[ppiindia] Mengapa Tidak Bisa Diminimalisasi?

2005-04-01 Terurut Topik Ambon

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_cid=164458
Jumat, 01 Apr 2005,

Mengapa Tidak Bisa Diminimalisasi?
Soal Dampak Gempa di Nias 
Oleh Herry Kurniawan *


Gempa bumi berkekuatan 8,7 pada skala richter terjadi Senin (28/3) malam, pukul 
23.09, di dasar laut antara Pulau Nias (Sumatera Utara) dan Pulau Simeulue 
(Nanggroe Aceh Darussalam). Gempa hebat yang sangat terasa hingga ke Malaysia, 
Sri Lanka, India, dan Thailand itu mengakibatkan kepanikan luar biasa warga 
Medan dan Banda Aceh. 

Di layar televisi, terlihat banyak warga berhamburan ke luar rumah untuk 
menyelamatkan diri, sedangkan listrik dan telepon di banyak tempat putus. 
Ketakutan akan terjadinya tsunami kedua membuat mereka bergegas pergi. 

Kerumunan warga, antara lain, tampak di atas Jembatan Simpang Surabaya, Banda 
Aceh. Diperkirakan, jumlah korban tewas akibat gempa bumi tektonik Senin (28/3) 
di Nias mencapai seribu. Dan, 80 persen bangunan rusak parah.

Masyarakat di sekitar Pulau Nias dan Pulau Simeulue dianjurkan untuk sementara 
tidak kembali mendiami rumahnya yang rusak akibat gempa tersebut. Pasalnya, 
gempa susulan diprediksi akan terjadi di pulau-pulau itu. Gempa terjadi pada 
posisi 2,1`derajat Lintang Utara - 97 derajat Bujur Timur dengan kedalaman 30 
kilometer akibat gesekan antara patahan Indo-Australia dengan Euro Asia. 
Patahan ini berbeda dengan gempa-tsunami yang terjadi 26 Desember 2004. 

Ketua Tim Peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang 
melakukan riset pascatsunami itu mengatakan, gempa hebat Senin (28/3) malam 
terjadi karena beberapa kemungkinan. Dan kemungkinan yang terbesar, gempa 
tektonik itu terjadi akibat normal fault yang memanjang pascagempa 26 Desember 
2004. 

Normal fault dimaksud adalah terjadinya rekahan pascatumbukan lempeng Euro Asia 
dan lempeng Indo-Australia yang menimbulkan gempa-tsunami. Para ahli 
memperkirakan, kini telah terjadi rekahan bumi sepanjang 1.660 km di bawah 
perairan Mentawai hingga ke arah Kepulauan Andaman.


Analisis Alamiah

Mengacu data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) 
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, daerah-daerah yang kini rawan gempa 
bumi yakni Aceh, Sumatera Utara-Simeulue, Sumatera Barat-Jambi, Bengkulu, 
Lampung, Banten-Pandeglang, Jawa Barat-Bantar Kawung, DI Jogjakarta, Lasem, 
Jawa Timur-Bali, NTT, NTB, Kepulauan Aru, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, 
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, 
Kalimantan Timur, Jayapura, Nabire, Wamena, dan Kepala Burung Papua.

Indonesia termasuk negara rawan gempa karena terletak di antara tiga lempeng 
Euro Asia, Pasifik, dan Indo-Australia. Ada empat faktor penyebab yang 
memungkinkan terjadinya gempa bumi di Indonesia. 

Pertama, karena lempengan itu selalu bergerak 3-4 cm per tahun. Karena 
pergerakan tadi, terjadi gesekan antara satu lempeng bumi dan lempeng lainnya. 
Bila tingkat elastisitas satu lempeng tidak kuat menahan gesekan, akan terjadi 
patahan lempeng yang mengakibatkan gempa bumi. 

Kedua, karena produksi energi yang terjadi dari panas di pusat bumi menimbulkan 
pelepasan energi, lalu menekan lapisan-lapisan kulit dekat permukaan bumi. 

Ketiga, pelepasan energi juga bisa melalui aliran konvektif yang perlahan dari 
material dalam bumi. Itu semua merupakan sebuah proses yang oleh para ahli 
geofisika diyakini ikut mendorong menjauhnya antara benua-benua. 

