http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=138696
ANALISIS POLITIK Debat tentang Partai Lokal Oleh Maswadi Rauf Guru Besar Fisip Universitas Indonesia Senin, 20 Maret 2006 Debat tentang partai lokal menghangat kembali setelah penandatanganan Persetujuan Helsinki antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Agustus 2005. Persetujuan tersebut mengharuskan adanya partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai bagian kesepakatan RI-GAM. Para perunding yang mewakili pemerintah RI menyetujui partai lokal di NAD sebagai salah satu konsesi kepada GAM yang menyetujui pengakhiran gerakan bersenjata untuk mencapai kemerdekaan dan mengakui Aceh sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kompromi tersebut diharapkan mengakhiri konflik bersenjata di NAD sehingga rakyat Aceh dapat menikmati perdamaian dan memperoleh kesempatan membangun daerahnya. Partai lokal di NAD adalah sebuah keharusan karena hal tersebut sudah merupakan hasil perjanjian RI-GAM. Kita boleh saja berdebat tentang setuju atau tidak terhadap partai lokal. Tapi partai lokal harus dicantumkan dan difasilitasi oleh RUU Pemerintahan Aceh (PA) yang sekarang sedang dibicarakan di DPR. Bila tidak, Indonesia tentu akan diprotes dunia internasional yang telah menyaksikan keberhasilan Indonesia melalui Persetujuan Helsinki menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh. *** Partai lokal di NAD dikhawatirkan dikuasai dan digunakan mantan tokoh-tokoh GAM untuk memperjuangkan kemerdekaan Aceh melalui cara-cara parlementer, yakni melalui pemilihan umum dan lembaga legislatif daerah (DPRD). Penentang partai lokal khawatir bahwa dukungan rakyat dalam pemilu digunakan untuk menuntut kemerdekaan Aceh. Karena itu, penentang beranggapan bahwa partai lokal adalah ancaman potensial bagi keutuhan dan keberadaan NKRI. Tapi kekhawatiran itu tidak cukup beralasan. Pertama, GAM sudah sepakat melepaskan tuntutan merdeka dan mengakui serta bergabung dalam NKRI. Partai lokal yang menuntut kemerdekaan Aceh bertentangan dengan Perjanjian Helsinki, sehingga partai lokal tidak akan mendapat dukungan siapa pun. Bila ada mantan petinggi GAM yang melakukan hal tersebut, mereka pasti dicerca oleh semua orang (bahkan juga oleh rakyat Aceh). Berdasarkan itu, pemerintah RI dan kalangan mantan pejabat tinggi pemerintah/militer yang tidak setuju partai lokal perlu memberikan kepercayaan lebih besar kepada para mantan petinggi GAM. Kedua, potensi partai lokal pimpinan mantan petinggi GAM memenangi pemilu di NAD masih meragukan. Penderitaan rakyat Aceh akibat konflik bersenjata memberikan citra kurang baik bagi GAM. Karena itu, dukungan terhadap partai lokal pimpinan mantan tokoh-tokoh GAM pun tidak akan begitu besar. Di samping itu, partai lokal niscaya berjumlah banyak dan tidak hanya dipimpin oleh mantan petinggi GAM. Karena itu, pasti terjadi persaingan antara partai-partai lokal sendiri. Sikap menentang partai lokal tidak dapat dipisahkan dari ketidaksetujuan terhadap Perjanjian Helsinki. Bagi mereka, Indonesia tidak perlu berkompromi dengan GAM dan memberikan sejumlah konsesi kepada GAM. Bagi mereka, perjanjian damai RI-GAM harus dicapai tanpa kompromi dan konsesi, sehingga GAM harus menerima NKRI tanpa syarat. Pandangan itu terlalu ideal. Setiap perundingan, apalagi untuk sebuah konflik yang sudah mencapai tahap bersenjata dan sudah berlangsung puluhan tahun, sikap take and give yang menghasilkan kompromi adalah satu-satunya peluang yang terbuka. Sikap "mau menang sendiri" tidak akan mampu menyelesaikan konflik. Lagi pula sudah terbukti bahwa GAM juga tidak bisa ditumpas secara militer. Bagaimanapun, penyelesaian konflik Aceh secara damai tetap merupakan pilihan terbaik. *** Bila partai lokal diizinkan di NAD, terbuka kemungkinan bagi daerah-daerah lain untuk menuntut partai lokal di daerah masing-masing. Bila di NAD saja partai lokal diizinkan, tentu sangat lemah sekali alasan untuk tidak memperbolehkan partai lokal beroperasi di daerah-daerah lain. Terlebih di luar NAD boleh dikatakan tidak ada kemungkinan munculnya tuntutan separatisme. Partai lokal memang tidak dibenarkan oleh peraturan perundangan yang berlaku sekarang ini. UU Partai Politik menetapkankan bahwa partai politik harus bersifat nasional. Bahkan partai tidak diperbolehkan mempunyai dewan pimpinan tingkat nasional di luar ibu kota negara. Persyaratan bagi partai politik untuk dapat menjadi peserta pemilu juga mencerminkan ciri-ciri nasional partai politik. Itu karena sebuah partai harus mempunyai cabang di minimal 2/3 jumlah provinsi dan di minimal 2/3 jumlah kabupaten/kota di provinsi dimaksud. Kenapa partai harus bersifat nasional? Pertama, jumlah partai dikhawatirkan sangat banyak. Kedua, semakin menonjolnya kepentingan daerah dikhawatirkan mengganggu kepentingan dan integrasi nasional. Tapi kedua alasan itu tidak cukup kuat. Bila dilihat di setiap provinsi dan kabupaten/kota, jumlah partai belum tentu besar. Sejumlah partai di daerah-daerah tertentu tidak ditemukan di daerah-daerah lain. Karena itu, jumlah partai bisa beragam di setiap provinsi atau kabupaten/kota. Partai-partai lokal belum tentu berminat atau mampu menduduki kursi DPR di tingkat nasional karena mereka hanya tertarik dan mampu berkiprah di tingkat daerah. Di samping itu, juga tidak ada kepentingan nyata dari partai lokal untuk mempertentangkan kepentingan daerah dengan kepentingan nasional. Justru partai lokal yang lebih menonjolkan kepentingan daerah dengan menentang kepentingan nasional tidak akan mendapat dukungan masyarakat. Jadi tidak perlu dirisaukan kemungkinan partai lokal menjadi pengganggu kepentingan nasional dan NKRI. Justru partai lokal lebih mampu memberikan perhatian kepada kepentingan daerah ataupun kepentingan kelompok tertentu di daerah. *** Memang, partai lokal tentu mempunyai aspek-aspek negatif. Untuk itu, perlu diberikan sejumlah ketentuan yang bersifat mencegah. Partai dilarang melakukan kegiatan-kegiatan yang mengancam dan merugikan NKRI. Partai yang menuntut merdeka adalah sebuah anomali sehingga soal itu perlu dilarang secara tegas dalam peraturan perundangan. Karena itu, perlu ada ketentuan dalam peraturan perundangan yang memberi hak kepada pemerintah untuk membubarkan partai politik yang bertujuan memisahkan diri dari NKRI dan membentuk negara baru. Partai politik juga perlu dilarang menggunakan isu-isu kesukuan dan keagamaan untuk menarik dukungan politik dan menyerang saingan-saingan politik mereka. Perkembangan politik di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mulai menunjukkan hal-hal yang menggembirakan. Sebagai contoh, para calon kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pilkada kelihatannya mampu menahan diri untuk tidak menggunakan isu-isu primordial dalam bersaing dan menarik dukung para pemilih.*** [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/