MEDIA INDONESIA Rabu, 27 Juli 2005
Iran, dari Mullahkrasi ke Neoteokrasi Imam Cahyono, peneliti di Al Maun Institute, Jakarta ADA satu fase perkembangan menarik dari Republik Iran yang (tampaknya) luput dari perhatian banyak orang. Hampir semua opini yang berkembang (terutama pandangan negara-negara Barat dan pers Barat) menengarai terpilihnya Mahmoud Ahmadinejab bakal mengukuhkan negeri para mullah itu (mullahood) di tangan kekuasaan dan kediktatoran kaum Mullah (mullahcracy). Presiden baru Iran dianggap sebagai tokoh berhaluan keras yang kuat memegang tradisi agama dalam politik (Barat bahkan menyebutnya ultrakonservatif) diduga akan mengembalikan Iran jauh kembali ke belakang seperti di awal revolusi Islam 1979. Kemenangan ini juga diprediksi sebagai preseden buruk bagi demokrasi, sebab membawa pendulum Republik Iran bergerak ke kanan, kembali dalam cengkeraman kaum militan dengan kontrol penuh dari supremasi dan institusi otoritas religius. Modernisasi Sebaliknya, menurut saya, perkembangan Iran terkini justru menandai sebuah fase penting. Negeri itu terus menjajaki tahapan baru sebagai sebuah negara neoteokrasi, yakni sebuah periode di mana Iran tetap berada dalam kontrol otoritas religius (theocracy) tapi pada saat yang sama, Iran tidak menampik gagasan-gagasan modernisasi, terutama demokrasi. Harus diakui, Iran adalah rezim teokrasi Islam yang menjalankan mullahkrasi, tetapi ia juga tidak sepenuhnya anti terhadap demokrasi. Paling tidak, ini dibuktikan dengan digelarnya pemilu untuk memilih parlemen dan presiden. Secara turun-temurun, kaum mullah senantiasa memainkan peran sentral dalam perjalanan republik Iran. Hal ini tentu tidak lepas dari tradisi Syiah yang menempatkan otoritas tertinggi di tangan wilayatul faqih. Dalam doktrin Syiah, kepemimpinan dan wakil Tuhan di muka bumi menganut model Imamah yang didasarkan pada garis keturunan Nabi Muhammad dan Imam Ali. Uniknya, sejak revolusi Islam 1979, dengan supremasi tertinggi berada di Ayatullah Khomeini, Iran tetap menyelenggarakan pemilu, sebuah tahapan penting dalam demokrasi dan demokratisasi. Terlepas dari segala kekurangannya, pemilihan umum yang digelar telah menghasilkan tokoh-tokoh reformis seperti Akbar Hashemi Rafsanjani dan Muhammad Khatami. Selama era Rafsanjani yang dilanjutkan Khatami, Iran telah memulai proses demokratisasi, walaupun masih dalam kontrol para ulama konservatif. Semasa Khatami terpilih pada 1997, angin segar reformasi di bidang sosial-politik terus berhembus dengan kencang. Kendati harus tetap diakui, otoritas religius di tangan para mullah tetap mengontrol penuh sektor-sektor vital seperti lembaga kepolisian, lembaga peradilan, dan intelijen. Bisa jadi, pemilu diselenggarakan sekadar sebagai topeng belaka, untuk mencari simpati dan mengukuhkan legitimasi, terutama dari dunia luar. Tapi, jika para mullah itu menganut model pemerintahan tradisional, sebuah pemerintahan diktator yang fasis, dan tidak peduli dengan gagasan modern, seperti model pemerintahan Taliban di Afghan atau model pemerintahan Saddam di Irak, tentunya mereka tidak perlu susah payah menggelar pemilu. Jika mau jujur pula, Arab Saudi adalah prototipe negara kesultanan yang tidak demokratis, tidak pernah menggelar pemilu, tapi karena memiliki 'hubungan spesial' dengan AS, ia tidak dianggap sebagai musuh demokrasi. Jadi, potret perjalanan republik Iran sejatinya menggambarkan sebuah pencarian terhadap model pemerintahan Islam (searching for a new Islamic identity), yakni bagaimana mencari bentuk sebuah negara modern yang tetap berakar dan memiliki akar dalam Islam. Dalam konteks ini, Iran mengadopsi pemikiran-pemikiran modern dari Barat, tetapi tidak ingin menelan mentah-mentah proyek model demokrasi sekuler yang ditawarkan Amerika Serikat. Iran bahkan melawan sistem demokrasi sekuler yang dipaksakan Barat, tetapi mencoba mencari alternatif dengan menerapkan model demokrasi religius. Seperti dikemukakan Ahmadinejab (International Herald Tribune, 27/6/2005), "Religious democracy is the only path toward human prosperity and it's the most advanced type of government that humans can ever have". Anti kolonial Iran sejak lama memang anti terhadap Barat. Tapi, sentimen anti-Barat lebih dimaknai sebagai wujud kebencian terhadap penjajahan kolonial sebab pada kenyataannya, negeri itu tetap menyerap dan mengadopsi gagasan serta nilai-nilai modern yang lahir dari belahan Barat. Selain itu, Iran bukanlah bangsa Arab, tetapi bangsa Persia yang dalam sejarah memiliki kebesaran dan pernah menjadi bangsa besar yang terhormat di masa silam. Jadi, sentimen nasionalisme dan sikap trauma terhadap penjajahan AS mengakar kuat dalam kehidupan rakyatnya. Di satu sisi, kita bisa melihat bagaimana ulama-ulama konservatif Syiah sangat kental pandangannya terhadap doktrin-doktrin tradisional. Namun, di sisi lain, kita juga bisa menyaksikan bagaimana kaum ulama-intelektual sangat apresiatif terhadap pemikiran-pemikiran Barat. Kampus-kampus universitas menjadi ladang persemaian gagasan modern. Kendati mereka tetap mengenakan jubah panjang dan sorban tradisional, isi kepala mereka dipenuhi gagasan modern. Kita bisa menyimak bagaimana pergulatan para pemikir Iran yang sangat dipengaruhi gagasan-gagasan Barat. Ali Syariati, aktor intelektual revolusi Iran 1979 sangat terpesona gagasan kiri Marxis, Massignon, juga Sartre. Ayatulloh Taleghani--juga salah seorang aktor revolusi-- sangat kental dengan gagasan Islam dan ekonomi politik Marxis. Taleghani bahkan cenderung konfrontatif terhadap gagasan-gagasan Imam Khomeini. Belakangan, muncul Abdolkarim Soroush, intelektual muslim yang dijuluki sebagai the Luther of Islam. Soroush juga menekankan pentingnya ide-ide demokrasi dalam model pemerintahan demokrasi yang religius. Bagi Iran, Islam bukanlah agama terbelakang dan anti kemodernan. Umat muslim terutama di Iran--bukanlah kaum yang ketinggalan zaman. Perjalanan panjang republik Islam Iran memasuki fase neo-Teokrasi merupakan sumbangan penting dalam khasanah ilmu politik dan keislaman. Perlu digarisbawahi, ketegangan antara Islam dan Barat sesungguhnya adalah cerita kosong yang dibesar-besarkan. Tesis pemikir kondang Samuel Huntington tentang the clash of civilization sejatinya telah lama dipatahkan, sebab yang terjadi selama ini bukanlah benturan antar peradaban, melainkan perlawanan terhadap invasi imperialisme dan neoliberalisme yang pongah dan kejam.*** [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/