Keempat, ketegangan juga bisa dilepas pasca-keretakan mendadak kerak bumi, atau 
gerakan patahan-patahan kerak bumi. Gerakan di sepanjang patahan ini 
memancarkan energi ke luar dan memunculkan gempa bumi.

Menurut para ahli, pelepasan energi ketegangan dari dalam bumi ini, yang 
mewujud dalam gempa besar, cenderung terjadi di dua sabuk utama. Sabuk pertama, 
tempat terjadinya pelepasan sekitar 85 persen energi dalam bumi, melewati 
kawasan Pasifik, dan lazimnya mengenai negara-negara yang garis pantainya 
berbatasan dengan Samudera Pasifik, seperti Jepang dan pantai barat Amerika 
Utara. 

Sabuk kedua, melewati Laut Tengah, terus ke timur, ke Asia dan bertemu dengan 
sabuk pertama di Indonesia. Di sepanjang kedua sabuk inilah, gempa-gempa besar 
terjadi dengan frekuensi yang bervariasi, sementara Indonesia termasuk wilayah 
rawan gempa. 

Gempa besar, khususnya yang berpusat di dekat lepas pantai, berpotensi 
menimbulkan gelombang pasang tsunami seperti yang terjadi di wilayah NAD dan 
Sumut, Minggu (26/12-04).


Sarat Pengalaman

Minimalisasi dampak gempa Indonesia sebenarnya sarat pengalaman gempa. Selain 
dampak terbesar gempa 26 Desember 2004 yang menimbulkan tsunami dahsyat, 
belakangan ini juga sudah banyaknya korban jiwa maupun parahnya kerusakan 
bangunan di Pulau Nias dan Pulau Simeulue. 

Karena itu, selain mempelajari proses terjadinya gempa bumi, kita masih harus 
banyak belajar dari pengalaman masa lalu agar mampu meminimalisasi dampak gempa 
bumi.

Jika kita belajar dari gempa-tsunami di wilayah NAD dan Sumut 26 Desember 2004, 

[ppiindia] Mengapa Tidak Bisa Diminimalisasi?

2005-03-31 Terurut Topik Ambon

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_cid=164458
Jumat, 01 Apr 2005,


Mengapa Tidak Bisa Diminimalisasi?
Soal Dampak Gempa di Nias 
Oleh Herry Kurniawan *


Gempa bumi berkekuatan 8,7 pada skala richter terjadi Senin (28/3) malam, pukul 
23.09, di dasar laut antara Pulau Nias (Sumatera Utara) dan Pulau Simeulue 
(Nanggroe Aceh Darussalam). Gempa hebat yang sangat terasa hingga ke Malaysia, 
Sri Lanka, India, dan Thailand itu mengakibatkan kepanikan luar biasa warga 
Medan dan Banda Aceh. 

Di layar televisi, terlihat banyak warga berhamburan ke luar rumah untuk 
menyelamatkan diri, sedangkan listrik dan telepon di banyak tempat putus. 
Ketakutan akan terjadinya tsunami kedua membuat mereka bergegas pergi. 

Kerumunan warga, antara lain, tampak di atas Jembatan Simpang Surabaya, Banda 
Aceh. Diperkirakan, jumlah korban tewas akibat gempa bumi tektonik Senin (28/3) 
di Nias mencapai seribu. Dan, 80 persen bangunan rusak parah.

Masyarakat di sekitar Pulau Nias dan Pulau Simeulue dianjurkan untuk sementara 
tidak kembali mendiami rumahnya yang rusak akibat gempa tersebut. Pasalnya, 
gempa susulan diprediksi akan terjadi di pulau-pulau itu. Gempa terjadi pada 
posisi 2,1`derajat Lintang Utara - 97 derajat Bujur Timur dengan kedalaman 30 
kilometer akibat gesekan antara patahan Indo-Australia dengan Euro Asia. 
Patahan ini berbeda dengan gempa-tsunami yang terjadi 26 Desember 2004. 

