[ppiindia] Megawati Versus Yudhoyono Jilid Dua?

2005-04-04 Terurut Topik Ambon

http://www.suarapembaruan.com/News/2005/04/04/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Megawati Versus Yudhoyono Jilid Dua?
 

Denny JA 

MEGAWATI terpilih kembali secara aklamasi sebagai ketua umum PDI Perjuangan 
dalam kongres PDI-P minggu lalu. Akankah ini menjadi awal dari pertarungan 
Megawati versus Yudhoyono jilid dua? Ataukah dua tokoh ini sebaiknya 
mengembangkan kemitraan yang baru demi tujuan yang jauh lebih besar? 

Megawati mungkin dapat mencontoh Guruh Soekarnoputra. Menjelang pemilihan ketua 
umum PDI-P, Guruh mengambil sikap yang sangat elegan. Saat itu, Guruh 
menghadapi pilihan politik yang sulit. Ia sudah telanjur menyatakan perlawanan 
terhadap Megawati, dan bersedia menjadi calon ketua umum PDI-P berikutnya. Ia 
didesak untuk bersikap tegas dan ekstrem, membuat kongres tandingan, yang 
berujung kepada pengurus tandingan, bahkan PDI-P tandingan. 

Guruh tahu bahwa jika ia bersedia membuat kongres tandingan, sangat mungkin 
sekali publik di luar PDI-P mendukungnya. Semangat perubahan dan pembaharuan 
memang berada di kubunya. Sementara dukungan dana dan sumber daya lain, tak 
pula kurang dilihat dari track record eksponen gerakan pembaruan di PDI-P itu. 
Pemerintah RI dapat dipastikan pula tak akan ikut campur, atau setidaknya tak 
akan merugikan Guruh jika ia memilih ekstrem melawan Megawati. 

Namun ada kepentingan lebih besar yang Guruh bela. Ia mengatakan bahwa akan 
terus mengontrol ketua umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri. Namun ia tak ingin 
PDI-P pecah. 

Perpecahan PDI-P dapat pula melemahkan barisan pendukung NKRI. Akibatnya 
kesatuan NKRI juga akan semakin rawan. Untuk kepentingan yang lebih besar, 
Guruh memilih tetap berjuang dalam satu partai, mengakui kepengurusan yang 
dipilih dalam konggres. Lebih dari itu, Guruh sendiri menjadi bagian dari 
pengurus baru PDI-P. 

Guruh Soekarnoputra patut dipuji telah mengambil Act of Statemanship, yang 
meletakkan kepentingan lebih besar, dan mengalahkan kepentingan pribadi atau 
jangka pendek. 


Megawati 

Sengaja sikap Guruh Soekarnoputra itu diulas panjang lebar karena sikap itu 
sangat strategis dan dibutuhkan dalam politik elite yang semakin rusak. Yaitu 
sikap yang berkompetisi tapi tidak bermusuhan. Sikap yang ingin mengontrol tapi 
tidak ingin saling menghancurkan. 

Guruh sudah menerapkannya pada kasus internal PDI-P. Kini pengurus resmi PDI-P 
ditantang untuk menerapkan perilaku politik serupa untuk kasus eksternal, 
menyangkut hubungan PDI-P dengan pemerintahan RI secara resmi. Lebih khusus 
lagi, sikap Guruh ini sebaiknya yang menjadi platform hubungan politik Megawati 
dan Yudhoyono jilid dua. 

Sikap Guruh menunjukkan bahwa ia memang siap bersaing tapi tidak berarti ia 
mengambil sikap bermusuhan atau melakukan pendekatan konflik dengan pesaingnya. 

Bersaing berarti berlomba menunjukkan program dan kualitas yang lebih baik di 
hadapan publik luas. Sementara bermusuhan atau berkonflik acap kali dilandasi 
oleh motivasi untuk saling menghancurkan. 

Hal yang sama kita harap dikerjakan Megawati Soekarnoputri terhadap presiden RI 
yang terpilih secara resmi. Sikap berkompetisi dengan presiden adalah hal yang 
wajar saja. Apalagi kedua tokoh itu, Megawati dan Yudhoyono, memang saling 
berhadapan dalam pemilu presiden tahun lalu. Namun Sikap itu jangan sampai 
menjurus kepada pendekatan konflik atau permusuhan. 

