[ppiindia] Reaktivasi Pamswakarsa, untuk Apa?
MEDIA INDONESIA Rabu, 15 Juni 2005 Reaktivasi Pamswakarsa, untuk Apa? Oleh: Reza Indragiri Amriel, alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne PEMERINTAH berencana mengaktifkan kembali program pengamanan swakarsa (Pamswakarsa) di seluruh daerah dengan tujuan untuk meredam meluasnya aksi terorisme. ''Negara kita mau aman atau tidak?'' demikian retorika Sekjen Depdagri saat menjawab pertanyaan wartawan yang waswas akan meruyaknya kembali watak-watak represif ala Orde Baru (Media Indonesia, 11/6). Jelas, dengan seruan semacam itu, pemerintah tengah melempar sebuah jaminan bahwa keberadaan Pamswakarsa akan memberi pengaruh positif terhadap membaiknya kondisi keamanan dalam negeri. Pengaktifan kembali Pamswakarsa di tengah situasi domestik yang kacau-balau, pantas dikritisi. Secara teoritis, pada dasarnya, unit-unit pengamanan masyarakat dapat disinergikan untuk menghasilkan kekuatan yang lebih besar dan terpadu dalam rangka menghadapi berbagai gangguan kamtibmas di Tanah Air. Desentralisasi kepolisian yang lebih mendekatkan polisi ke masyarakat, sebagai misal, dapat diajukan sebagai formula guna menjaga agar unit-unit Pamswakarsa itu tetap terkendali (Urgensi Desentralisasi Polri, Media Indonesia, 1/2). Akan tetapi, rencana pemerintah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang keamanan melalui kegiatan Pamswakarsa tampaknya tidak didukung dengan pertimbangan ilmiah yang lebih memadai. Reaktivasi Pamswakarsa tidak ubahnya sebuah solusi praktis (baca: ecek-ecek) yang dimaksudkan untuk mengatasi problem kronis. Dikhawatirkan, mirip program-program instan yang tidak terkendali lainnya-termasuk jaring pengamanan sosial, makan gratis di warteg, gerakan disiplin nasional, perizinan becak di Jakarta, pemberdayaan loper koran, dan sejenisnya, alih-alih bertahan dan berfungsi efektif, pengaktifan Pamswakarsa hanya berlangsung sesaat. Bahkan, lebih kontraproduktif lagi, setelah sekian banyak uang dialokasi untuk program ini, yang muncul kemudian justru ekses negatif berupa ancaman baru terhadap keamanan masyarakat. Pesimisme penulis terhadap efektivitas Pamswakarsa didasarkan pada hal-hal sebagai berikut. Pertama, pola kerja antara aparat keamanan (polisi) dan masyarakat dalam konteks pengamanan dapat ditelaah dan diprediksi dengan berpedoman pada asumsi 'dilema keamanan'. Menurut asumsi ini, manakala masyarakat merasa kian jauhnya kehidupan mereka dari kondisi aman, dan pada saat yang sama polisi juga dianggap tidak mampu memberikan jaminan akan rasa keamanan, masyarakat akan menggiatkan inisiatif mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka akan rasa keamanan itu. Problemnya, dalam situasi di mana kewaspadaan masyarakat meningkat, aparat keamanan justru 'terlena' yang diikuti dengan menurunnya daya kendali mereka atas bidang yang sesungguhnya menjadi objek tugas mereka. Di'ambil alih'nya tanggung jawab keamanan semacam di atas yang diduga akan berlangsung pascareaktivasi Pamswakarsa. Hilangnya wibawa dan sense of responsibility aparat polisi, sehingga membiarkan para 'pak ogah' dan pasukan-pasukan pengamanan parpol tetap beraksi di hadapan mereka, adalah bukti konkret kebenaran asumsi dilema keamanan. Dengan demikian, kegiatan Pamswakrasa hanya dapat dioperasionalkan apabila kepolisian (selaku pengoordinasi program pengerahan kekuatan sipil) memiliki cukup kewenangan dan keberanian sekaligus konsistensi untuk menjalankan otoritasnya. Kedua, tingginya antusiasme khalayak luas untuk bergabung ke dalam kelompok-kelompok Pamswakarsa, seperti yang marak setelah runtuhnya rezim Orde Baru, dapat diterjemahkan sebagai manifestasi masif atas kebutuhan akan kekuasaan (need for power). Kebutuhan ini baru dapat diaktualisasikan secara efektif jika tiap-tiap pihak mempunyai perbendaharaan pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Tidak terpenuhinya persyaratan tersebut dapat menjadi bumerang. Studi-studi psikologi perkembangan menunjukkan bahwa banyak individu (khususnya remaja) yang mengalami frustrasi akibat tidak sebandingnya kebutuhan akan kekuasaan dengan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam mengekspresikan serta memenuhi kebutuhan itu. Lebih lanjut, ketika instansi-instansi formal di bidang keamanan berupaya mengorganisasi mereka agar segala tindakannya tetap dalam koridor legal, langkah instansi-instansi itu justru dapat dipersepsi sebagai halangan bagi individu-individu tadi dalam 'memperoleh' pengetahuan dan pengalaman baru. Perilaku menyimpang pun, tak pelak, timbul sebagai bentuk respons terhadap 'halangan-halangan' tersebut. Konkretnya adalah digunakannya dalih 'atas nama keamanan' sebagai rasionalisasi untuk mengamuflase tindak-tanduk abusive, baik vertikal maupun horizontal. Dinamika seperti diuraikan di atas semakin potensial terjadi di Indonesia, karena tampaknya tidak ada persyaratan mendasar, apalagi spesifik, yang harus dipenuhi oleh mereka yang berminat mendirikan atau bergabung ke dalam sebuah kelompok Pamswakarsa. Mudah
Re: [ppiindia] Reaktivasi Pamswakarsa, untuk Apa?