Ketua Tim Peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang 
melakukan riset pascatsunami itu mengatakan, gempa hebat Senin (28/3) malam 
terjadi karena beberapa kemungkinan. Dan kemungkinan yang terbesar, gempa 
tektonik itu terjadi akibat normal fault yang memanjang pascagempa 26 Desember 
2004. 

Normal fault dimaksud adalah terjadinya rekahan pascatumbukan lempeng Euro Asia 
dan lempeng Indo-Australia yang menimbulkan gempa-tsunami. Para ahli 
memperkirakan, kini telah terjadi rekahan bumi sepanjang 1.660 km di bawah 
perairan Mentawai hingga ke arah Kepulauan Andaman.


Analisis Alamiah

Mengacu data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) 
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, daerah-daerah yang kini rawan gempa 
bumi yakni Aceh, Sumatera Utara-Simeulue, Sumatera Barat-Jambi, Bengkulu, 
Lampung, Banten-Pandeglang, Jawa Barat-Bantar Kawung, DI Jogjakarta, Lasem, 
Jawa Timur-Bali, NTT, NTB, Kepulauan Aru, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, 
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, 
Kalimantan Timur, Jayapura, Nabire, Wamena, dan Kepala Burung Papua.

Indonesia termasuk negara rawan gempa karena terletak di antara tiga lempeng 
Euro Asia, Pasifik, dan Indo-Australia. Ada empat faktor penyebab yang 
memungkinkan terjadinya gempa bumi di Indonesia. 

Pertama, karena lempengan itu selalu bergerak 3-4 cm per tahun. Karena 
pergerakan tadi, terjadi gesekan antara satu lempeng bumi dan lempeng lainnya. 
Bila tingkat elastisitas satu lempeng tidak kuat menahan gesekan, akan terjadi 
patahan lempeng yang mengakibatkan gempa bumi. 

Kedua, karena produksi energi yang terjadi dari panas di pusat bumi menimbulkan 
pelepasan energi, lalu menekan lapisan-lapisan kulit dekat permukaan bumi. 

Ketiga, pelepasan energi juga bisa melalui aliran konvektif yang perlahan dari 
material dalam bumi. Itu semua merupakan sebuah proses yang oleh para ahli 
geofisika diyakini ikut mendorong menjauhnya antara benua-benua. 

Keempat, ketegangan juga bisa dilepas pasca-keretakan mendadak kerak bumi, atau 
gerakan patahan-patahan kerak bumi. Gerakan di sepanjang patahan ini 
memancarkan energi ke luar dan memunculkan gempa bumi.

Menurut para ahli, pelepasan energi ketegangan dari dalam bumi ini, yang 
mewujud dalam gempa besar, cenderung terjadi di dua sabuk utama. Sabuk pertama, 
tempat terjadinya pelepasan sekitar 85 persen energi dalam bumi, melewati 
kawasan Pasifik, dan lazimnya mengenai negara-negara yang garis pantainya 
berbatasan dengan Samudera Pasifik, seperti Jepang dan pantai barat Amerika 
Utara. 

Sabuk kedua, melewati Laut Tengah, terus ke timur, ke Asia dan bertemu dengan 
sabuk pertama di Indonesia. Di sepanjang kedua sabuk inilah, gempa-gempa besar 
terjadi dengan frekuensi yang bervariasi, sementara Indonesia termasuk wilayah 
rawan gempa. 

Gempa besar, khususnya yang berpusat di dekat lepas pantai, berpotensi 
menimbulkan gelombang pasang tsunami seperti yang terjadi di wilayah NAD dan 
Sumut, Minggu (26/12-04).


Sarat Pengalaman

Minimalisasi dampak gempa Indonesia sebenarnya sarat pengalaman gempa. Selain 
dampak terbesar gempa 26 Desember 2004 yang menimbulkan tsunami dahsyat, 
belakangan ini juga sudah banyaknya korban jiwa maupun parahnya kerusakan 
bangunan di Pulau Nias dan Pulau Simeulue. 

Karena itu, selain mempelajari proses terjadinya gempa bumi, kita masih harus 
banyak belajar dari pengalaman masa lalu agar mampu meminimalisasi dampak gempa 
bumi.

Jika kita belajar dari gempa-tsunami di wilayah NAD dan Sumut 26 Desember 2004,