Bagi saya judulnya begitu tendensius. Begitu juga dengan isinya, ga berkaitan
langsung dengan jilbab.
Apa yang saya lihat di televisi, tsunami itu adalah ombak besar. Yang bisa
memindahkan mobil, kapal, dan menghancurkan rumah. Apalagi manusia
trus, banyak perempuan mati karena tidak bisa berenang? Apa iya perenang
sekalipun bisa selamat di antara air bah yang dahsyat itu -- air bah yg membawa
potongan benda2 keras, spt kayu, batu, pohon dsb..
begitu saja, mohon maap tlah berpendapat
salam,
ekk.
auliah azza [EMAIL PROTECTED] wrote:
Kok, jilbab yang disalahkan. Salah sendiri kenapa tidak kreatif. Dulu
memang
tidak ada baju renang khusus orang yang berjilbab tapi kan bisa diatur
jamnya. Misalnya jam 7 pagi sampai jam 9 untuk anak perempuan. Jam 9 s/d 11
untuk anak laki-laki. Atau kalau anak laki-laki ga mau kesiangan, tuh kolam
renang disekat.
Guru yang ngajar khusus juga, yang perempuan untuk perempuan, yang laki-laki
untuk laki-laki. Kalau ga ada perempuan, sewa orang perempuan.
Saya juga hidup tahun 1980-an dan tinggal di Jakarta, banyak kok teman-teman
saya ga begitu bisa berenang. Saya perhatikan teman-teman lelaki lebih
berani main di tempat yang dalam daripada perempuan. Perempuan itu senangnya
main ditempat cetek dan main pukul2 air.
2008/1/31 mediacare [EMAIL PROTECTED]:
- Original Message -
From: Dewi Candraningrum
To: [EMAIL PROTECTED] jurnalperempuan%40yahoogroups.com
Sent: Thursday, January 31, 2008 12:58 AM
Subject: Re: [Jurnal Perempuan] Nong di Munster-Jerman, Keindonesian,
Kesetaraan, Keisla
Gadis, juga Aquino,
kawan-kawan terkasih,
1. Kuasa Politik atas Selembar Tudung
Jilbab hanyalah selembar kain. Selembar tudung kepala. Tetapi
kepadanya, kuasa politik telah banyak memainkan dur angkara. Saya,
masih kecil waktu itu, di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, di tahun
1980-an. Ya, saya, kita, waktu itu adalah anak-anak perempuan
Soeharto. Memakai kerudung (yang pasca 1998 mendapat nama baru lebih
Islamis, jilbab) pada hari Jumat saja. Sedang hari Senin sd Kamis
memakai rok pendek warna merah, dan atasan putih. Lalu, di hari Sabtu,
diajari berenang oleh guru olah raga, dengan memakai pakaian renang
nan mungil.
2. Empat kali lipat perempuan meninggal karena tidak bisa berenang
Pasca 1998, saya persaksikan gadis-gadis mungil di SD tersebut telah
memakai jilbab rapat, dari Senin sd Sabtu, dan tak ada lagi kelas
renang di hari Sabtu. Kejadian di Boyolali itu ternyata telah berada
dimana-mana. di Aceh, juga. Saya terhenyak, meratap, menangis pula,
karena empat kali lipat perempuan Aceh meninggal dunia lebih banyak
daripada laki-laki, hanya, dikarenakan, salah satunya, tidak bisa
berenang kala Tsunami menerjang.
Saya, hormat sepenuhnya kepada para Pecinta Tuhan, yang kepada jilbab,
mereka ekspresikan cinta non-duniawiyah. Tetapi, bersamaan pula, saya
bersedih-duka, kerana, gadis-gadis belia tak bisa lagi berenang.
Ini sekedar keping cerita, dari ribuah keping lainnya yang tercecer.
Itu sekedar sepenggal kisah.
salam,
dewi
[Non-text portions of this message have been removed]
Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com
[Non-text portions of this message have been removed]