http://cetak.kompas.com/read/2010/08/21/05012990/penyelamatan.cendana

POHON ENDEMIK
Penyelamatan Cendana

Sabtu, 21 Agustus 2010 | 05:01 WIB

KOMPAS/FRANS SARONG

Jika di Nusa Tenggara Timur umumnya amat sulit menemukan tegakan cendana yang 
tumbuh secara alamiah, di Desa Ponain, Kabupaten Kupang, hingga akhir Juli lalu 
masih menyisakan 14 pohon di lahan milik penduduk. Usianya 12-13 tahun, separuh 
usia layak tebang yang minimal 30 tahun.

Setidaknya ada 14 pohon cendana (Santalum album Linn) yang tumbuh secara 
alamiah 
dan kini berusia belasan tahun di sekitar Nunka, salah satu anak kampung di 
Desa 
Ponain, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Temuan itu tentu saja jadi kabar 
menarik karena tegakan cendana, apalagi yang tumbuh alami, sangat langka di 
Nusa 
Tenggara Timur. Apalagi NTT sejak abad ke-4 sudah dikenal hingga pelosok dunia 
sebagai penghasil jenis kayu beraroma harum dan mahal itu.

Nunka, salah satu dari empat anak kampung di Desa Ponain, berjarak sekitar 60 
km 
arah selatan Kota Kupang. Hingga tahun 1990-an, Ponain termasuk Nunka dan 
kawasan sekitarnya dikenal sebagai salah satu sentra cendana di Kabupaten 
Kupang, bahkan Timor. Kini, jenis pohon endemik NTT itu sudah sangat langka, 
bahkan hampir mustahil bisa ditemui dalam kawasan hutan.

Belum diketahui secara pasti jumlah populasi cendana yang tersisa di NTT kini. 
Berbagai pihak mengakui keberadaannya sudah di ambang kepunahan. Tegakan 
tersisa 
hanya bisa dijumpai dalam lahan kebun, pekarangan rumah, atau di sekitar 
perkantoran, itu pun secara sporadis dan amat terbatas.

Catatan dari Dinas Kehutanan NTT dan Balai Penelitian Kehutanan Kupang 
menyebutkan, populasi cendana yang menjadi pegangan kini adalah hasil pendataan 
tahun 1997/1998. Jumlah itu diakui telah mengalami penyusutan hampir 54 persen 
selama 10 tahun sejak 1987/1988. Bahkan, Kepala Balai Penelitian Kehutanan 
Kupang Soenarno di Kupang pada akhir Juli lalu mengakui, tegakan cendana 
tersisa 
saat ini barangkali hanya sekitar 20 persen atau kurang lebih 120.000 pohon 
dari 
jumlah tegakan 12 tahun lalu itu (1997/1998).

Begitu langkanya jenis pohon yang cocok tumbuh di daerah kering dan gersang itu 
hingga rata-rata warga Ponain mengetahui secara persis jumlah, lokasi, termasuk 
pemilik lahan tempat cendana tumbuh secara alamiah di sekitarnya.

Sebagai contohnya, seorang ibu rumah tangga, Ny Henderina Nggili (42), warga 
Nunka. Ketika ditanya tentang cendana yang tumbuh secara alamiah, ibu tiga anak 
itu langsung menunjuk tegakan yang tumbuh di lahan milik Aleks Rakmeni dan 
Cornelis Rakmeni. ”Kalau cendana yang ditanam, di setiap pekarangan rumah ada. 
Kalau yang tumbuh sendiri, di Ponain hanya ada dua tempat itu,” tuturnya.

Tegakan

Belasan tegakan cendana alami di sekitar Kampung Nunka tumbuh di antara semak 
di 
dua titik. Sebanyak 13 pohon tumbuh di lahan milik Cornelis Rakmeni. Satu 
tegakan lagi di titik lainnya tumbuh di lahan milik Aleks Rakmeni. Seperti 
disaksikan pada Selasa (24/7), pertumbuhan belasan pohon yang rata rata kerdil 
itu dimungkinkan karena tanpa perawatan dan tumbuh di celah karang dalam 
kepungan semak. Hingga berusia sekitar 15 tahun atau separuh waktu usia layak 
tebangnya (minimal 30 tahun), bagian pangkalnya masih bergaris tengah sekitar 
4-5 sentimeter (cm) dengan tegakan setinggi kurang lebih 6-7 meter. Cendana 
sesusia itu normalnya bergaris tengah 7-8 cm dan setinggi sekitar 10 m.

Namun dalam pandangan masyarakat setempat, pertumbuhan pohon yang terkesan 
merana justru ideal. ”Pohon cendana yang kelihatan merana, kalau sampai waktu 
panennya, justru paling diburu karena dipastikan berteras banyak dan sangat 
wangi. Terasnya itu bisa sejak ujung dahan hingga akar akarnya,” tutur Hermanus 
Rakmeni (70-an), tetua di Nunka.

”Sebaliknya, cendana yang kelihatan tumbuh subur, hingga tiba usia tebangnya, 
belum tentu ada terasnya. Cendana seperti itu malah tidak sedikit tiba-tiba 
meranggas dan kering sebelum usia tebangnya. Atau, kalau tetap hidup, belum 
tentu ada terasnya,” tutur Kepala Desa Ponain, Is Ataupah.

Sebenarnya tegakan cendana di Ponain tidak hanya 14 pohon alami tersebut. Di 
seputar rumah, lahan kebun atau kawasan sekitarnya kini tumbuh sekitar 550 
pohon 
cendana berusia 2-3 tahun hasil penanaman secara massal sejak tahun 2007. 
Tanaman cendana budidaya itu adalah milik 110 keluarga yang tergabung dalam 11 
kelompok petani cendana di desa itu.

