http://www.sinarharapan.co.id/berita/0501/19/opi02.html
Jauhkan Wasangka terhadap Kehadiran Asing Oleh Ari Kristianawati Di tengah "arus" empati lokal dan internasional terhadap bencana gempa dan tsunami di Aceh, pemerintah RI melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa keterlibatan bantuan asing, khususnya militer akan dibatasi maksimal tiga bulan. Menurut pemerintah, pembatasan "masa bhakti" militer dan sukarelawan asing dalam kerangka mengoptimalisasikan kinerja tim penanggulangan bencana domestik, yang dibentuk oleh Pemerintah. Pernyataan membatasi waktu bantuan tenaga militer/sukarelawan asing tersebut menimbulkan polemik. Kelompok masyarakat yang mendukung pembatasan memiliki argumentasi mendasar, yakni pertama, sebagai bentuk kebijakan politik yang strategis untuk menyelamatkan kedaulatan bangsa dari "intervensi politis" dan kegiatan mata-mata. Kedua, menyelamatkan entitas Aceh sebagai wilayah "serambi Mekkah", karena kehadiran militer dan sukarelawan asing dikhawatirkan akan juga membawa anasir-anasir budaya asing yang anti nilai-nilai "imani" yang dianut komunitas warga Aceh. Ketiga, sebagai konsekuensi masih ditetapkannya NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) sebagai wilayah darurat sipil. Namun berbagai kalangan yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah yang membatasi kehadiran orang orang asing itu memiliki argumentasi sebaliknya, yakni pertama, bantuan sukarelawan asing-sipil maupun militer-tetap diperlukan mengingat pola koordinasi penanggulangan dampak bencana oleh pemerintah terlampau lamban dan kurang integratif. Kedua, keterlibatan bantuan tenaga sukarela asing dibutuhkan sebagai bagian kerja sama mutualistik dan tukar pengalaman dalam persoalan penanganan bencana sehingga ada proses pembelajaran penanggulangan bencana secara komprehensif. Ketiga, bantuan tenaga militer atau sipil asing dibutuhkan untuk mempercepat recovery fisik dan psikis masyarakat dan daerah NAD. Kebijakan pembatasan asing itu konon dipengaruhi oleh berbagai kekuatan politik atau kelompok kepentingan yang selalu berpandangan "sempit" dalam membaca realitas sosial dan selalu mengedepankan paradigma prasangka politik. Di samping menganggap kehadiran asing mengancam kedaulatan negara dan mencemari nilai-nilai "keimanan" masyarakat Aceh, kelompok tersebut mewaspadai motivasi terselubung dari pihak luar negeri (LN) untuk memonitor dan mengukur ketahanan sosial-budaya-politik negara ini. Solidaritas Global Kekuatan yang menghendaki bantuan tenaga asing dibatasi secara subjektif memiliki kepentingan tersembunyi, yakni tidak menginginkan eksistensi "sosiologis politik"-nya sebagai kekuatan dominan di Aceh menjadi terreduksi. Kelompok ini pada masa darurat sipil atau darurat militer memiliki "peluang" untuk bermain kepentingan ekonomi, baik melalui jalur legal maupun ilegal. Desakan pembatasan tenaga asing oleh pemerintah yang didukung oleh kelompok-kelompok kepentingan yang masih memiliki paradigma politik yang "sempit", penuh prasangka politis sendiri akan menyulitkan proses recovery, rehabilitasi dan pemulihan komprehensif masyarakat Aceh. Karena selama ini terbukti dalam berbagai program pemulihan bencana di Indonesia yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah selalu rawan penyimpangan, korupsi dan juga kegagalan secara sosial. Fobia dan alasan terhadap keberadaan bantuan tenaga asing juga tidak masuk akal, mengingat membanjirnya bantuan materiel dan tenaga sukarela dari kekuatan asing yang di berbagai media disebut bak "gelombang Tsunami II" sebenarnya merupakan ekspresi solidaritas global. Sikap dan kebijakan pemerintah yang memberi batas waktu keterlibatan bantuan tenaga militer asing sebenarnya "identik" dengan sikap naif pemerintah beberapa hari pasca-tsunami, yang menolak tawaran moratorium utang LN. Meski, akhirnya setelah mendapatkan kritik pedas dari parlemen, pemerintah menerima tawaran moratorium utang itu. Sikap dan kebijakan pemerintah yang yang didasari oleh asumsi politik untuk menjaga kedaulatan bangsa, adalah merupakan pemikiran yang paradoks. Mengapa demikian? Tidak Becus Karena sesungguhnya ada tidak adanya bantuan militer dan sukarelawan mancanegara di Aceh dan Sumatera, bangsa dan negeri ini telah kehilangan "kedaulatan" sosial-ekonomi-politiknya. Ini terjadi ketika rezim Orde Baru telah "tunduk" kepada kepentingan modal asing semenjak pemberlakukan UU PMA No 01 tahun 1967, apalagi setelah di akhir 1997, pemerintah tunduk kepada kebijakan LOI IMF, yang berimplikasi pada kebijakan privatisasi perusahaan nasional ke tangan asing, dan menggelembungnya utang dan bunga utang luar negeri. Belum lagi, persoalan budaya dimana sesungguhnya identitas kultur tradisional dan kearifan budaya lokal dinegeri ini telah tergusur oleh budaya global. Kebijakan pembatasan waktu bantuan tenaga militer asing, merupakan kebijakan politik pemerintah yang tidak strategis. Merupakan kebijakan politik yang menggambarkan bahwa pemerintah dan kelompok yang pro kebijakan tersebut, tidak bisa secara jernih memahami hakekat empati dan solidaritas global. Keberadaan bantuan tenaga militer asing dan sukarelawan sipil asing terbukti cukup efektif dalam aktifitas dilapangan. Keberadaan mereka justru bisa dijadikan sparring partner dalam kerja kolektif untuk memulihkan kondisi infrastruktur fisik Aceh dan Nias. Bisa menjadi mitra kerja sama yang "mutualistik" dalam implementasi program bantuan dari tahap evakuasi, rehabilitasi, pemulihan multidimensi masyarakat dan wilayah yang terkena bencana. Yang patut dikhawatirkan selama ini adalah manakala pemerintah memberhentikan atau melarang bantuan militer asing, tetapi pemerintah sendiri tidak becus melaksanakan program pemulihan, atau bahkan membiarkan "wabah" korupsi dalam penyaluran bantuan di Aceh. Maka ini akan menghambat pemulihan psiko-traumatis masyarakat korban bencana. Juga manakala darurat sipil kembali diintegrasikan dalam kerangka stabilitas keamanan dan bukannya untuk operasi kemanusiaan. Yang paling diperlukan saat ini adalah upaya pemaksimalan penyaluran bantuan secara langsung, dan koordinasi terpadu antara pemerintah dengan "korps sukarelawan" dari mana pun asal mereka. Pemerintah tidak usah menciptakan kebijakan yang memicu polemik publik. Biarkanlah negara lain membantu, namun pemerintah yang mengkoordinasikan dengan program-kebijakan yang komprehensif. Hilangkan stigma, syakwasangka, dan xenophobia. Sambutlah empati mereka dengan keterbukaan, sekali pun kita juga waspada. Penulis adalah pegiat Perhimpunan CITRA KASIH, Surakarta ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/