dan lahan hijau 
dan kebutuhan air yang tinggi dari pabrik-pabrik yang membuat semakin minimnya 
dan tidak menentunya penyediaan air untuk sektor-sektor pertanian secara luas, 
dan yang terakhir akibat perubahan iklim secara global maka berakibat pada 
ketidakpastian datangnya musim.

Di sektor perikanan pun masalahnya juga sepelik sektor pertanian. Luasnya 
wilayah laut ternyata tidak menyamin bahwa kita sebagai bangsa yang punya 
produksi ikan yang sangat tingi. Dari nelayan yang berjumlah 3.079.370, 
sebagian besar berada di wilayah tangkapan kawasan barat. Tidak meratanya 
populasi nelayan mengakibatkan terjadinya overfishing. Akibatnya sesama nelayan 
di kawasan barat saling berebut lahan tangkapan. Serta yang menjadi problem 
yang tidak terpecahkan di dunia perikanan adalah mayoritas nelayan kita 
menggunakan teknologi yang konvensional.

Berbagai problem itu membuat hidup nelayan tak selalu beranjak dari kemiskinan. 
Kalau sudah demikian maka busung lapar dan kekurangan gizi akan terus 
menghantui bangsa Indonesia. 

Penulis, wartawan, tinggal di Jakarta




[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke