Re: [ppiindia] Kecelakaan Transportasi dan Sistem Ekonomi Neoliberalisme

2007-03-08 Terurut Topik Ari Condrowahono
1. kalo garuda dan merpati make duit negara biar ndak kolaps, siapa juga 
yg teriak ?  di masa lalu banyak perjanjian yg sifatnya koruptif dan 
manipulatif ?  apa yg kayak gitu juga mau dipertahankan 

2. low cost carrier di luar negeri model ettihad, eva air, air asia 
malah rata rata memakai pesawat baru buat nekan biaya tuh ...


A Nizami wrote:
>
> Banyak orang yang menyalahkan pemerintah dan juga
> operator transportasi ketika berbagai kecelakaan
> transportasi terjadi.
>



[Non-text portions of this message have been removed]



[ppiindia] Kecelakaan Transportasi dan Sistem Ekonomi Neoliberalisme

2007-03-08 Terurut Topik A Nizami
Banyak orang yang menyalahkan pemerintah dan juga
operator transportasi ketika berbagai kecelakaan
transportasi terjadi.

Entah itu kecelakaan kapal laut seperti KM Senopati,
Levina, pesawat terbang seperti Lion Air, Adam Air,
Garuda atau pun kereta api.

Tim investigasi dikirim, namun berbagai kecelakaan
tetap terjadi.

Menurut saya ada faktor utama terjadinya kecelakaan
transportasi, yaitu penerapan sistem ekonomi
neoliberal di bidang transportasi.

Pada sistem itu negara tidak boleh turut berbisnis.
Semua diserahkan pada swasta. Negara haram memberikan
subsidi. Sebisa mungkin, subsidi di bidang
transportasi dihapuskan.

Sayangnya masyarakat kita yang menggunakan
transportasi umum tidak sekaya dengan masyarakat di
Negara maju. Jika di Negara maju gaji bulanan bisa
mencapai rp 11 juta dan mampu menghabiskan uang
transportasi sampai rp 2 juta, di Indonesia rata-rata
berpenghasilan rp 1 juta atau di bawahnya (sebagian
UMR tahnun 2006 di daerah seperti di Madiun masih di
bawah Rp 500 ribu). Bahkan masih banyak pekerja di
Indonesia yang gajinya masih di bawah UMR (misalnya
pelayan toko). Paling banter mereka hanya mampu
menghabiskan rp 300 ribu per bulan untuk transportasi.
Sisanya untuk biaya hidup sehari-hari seperti makan
dan akomodasi.

Oleh karena itu, operator transportasi juga tidak bisa
mengenakan tarif yang wajar. Sebagai contoh, dengan
tarif Rp 1.500 saja untuk KRL Jabotabek Jakarta-Depok,
masih banyak penumpang yang berjubel di atas gerbong,
sementara di bawah dengan kondisi berdesakan hingga ke
luar pintu, ada penumpang yang tidak membeli tiket.

Dengan kondisi keuangan seperti itu, akhirnya operator
transportasi swasta sulit membeli kendaraan baru atau
pun alat pengaman seperti sekoci atau pelampung karena
pendapatan jadi kurang. 

Selain itu, sudah jadi prinsip swasta untuk mengeruk
untung sebesar mungkin. Caranya meningkatkan
“penjualan/jasa” sebanyak mungkin dan menekan
biaya seminim mungkin. Karenna keterbatasan kantong
rakyat Indonesia, maka penerimaan yang didapat
operator transportasi kita jauh lebih rendah dari yang
ada di luar negeri. Sementara biaya, terutama
pembelian alat transportasi justru lebih tinggi karena
umumnya untuk pesawat terbang, kapal laut, mau pun
mobil kita justru beli dari Negara-negara maju.

Akibatnya untuk menekan biaya, selama kendaraan tidak
rusak, terus mereka pakai hingga rusak. Kalau mobil
paling mogok. Namun jika pesawat terbang atau kapal
laut bisa jatuh atau tenggelam di laut. Sebagai
contoh, banyak pesawat terbang yang dipakai berumur di
atas 15 tahun. Bis, metromini, mau pun mikrolet banyak
yang sudah reot. Tak jarang lantainya bolong-bolong
sehingga kita bisa melihat jalanan.

Oleh karena itu, pemerintah selain menerapkan aturan
seperti umur kendaraan maksimal 15 tahun untuk
kendaraan umum juga harus membantu untuk pengadaan
kendaraan baru agar kendaraan yang sudah tua bisa
diganti dengan yang baru. Jika tidak, maka rakyat
Indonesia terpaksa harus mengalami berbagai kecelakaan
seperti yang terjadi sekarang.

Kesejahteraan pengemudi juga harus diperhatikan.
Dengan gaji rp 1 juta atau kurang, saya yakin banyak
pengemudi mikrolet atau metromini yang sudah pusing
duluan memikirkan uang makan atau pun sekolah untuk
anaknya. Akibatnya mereka tidak bisa konsentrasi penuh
untuk mengemudi. Kejar setoran yang berakibat
kebut-kebutan atau menurunkan penumpang di lajur
tengah pun jadi kebiasaan.

Namun meminta uang pada pemerintah untuk subsidi pun
sulit. Karena dengan sistem ekonomi Neoliberalis
negara tidak punya uang banyak.

Kekayaan alam seperti minyak, gas, emas, dan
sebagainya diserahkan mayoritas ke swasta asing
(Chevron, Exxon Mobil, Standard Oil, Freeport, dsb)
akibatnya sebagian besar hasil penjualan kekayaan alam
lari ke AS. Untuk pertambangan pemerintah hanya dapat
15%. Untuk migas, meski menurut kontrak pemerintah
dapat 85%, tapi itu harus dipotong lagi dengan “Cost
Recovery” yang besarnya ditetapkan oleh perusahaan
asing yang mengelola kekayaan alam kita. Akibatnya di
Natuna negara Indonesia hanya kebagian O (baca: NOL)
persen saja.

Untuk mengharap dapat pendapatan dari pajak pun sulit,
karena para « pelaku pasar » / Investor minta agar
pajak diturunkan atau bahkan dihilangkan agar «
investor » (baca : penguras kekayaan alam Indonesia)
bisa masuk.

Sistem ekonomi neoliberalisme inilah yang
mengakibatkan negara Indonesia termasuk pengusaha
lokal dan rakyat Indonesia kekurangan uang. Penopang
sistem ini tak lain AS lewat kedubesnya di Indonesia,
segelintir pelaku “Pasar” (Pasar Modal/Pasar
Uang), perusahaan Multinasional, dan segelintir ekonom
dari perguruan tinggi negeri yang didanai oleh pihak
luar.

Itulah akar permasalahan yang sebenarnya. Sebagai
bukti, lihat artikel di bawah di mana Garuda harus
berhutang sebesar US

Salam

Pemerintah Masih Setengah Hati Bantu Garuda  
Selasa, 27 Pebruari 2007  
JAKARTA (BP) - Perusahaan penerbangan PT Garuda
Indonesia (Persero) belum dapat memastikan, apakah
dalam waktu 1-2 tahun mendatang sud