Is Ataupah mengakui, penanaman cendana secara massal di desa itu awalnya atas 
kerja sama dengan Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang 
dan sejak tahun 2009 perannya digantikan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang.

Setelah memperoleh penyuluhan, masyarakat sangat bersemangat menanam cendana. 
Apalagi ketika kerja sama dengan Undana, para petani tidak hanya memperoleh 
anakan secara gratis. Mereka juga memperoleh upah dari penggalian lubang untuk 
penanaman cendana, juga ada biaya logistik saat pertemuan.

Belakangan atau sejak tahun 2009, penanaman cendana di Ponain diganti dan 
dilanjutkan atas kerja sama dengan Balai Penelitian Kehutanan Kupang. ”Bedanya, 
ketika kerja sama dengan Balai Penelitian Kehutanan Kupang, tidak ada lagi upah 
penggalian lubang tanaman dan tak ada lagi biaya logistik pertemuan. Masyarakat 
agak kecewa dan bertanya mengapa bisa terjadi perubahan, tetapi mereka tetap 
bersemangat menanam,” papar Is Ataupah.

Alamiah

Mengapa tegakan cendana alamiah di Ponain atau Nunka hanya tersisa 14 pohon, 
padahal kawasan itu dulunya dipadati cendana? Eben Rakmeni, koordinator 11 
kelompok petani cendana di Ponain menggambarkan, belasan pohon cendana itu 
terselamatkan berkat perubahan sikap Pemerintah Provinsi NTT yang mencabut 
monopoli atas cendana.

Sejak zaman kerajaan, penjajahan Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka, 
cendana—entah tumbuh di kawasan hutan atau pekarangan dan lahan 
warga—sepenuhnya 
milik pemerintah. Monopoli itu baru dicabut melalui Perda Nomor 2 Tahun 1999. 
Intinya, cendana dalam lahan atau yang ditanam masyarakat sepenuhnya menjadi 
milik warga bersangkutan.

Kata Eben Rakmeni, kalau pemerintah masih terus memonopoli bahwa seluruh 
cendana 
milik pemerintah seperti sejak lama, jelas masyarakat tidak merasa ada 
manfaatnya memelihara atau menyelamatkan cendana. Bahkan, tidak sedikit cendana 
yang dimusnahkan secara diam-diam karena hanya akan merepotkan mereka, tetapi 
menguntungkan pemerintah.

”Belakangan pandangan itu sudah berubah, masyarakat tahu cendana yang ditanam 
sepenuhnya menjadi milik mereka. Apalagi mereka pun tahu cendana itu harganya 
mahal. Itulah alasannya hingga belasan tegakan sekitar Kampung Nunka itu ikut 
terselamatkan,” papar Eben.

Salah satu program kepemimpinan Gubernur NTT Frans Lebu Raya adalah 
mengembalikan NTT sebagai provinsi cendana yang, kalau berjalan mulus, baru 
terwujud tahun 2040, sesuai usia layak tebang cendana, minimal 30 tahun. 
Seiring 
program itu, Menteri Kehutanan MS Kaban tahun lalu (2009) mencanangkan 
penanaman 
cendana berbasis masyarakat di Ponain.

Masyarakat setempat menyambut gembira pencanangan itu hingga mereka merelakan 
sekitar 50 ha lahan untuk ditanami cendana. Namun, hingga akhir Juli lalu, 
sebagaimana diakui Is Ataupah, penanaman baru mencapai sekitar 3 ha, sesuai 
ketersediaan anakan cendana secara gratis dari Dinas Kehutanan NTT.

”Seharusnya pemerintah merespons cepat dengan menyediakan anakan cendana 
secukupnya ketika semangat masyarakat menanam cendana sedang bangkit. 
Masyarakat 
kami sekarang bertanya kapan pemerintah kembali menyediakan anakan cendana 
hingga mereka melanjutkan penanaman di lahan yang masih kosong,” keluhnya.

Kutu putih

Anakan cendana yang ditanam warga di Nunka dan sekitarnya sebagian tumbuh subur 
dan segar. Namun, sebagian lainnya dalam gerogotan hama putih. Eben Rakmeni 
mengakui, para petani untuk sementara hanya bersikap pasrah karena tidak tahu 
bagaimana harus membasminya. Ranting atau daun cendana yang terserang hama 
secara perlahan mengerdil, menguning, dan akhirnya mengering.

”Hama putih ini sudah semakin meluas dan para petani mulai merasa terancam. 
Kami 
berharap segera ada penyuluhan bagaimana mengatasinya,” kata Is Ataupah.

Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Soenarno pada kesempatan terpisah di 
Kupang mengimbau para petani agar selalu memantau tanaman cendana mereka. Hama 
putih yang baru hinggap supaya segera disingkirkan hingga tidak meluas.

”Kalau hamanya sudah mencapai ranting dan daun-daunnya, hanya bisa dibersihkan 
dengan air sabun. Itu harus dilakukan penuh hati hati agar dahan, ranting, atau 
daunnya tidak sampai patah,” tuturnya.

Keluhan lain terkait mengeringnya sejumlah anakan setelah bertahan hidup 
beberapa bulan hingga lebih dari setahun. Warga menduga kematian anakan itu 
akibat keberadaan pohon inang yang tak sesuai atau karena sama sekali tanpa 
pohon inang. Pengalaman sejumlah petani menunjukkan tanaman berinang pohon gala 
gala rata rata tumbuh bagus dan bertahan hidup. Untuk mengatasinya, butuh 
panduan dan kehadiran penyuluh yang selalu berada di lapangan.


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to