Sikap Guruh juga menunjukkan bahwa ia ingin sekali mengontrol pilihan dan 
praktik politik pengurus PDI-P selama ini. Ia merasa bahwa banyak sekali 
terjadi praktik yang bertentangan dengan gaya kepemimpinan yang demokrat dan 
perjuangan partai yang pro wong cilik. Namun semangat kontrol itu tidak ia 
arahkan untuk saling menghancurkan dengan membuat kongres tandingan. 

Megawati juga diharapkan mengambil sikap politik yang sama. Selaku ketua umum 
PDI-P yang baru saja terpilih, tentu wajar dan strategis jika Megawati 
mengembangkan semangat oposisi dan ingin mengontrol pemerintahan. Banyak hal di 
pemerintahan yang dapat dikritisi. 

Namun semangat oposisi itu bukan dalam sikap yang asal beda, atau asal 
merepotkan pemerintah, apalagi ingin menjatuhkan wibawa presiden secepat dan 
sekeras mungkin. 

Stabilitas politik, kesatuan NKRI dan suasana kondusif bagi pembangunan ekonomi 
tetap harus dinomorsatukan. Sebagaimana Guruh yang menolak membuat konggres 
tandingan, Megawati juga diharapkan menolak mengambil semua langkah yang justru 
dapat berujung kepada kelumpuhan pemerintahan. Jika ini dikerjakan oleh 
Megawati, niscaya ketokohan Megawati justru semakin kuat. 

Yudhoyono sendiri mengembangkan kesantunan politik yang baik terhadap Megawati 
Soekarnoputri. Di sela-sela tugas kenegaraan yang ketat, Yudhoyono menyempatkan 
diri mengucapkan selamat atas terpilihnya Megawati kembali sebagai ketua umum 
PDI-P. 

Padahal publik tahu, ketika Yudhoyono terpilih sebagai presiden RI, ia tak 
kunjung mendapatkan ucapan selamat dari Megawati Soekarnoputri. Ketika banyak 
presiden dunia mengucapkan selamat, presiden RI saat itu, 

Re: [ppiindia] Megawati Versus Yudhoyono Jilid Dua?

2005-04-04 Terurut Topik Satrio Arismunandar

Dengan cara yang berbelit-beli dan berputar-putar,
Denny JA cuma mau bilang: 

Sudahlah Megawati, ikut SBY saja... Nggak usah
macam-macam... Nggak usah mengangkat isu kenaikan
harga BBM... Patuh dan nurut saja, biar disebut
Negarawan yang punya statemanship

Karena seusai Kongres Bali, Guruh masuk ke Pengurus
PDI-P di bawah Mega, untunglah Denny JA tidak
keterusan mengusulkan agar Mega masuk menjadi salah
satu Menteri kabinet di bawah SBY... Karena kalau
sampai begitu, akan terlalu norak analisisnya
he..he..he...



--- Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote:


http://www.suarapembaruan.com/News/2005/04/04/index.html
 
 SUARA PEMBARUAN DAILY 
 Megawati Versus Yudhoyono Jilid Dua?
  
 
 Denny JA 
 
 MEGAWATI terpilih kembali secara aklamasi sebagai
 ketua umum PDI Perjuangan dalam kongres PDI-P minggu
 lalu. Akankah ini menjadi awal dari pertarungan
 Megawati versus Yudhoyono jilid dua? Ataukah dua
 tokoh ini sebaiknya mengembangkan kemitraan yang
 baru demi tujuan yang jauh lebih besar? 
 
 Megawati mungkin dapat mencontoh Guruh
 Soekarnoputra. Menjelang pemilihan ketua umum PDI-P,
 Guruh mengambil sikap yang sangat elegan. Saat itu,
 Guruh menghadapi pilihan politik yang sulit. Ia
 sudah telanjur menyatakan perlawanan terhadap
 Megawati, dan bersedia menjadi calon ketua umum
 PDI-P berikutnya. Ia didesak untuk bersikap tegas
 dan ekstrem, membuat kongres tandingan, yang
 berujung kepada pengurus tandingan, bahkan PDI-P
 tandingan. 
 
