[ppiindia] Reaktivasi Pamswakarsa, untuk Apa?

2005-06-14 Terurut Topik Ambon
MEDIA INDONESIA
Rabu, 15 Juni 2005



Reaktivasi Pamswakarsa, untuk Apa?
Oleh: Reza Indragiri Amriel, alumnus Psikologi Forensik The University of 
Melbourne


PEMERINTAH berencana mengaktifkan kembali program pengamanan swakarsa 
(Pamswakarsa) di seluruh daerah dengan tujuan untuk meredam meluasnya aksi 
terorisme. ''Negara kita mau aman atau tidak?'' demikian retorika Sekjen 
Depdagri saat menjawab pertanyaan wartawan yang waswas akan meruyaknya kembali 
watak-watak represif ala Orde Baru (Media Indonesia, 11/6). Jelas, dengan 
seruan semacam itu, pemerintah tengah melempar sebuah jaminan bahwa keberadaan 
Pamswakarsa akan memberi pengaruh positif terhadap membaiknya kondisi keamanan 
dalam negeri.

Pengaktifan kembali Pamswakarsa di tengah situasi domestik yang kacau-balau, 
pantas dikritisi. Secara teoritis, pada dasarnya, unit-unit pengamanan 
masyarakat dapat disinergikan untuk menghasilkan kekuatan yang lebih besar dan 
terpadu dalam rangka menghadapi berbagai gangguan kamtibmas di Tanah Air. 
Desentralisasi kepolisian yang lebih mendekatkan polisi ke masyarakat, sebagai 
misal, dapat diajukan sebagai formula guna menjaga agar unit-unit Pamswakarsa 
itu tetap terkendali (Urgensi Desentralisasi Polri, Media Indonesia, 1/2).

Akan tetapi, rencana pemerintah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam 
bidang keamanan melalui kegiatan Pamswakarsa tampaknya tidak didukung dengan 
pertimbangan ilmiah yang lebih memadai. Reaktivasi Pamswakarsa tidak ubahnya 
sebuah solusi praktis (baca: ecek-ecek) yang dimaksudkan untuk mengatasi 
problem kronis.
Dikhawatirkan, mirip program-program instan yang tidak terkendali 
lainnya-termasuk jaring pengamanan sosial, makan gratis di warteg, gerakan 
disiplin nasional, perizinan becak di Jakarta, pemberdayaan loper koran, dan 
sejenisnya, alih-alih bertahan dan berfungsi efektif, pengaktifan Pamswakarsa 
hanya berlangsung sesaat. Bahkan, lebih kontraproduktif lagi, setelah sekian 
banyak uang dialokasi untuk program ini, yang muncul kemudian justru ekses 
negatif berupa ancaman baru terhadap keamanan masyarakat.

Pesimisme penulis terhadap efektivitas Pamswakarsa didasarkan pada hal-hal 
sebagai berikut.
Pertama, pola kerja antara aparat keamanan (polisi) dan masyarakat dalam 
konteks pengamanan dapat ditelaah dan diprediksi dengan berpedoman pada asumsi 
'dilema keamanan'. Menurut asumsi ini, manakala masyarakat merasa kian jauhnya 
kehidupan mereka dari kondisi aman, dan pada saat yang sama polisi juga 
dianggap tidak mampu memberikan jaminan akan rasa keamanan, masyarakat akan 
menggiatkan inisiatif mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka akan rasa keamanan 
itu. Problemnya, dalam situasi di mana kewaspadaan masyarakat meningkat, aparat 
keamanan justru 'terlena' yang diikuti dengan menurunnya daya kendali mereka 
atas bidang yang sesungguhnya menjadi objek tugas mereka.


Di'ambil alih'nya tanggung jawab keamanan semacam di atas yang diduga akan 
berlangsung pascareaktivasi Pamswakarsa. Hilangnya wibawa dan sense of 
responsibility aparat polisi, sehingga membiarkan para 'pak ogah' dan 
pasukan-pasukan pengamanan parpol tetap beraksi di hadapan mereka, adalah bukti 
konkret kebenaran asumsi dilema keamanan.
Dengan demikian, kegiatan Pamswakrasa hanya dapat dioperasionalkan apabila 
kepolisian (selaku pengoordinasi program pengerahan kekuatan sipil) memiliki 
cukup kewenangan dan keberanian sekaligus konsistensi untuk menjalankan 
otoritasnya.

