http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=165235
Rabu, 06 Apr 2005, Hanya Solidaritas Temporal? Oleh Ali Utsman * Dan Kematian pun Semakin Akrab. Judul sajak penyair Subagio Sastrowardoyo ini sungguh tepat untuk menggambarkan bencana nasional yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan terakhir di Nias, serta di berbagai belahan dunia lain. Kita memang seperti melihat sebuah horor yang mengerikan. Di dunia yang kian beradab ini, kita melihat mayat-mayat ditaruh begitu saja di atas tanah terbuka. Itu bukan karena kita tidak peduli, tetapi masyarakat di sana telah kehabisan tenaga dan energi. Sebab, yang selamat pun, secara psikologis, telah hancur jiwanya dan lelah fisiknya. Kini, tragedi kembali menimpa bumi pertiwi. Gempa berkekuatan 8,7 skala richter terjadi di sebelah barat Pulau Sumatera, tepatnya di laut antara Pulau Nias dan Pulau Simeulue, mengguncang pada Senin (28/3) tengah malam. Ratusan orang diperkirakan menjadi korban dan ribuan rumah hancur. Mereka meninggal dalam ketakberdayaan menghadapi ganasnya bencana. Innalillahi wainna ilaihi raji'un. Kita yang jauh dari lokasi bencana, melihat laporan di media massa, sungguh nyaris tidak percaya. Duka itu kembali terjadi di negeri kita. Di Nias! Duka yang begitu dalam dan berat! Tapi yang jelas, duka itu bukan hanya milik masyarakat Nias, melainkan milik bangsa Indonesia, bahkan mestinya milik dunia. Tentu kita masih ingat, skala bencana tsunami yang melanda Aceh, selain tampak pada gambar-gambar visual yang disiarkan media, terlihat pula dari perhatian yang diberikan pihak-pihak yang tak terkena bencana. Setelah terjadinya bencana, di seluruh pelosok tanah air dilakukan pengumpulan dana bantuan. Dalam konteks gerakan mahasiswa, saya masih ingat, dalam sebulan terakhir tiba-tiba berubah isunya. Kalau selama ini sering suaranya berbeda dengan pemerintah, belakangan mereka bisa satu suara baik dengan pemerintah, partai, perusahaan, maupun elemen masyarakat lain, yaitu mengurangi penderitaan korban gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara. Mahasiswa ternyata bukan hanya menjadi moral force dengan menyuarakan kritikan terhadap berbagai masalah yang timpang di negeri ini. Dalam hal solidaritas pun, mereka menjadi salah satu motor penggeraknya. Namun kini, bagaimana dengan tragedi Nias? Masihkah respons dan animo masyarakat dalam menggalang solidaritas kemanusiaan seperti pada tsumami lalu? Lebih jauh lagi, apakah solidaritas itu dapat kita pertahankan setelah kepedihan akibat bencana berlalu? Atau, kita sebenarnya hanyalah manusia dengan solidaritas temporal, yang hanya mampu solider ketika ada bencana (besar) saja? Terjadi Kesenjangan Kesenjangan adalah ciri yang menonjol dalam keseharian masyarakat kita. Itu terutama dapat kita amati di kota-kota besar. Kita dengan mudah menemukan gubuk-gubuk dan pemukiman kumuh tak jauh dari rumah-rumah mewah di kawasan elite di berbagai kota. Jalan-jalan raya kita adalah tempat berbaurnya orang kaya yang naik mobil-mobil mewah nan mulus dan nyaman dengan orang-orang miskin berdesakan dalam bus-bus yang panas, pengap, sekaligus berbahaya karena penuh pencopet dan pengemudinya ugal-ugalan. Artinya, setiap hari, setiap saat, di sekitar kita selalu ada orang yang membutuhkan bantuan seperti saudara-saudara kita di Nias saat ini. Mereka bahkan sering hadir dalam rumah kita, dalam sosok-sosok pembantu yang melayani kita. Mereka memperoleh penghasilan yang jauh lebih kecil daripada biaya yang kita keluarkan untuk kebutuhan-kebutuhan sepele, seperti jajan di kafe-kafe mewah atau ngobrol dengan telepon genggam. Di hadapan saudara-saudara kita yang kurang beruntung itu, kita sanggup memamerkan nikmat keberuntungan yang kita miliki tanpa sungkan. Kita enggan berbagi. Lihat saja, gambar-gambar visual bencana tsunami, selain menunjukkan dahsyatnya bencana, juga menunjukkan sisa-sisa kemewahan yang tadinya dinikmati sebagian penduduk di sana, seperti bangkai mobil-mobil mewah di sela-sela puing reruntuhan bangunan. Pemiliknya boleh jadi tadinya adalah penikmat kemewahan seperti kita saat ini. Bencana itu seketika mengubah mereka menjadi orang yang hidupnya bergantung pada bantuan orang lain, walau mungkin hanya untuk sementara. Tentu tak sulit untuk membayangkan bahwa hal yang sama bisa setiap saat terjadi pada kita. "Tangan Tuhan" bisa merampas apa saja yang kita miliki saat ini dengan berbagai cara. Sebab, semua yang kita miliki ini pada dasarnya bersifat fana. Dengan kesadaran itu, terjadinya rentetan bencana yang menimpa negeri ini seharusnya kita jadikan momen penting untuk mengubah perilaku, untuk lebih peka terhadap nasib saudara-saudara kita yang "belum beruntung". Sebagian di antara kita boleh jadi berdalih, yang kita nikmati adalah hasil jerih payah kita sendiri, jadi sudah selayaknya kita nikmati. Namun, kita harus ingat bahwa apa yang kita peroleh tak semata-mata datang dari hasil kerja keras kita, melainkan kita diuntungkan sistem yang tidak adil. Biaya pendidikan kita, misalnya, sebagian besar datang dari subsidi negara dengan uang rakyat yang sayangnya hanya bisa dinikmati sebagian kecil anak bangsa. Demikian pula, keseharian kita sebenarnya penuh dengan subsidi yang porsinya lebih besar kita nikmati ketimbang rakyat kecil. Karena itu, kemajuan ekonomi yang dinikmati sebagian di antara kita adalah kemajuan ekonomi semu. Kemajuan yang ditopang penderitaan sebagian besar rakyat. Belum lagi kalau diingat bahwa sebagian di antara kita menikmati kekayaan yang diperoleh secara tak sah, melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme. Artinya, tanpa harus bersikap sok solider pun, kita seharusnya sadar bahwa sebagian, mungkin sebagian besar, kemewahan yang kita nikmati adalah sesuatu yang bukan hak kita. *** Dalam situasi yang demikian, kita harus menggalang solidaritas dalam bentuk yang lebih fundamental. Bukan sekadar solidaritas sesaat seperti yang selama ini kita tunjukkan ketika terjadi bencana. Karena itu, pada 2005 ini, kita sudah selayaknya jadikan Tahun Keprihatinan Nasional. Segenap komponen anak bangsa harus hidup dalam suasana prihatin dengan meminimalkan aktivitas-aktivitas yang membebani keuangan negara secara tidak perlu. Pemerintah perlu memberikan penjelasan tentang sektor-sektor yang dapat memboroskan keuangan negara, serta memimpin dan memberi contoh penghematan. Itu bisa dilakukan, misalnya, dengan memotong atau menghilangkan fasilitas mewah yang dinikmati pejabat negara dalam bentuk rumah, mobil, atau kegiatan jalan-jalan ke luar negeri. * Ali Utsman, aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)Dewan Kota Jogjakarta [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/