 Guruh tahu bahwa jika ia bersedia membuat kongres
 tandingan, sangat mungkin sekali publik di luar
 PDI-P mendukungnya. Semangat perubahan dan
 pembaharuan memang berada di kubunya. Sementara
 dukungan dana dan sumber daya lain, tak pula kurang
 dilihat dari track record eksponen gerakan pembaruan
 di PDI-P itu. Pemerintah RI dapat dipastikan pula
 tak akan ikut campur, atau setidaknya tak akan
 merugikan Guruh jika ia memilih ekstrem melawan
 Megawati. 
 
 Namun ada kepentingan lebih besar yang Guruh bela.
 Ia mengatakan bahwa akan terus mengontrol ketua umum
 PDI-P, Megawati Soekarnoputri. Namun ia tak ingin
 PDI-P pecah. 
 
 Perpecahan PDI-P dapat pula melemahkan barisan
 pendukung NKRI. Akibatnya kesatuan NKRI juga akan
 semakin rawan. Untuk kepentingan yang lebih besar,
 Guruh memilih tetap berjuang dalam satu partai,
 mengakui kepengurusan yang dipilih dalam konggres.
 Lebih dari itu, Guruh sendiri menjadi bagian dari
 pengurus baru PDI-P. 
 
 Guruh Soekarnoputra patut dipuji telah mengambil
 Act of Statemanship, yang meletakkan kepentingan
 lebih besar, dan mengalahkan kepentingan pribadi
 atau jangka pendek. 
 
 
 Megawati 
 
 Sengaja sikap Guruh Soekarnoputra itu diulas panjang
 lebar karena sikap itu sangat strategis dan
 dibutuhkan dalam politik elite yang semakin rusak.
 Yaitu sikap yang berkompetisi tapi tidak bermusuhan.
 Sikap yang ingin mengontrol tapi tidak ingin saling
 menghancurkan. 
 
 Guruh sudah menerapkannya pada kasus internal PDI-P.
 Kini pengurus resmi PDI-P ditantang untuk menerapkan
 perilaku politik serupa untuk kasus eksternal,
 menyangkut hubungan PDI-P dengan pemerintahan RI
 secara resmi. Lebih khusus lagi, sikap Guruh ini
 sebaiknya yang menjadi platform hubungan politik
 Megawati dan Yudhoyono jilid dua. 
 
 Sikap Guruh menunjukkan bahwa ia memang siap
 bersaing tapi tidak berarti ia mengambil sikap
 bermusuhan atau melakukan pendekatan konflik dengan
 pesaingnya. 
 
 Bersaing berarti berlomba menunjukkan program dan
 kualitas yang lebih baik di hadapan publik luas.
 Sementara bermusuhan atau berkonflik acap kali
 dilandasi oleh motivasi untuk saling menghancurkan. 
 
 Hal yang sama kita harap dikerjakan Megawati
 Soekarnoputri terhadap presiden RI yang terpilih
 secara resmi. Sikap berkompetisi dengan presiden
 adalah hal yang wajar saja. Apalagi kedua tokoh itu,
 Megawati dan Yudhoyono, memang saling berhadapan
 dalam pemilu presiden tahun lalu. Namun Sikap itu
 jangan sampai menjurus kepada pendekatan konflik
 atau permusuhan. 
 
 Sikap Guruh juga menunjukkan bahwa ia ingin sekali
 mengontrol pilihan dan praktik politik pengurus
 PDI-P selama ini. Ia merasa bahwa banyak sekali
 terjadi praktik yang bertentangan dengan gaya
 kepemimpinan yang demokrat dan perjuangan partai
 yang pro wong cilik. Namun semangat kontrol itu
 tidak ia arahkan untuk saling menghancurkan dengan
 membuat kongres tandingan. 
 
 Megawati juga diharapkan mengambil sikap politik
 yang sama. Selaku ketua umum PDI-P yang baru saja
 terpilih, tentu wajar dan strategis jika Megawati
 mengembangkan semangat oposisi dan ingin mengontrol
 pemerintahan. Banyak hal di pemerintahan yang dapat
 dikritisi. 
 
 Namun semangat oposisi itu bukan dalam sikap yang
 asal beda, atau asal merepotkan pemerintah, apalagi
 ingin menjatuhkan wibawa presiden secepat dan
 sekeras mungkin. 
 
 Stabilitas politik, kesatuan NKRI dan suasana
 kondusif bagi pembangunan ekonomi tetap harus
 dinomorsatukan. Sebagaimana Guruh yang menolak
 membuat konggres tandingan, Megawati juga diharapkan