Kedua, tingginya antusiasme khalayak luas untuk bergabung ke dalam 
kelompok-kelompok Pamswakarsa, seperti yang marak setelah runtuhnya rezim Orde 
Baru, dapat diterjemahkan sebagai manifestasi masif atas kebutuhan akan 
kekuasaan (need for power). Kebutuhan ini baru dapat diaktualisasikan secara 
efektif jika tiap-tiap pihak mempunyai perbendaharaan pengetahuan dan 
pengalaman yang memadai. Tidak terpenuhinya persyaratan tersebut dapat menjadi 
bumerang. Studi-studi psikologi perkembangan menunjukkan bahwa banyak individu 
(khususnya remaja) yang mengalami frustrasi akibat tidak sebandingnya kebutuhan 
akan kekuasaan dengan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam mengekspresikan 
serta memenuhi kebutuhan itu.

Lebih lanjut, ketika instansi-instansi formal di bidang keamanan berupaya 
mengorganisasi mereka agar segala tindakannya tetap dalam koridor legal, 
langkah instansi-instansi itu justru dapat dipersepsi sebagai halangan bagi 
individu-individu tadi dalam 'memperoleh' pengetahuan dan pengalaman baru. 
Perilaku menyimpang pun, tak pelak, timbul sebagai bentuk respons terhadap 
'halangan-halangan' tersebut. Konkretnya adalah digunakannya dalih 'atas nama 
keamanan' sebagai rasionalisasi untuk mengamuflase tindak-tanduk abusive, baik 
vertikal maupun horizontal.

Dinamika seperti diuraikan di atas semakin potensial terjadi di Indonesia, 
karena tampaknya tidak ada persyaratan mendasar, apalagi spesifik, yang harus 
dipenuhi oleh mereka yang berminat mendirikan atau bergabung ke dalam sebuah 
kelompok Pamswakarsa. Mudah 

Re: [ppiindia] Reaktivasi Pamswakarsa, untuk Apa?

2005-06-14 Terurut Topik Mas Bagong
Jadi inget tahun 99 lagi neh...
Apa nggak sebaiknya ngaktifkan sistem siskamling dengan polisi wilayah
sebagai pembina. Inget lho, Che Guevara pernah bilang bahwa rakyat
akan mengikuti orang yang tidak pernah menyakiti mereka, artinya bahwa
sepanjang rakyat masih memiliki kenangan dan ingatan buruk mengenai
suatu program, maka program tidak akan berjalan karena tiadanya
dukungan...
Gimana setuju nggak?
DG


On 6/15/05, Ambon [EMAIL PROTECTED] wrote:
 MEDIA INDONESIA
 Rabu, 15 Juni 2005
 
 
 
 Reaktivasi Pamswakarsa, untuk Apa?
 Oleh: Reza Indragiri Amriel, alumnus Psikologi Forensik The University of 
 Melbourne
 
 
 PEMERINTAH berencana mengaktifkan kembali program pengamanan swakarsa 
 (Pamswakarsa) di seluruh daerah dengan tujuan untuk meredam meluasnya aksi 
 terorisme. ''Negara kita mau aman atau tidak?'' demikian retorika Sekjen 
 Depdagri saat menjawab pertanyaan wartawan yang waswas akan meruyaknya 
 kembali watak-watak represif ala Orde Baru (Media Indonesia, 11/6). Jelas, 
 dengan seruan semacam itu, pemerintah tengah melempar sebuah jaminan bahwa 
 keberadaan Pamswakarsa akan memberi pengaruh positif terhadap membaiknya 
 kondisi keamanan dalam negeri.
 
 Pengaktifan kembali Pamswakarsa di tengah situasi domestik yang kacau-balau, 
 pantas dikritisi. Secara teoritis, pada dasarnya, unit-unit pengamanan 
 masyarakat dapat disinergikan untuk menghasilkan kekuatan yang lebih besar 
 dan terpadu dalam rangka menghadapi berbagai gangguan kamtibmas di Tanah Air. 
 Desentralisasi kepolisian yang lebih mendekatkan polisi ke masyarakat, 
 sebagai misal, dapat diajukan sebagai formula guna menjaga agar unit-unit 
 Pamswakarsa itu tetap terkendali (Urgensi Desentralisasi Polri, Media 
 Indonesia, 1/2).
 