Jadi inget tahun 99 lagi neh... Apa nggak sebaiknya ngaktifkan sistem siskamling dengan polisi wilayah sebagai pembina. Inget lho, Che Guevara pernah bilang bahwa rakyat akan mengikuti orang yang tidak pernah menyakiti mereka, artinya bahwa sepanjang rakyat masih memiliki kenangan dan ingatan buruk mengenai suatu program, maka program tidak akan berjalan karena tiadanya dukungan... Gimana setuju nggak? DG On 6/15/05, Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote: MEDIA INDONESIA Rabu, 15 Juni 2005 Reaktivasi Pamswakarsa, untuk Apa? Oleh: Reza Indragiri Amriel, alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne PEMERINTAH berencana mengaktifkan kembali program pengamanan swakarsa (Pamswakarsa) di seluruh daerah dengan tujuan untuk meredam meluasnya aksi terorisme. ''Negara kita mau aman atau tidak?'' demikian retorika Sekjen Depdagri saat menjawab pertanyaan wartawan yang waswas akan meruyaknya kembali watak-watak represif ala Orde Baru (Media Indonesia, 11/6). Jelas, dengan seruan semacam itu, pemerintah tengah melempar sebuah jaminan bahwa keberadaan Pamswakarsa akan memberi pengaruh positif terhadap membaiknya kondisi keamanan dalam negeri. Pengaktifan kembali Pamswakarsa di tengah situasi domestik yang kacau-balau, pantas dikritisi. Secara teoritis, pada dasarnya, unit-unit pengamanan masyarakat dapat disinergikan untuk menghasilkan kekuatan yang lebih besar dan terpadu dalam rangka menghadapi berbagai gangguan kamtibmas di Tanah Air. Desentralisasi kepolisian yang lebih mendekatkan polisi ke masyarakat, sebagai misal, dapat diajukan sebagai formula guna menjaga agar unit-unit Pamswakarsa itu tetap terkendali (Urgensi Desentralisasi Polri, Media Indonesia, 1/2). Akan tetapi, rencana pemerintah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang keamanan melalui kegiatan Pamswakarsa tampaknya tidak didukung dengan pertimbangan ilmiah yang lebih memadai. Reaktivasi Pamswakarsa tidak ubahnya sebuah solusi praktis (baca: ecek-ecek) yang dimaksudkan untuk mengatasi problem kronis. Dikhawatirkan, mirip program-program instan yang tidak terkendali lainnya-termasuk jaring pengamanan sosial, makan gratis di warteg, gerakan disiplin nasional, perizinan becak di Jakarta, pemberdayaan loper koran, dan sejenisnya, alih-alih bertahan dan berfungsi efektif, pengaktifan Pamswakarsa hanya berlangsung sesaat. Bahkan, lebih kontraproduktif lagi, setelah sekian banyak uang dialokasi untuk program ini, yang muncul kemudian justru ekses negatif berupa ancaman baru terhadap keamanan masyarakat. Pesimisme penulis terhadap efektivitas Pamswakarsa didasarkan pada hal-hal sebagai berikut. Pertama, pola kerja antara aparat keamanan (polisi) dan masyarakat dalam konteks pengamanan dapat ditelaah dan diprediksi dengan berpedoman pada asumsi 'dilema keamanan'. Menurut asumsi ini, manakala masyarakat merasa kian jauhnya kehidupan mereka dari kondisi aman, dan pada saat yang sama polisi juga dianggap tidak mampu memberikan jaminan akan rasa keamanan, masyarakat akan menggiatkan inisiatif mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka akan rasa keamanan itu. Problemnya, dalam situasi di mana kewaspadaan masyarakat meningkat, aparat keamanan justru 'terlena' yang diikuti dengan menurunnya daya kendali mereka atas bidang yang sesungguhnya menjadi objek tugas mereka. Di'ambil alih'nya tanggung jawab keamanan semacam di atas yang diduga akan berlangsung pascareaktivasi Pamswakarsa. Hilangnya wibawa dan sense of responsibility aparat polisi, sehingga membiarkan para 'pak ogah' dan pasukan-pasukan pengamanan parpol tetap beraksi di hadapan mereka, adalah bukti konkret kebenaran asumsi dilema keamanan. Dengan demikian, kegiatan Pamswakrasa hanya dapat dioperasionalkan apabila kepolisian (selaku pengoordinasi program pengerahan kekuatan sipil) memiliki cukup kewenangan dan keberanian sekaligus konsistensi untuk menjalankan otoritasnya. Kedua, tingginya antusiasme khalayak luas untuk bergabung ke dalam kelompok-kelompok Pamswakarsa, seperti yang marak setelah runtuhnya rezim Orde Baru, dapat diterjemahkan sebagai manifestasi masif atas kebutuhan akan kekuasaan (need for power). Kebutuhan ini baru dapat diaktualisasikan secara efektif jika tiap-tiap pihak mempunyai perbendaharaan pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Tidak terpenuhinya persyaratan tersebut dapat menjadi bumerang. Studi-studi psikologi perkembangan menunjukkan bahwa banyak individu (khususnya remaja) yang mengalami frustrasi akibat tidak sebandingnya kebutuhan akan kekuasaan dengan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam mengekspresikan serta memenuhi kebutuhan itu. Lebih lanjut, ketika instansi-instansi formal di bidang keamanan berupaya mengorganisasi mereka agar segala tindakannya tetap dalam koridor legal, langkah instansi-instansi itu justru dapat dipersepsi sebagai halangan bagi individu-individu tadi dalam 'memperoleh' pengetahuan dan