 Akan tetapi, rencana pemerintah untuk meningkatkan peran serta masyarakat 
 dalam bidang keamanan melalui kegiatan Pamswakarsa tampaknya tidak didukung 
 dengan pertimbangan ilmiah yang lebih memadai. Reaktivasi Pamswakarsa tidak 
 ubahnya sebuah solusi praktis (baca: ecek-ecek) yang dimaksudkan untuk 
 mengatasi problem kronis.
 Dikhawatirkan, mirip program-program instan yang tidak terkendali 
 lainnya-termasuk jaring pengamanan sosial, makan gratis di warteg, gerakan 
 disiplin nasional, perizinan becak di Jakarta, pemberdayaan loper koran, dan 
 sejenisnya, alih-alih bertahan dan berfungsi efektif, pengaktifan Pamswakarsa 
 hanya berlangsung sesaat. Bahkan, lebih kontraproduktif lagi, setelah sekian 
 banyak uang dialokasi untuk program ini, yang muncul kemudian justru ekses 
 negatif berupa ancaman baru terhadap keamanan masyarakat.
 
 Pesimisme penulis terhadap efektivitas Pamswakarsa didasarkan pada hal-hal 
 sebagai berikut.
 Pertama, pola kerja antara aparat keamanan (polisi) dan masyarakat dalam 
 konteks pengamanan dapat ditelaah dan diprediksi dengan berpedoman pada 
 asumsi 'dilema keamanan'. Menurut asumsi ini, manakala masyarakat merasa kian 
 jauhnya kehidupan mereka dari kondisi aman, dan pada saat yang sama polisi 
 juga dianggap tidak mampu memberikan jaminan akan rasa keamanan, masyarakat 
 akan menggiatkan inisiatif mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka akan rasa 
 keamanan itu. Problemnya, dalam situasi di mana kewaspadaan masyarakat 
 meningkat, aparat keamanan justru 'terlena' yang diikuti dengan menurunnya 
 daya kendali mereka atas bidang yang sesungguhnya menjadi objek tugas mereka.
 
 
 Di'ambil alih'nya tanggung jawab keamanan semacam di atas yang diduga akan 
 berlangsung pascareaktivasi Pamswakarsa. Hilangnya wibawa dan sense of 
 responsibility aparat polisi, sehingga membiarkan para 'pak ogah' dan 
 pasukan-pasukan pengamanan parpol tetap beraksi di hadapan mereka, adalah 
 bukti konkret kebenaran asumsi dilema keamanan.
 Dengan demikian, kegiatan Pamswakrasa hanya dapat dioperasionalkan apabila 
 kepolisian (selaku pengoordinasi program pengerahan kekuatan sipil) memiliki 
 cukup kewenangan dan keberanian sekaligus konsistensi untuk menjalankan 
 otoritasnya.
 
 Kedua, tingginya antusiasme khalayak luas untuk bergabung ke dalam 
 kelompok-kelompok Pamswakarsa, seperti yang marak setelah runtuhnya rezim 
 Orde Baru, dapat diterjemahkan sebagai manifestasi masif atas kebutuhan akan 
 kekuasaan (need for power). Kebutuhan ini baru dapat diaktualisasikan secara 
 efektif jika tiap-tiap pihak mempunyai perbendaharaan pengetahuan dan 
 pengalaman yang memadai. Tidak terpenuhinya persyaratan tersebut dapat 
 menjadi bumerang. Studi-studi psikologi perkembangan menunjukkan bahwa banyak 
 individu (khususnya remaja) yang mengalami frustrasi akibat tidak 
 sebandingnya kebutuhan akan kekuasaan dengan pengetahuan dan pengalaman 
 mereka dalam mengekspresikan serta memenuhi kebutuhan itu.
 
 Lebih lanjut, ketika instansi-instansi formal di bidang keamanan berupaya 
 mengorganisasi mereka agar segala tindakannya tetap dalam koridor legal, 
 langkah instansi-instansi itu justru dapat dipersepsi sebagai halangan bagi 
 individu-individu tadi dalam 'memperoleh' pengetahuan dan