http://www.sinarharapan.co.id/berita/0506/27/opi01.html
Rekayasa Sosial bagi Pembangunan Masyarakat Maritim Oleh: Leo Nababan PERILAKU suatu bangsa sangat dipengaruhi lingkungannya, sehingga setelah mendiami suatu wilayah berabad-abad, perilaku mereka akan terbentuk dengan sendirinya. Pola ini seharusnya diterapkan di Indonesia yang 3/4 luas wilayahnya laut. Nusantara pernah jaya sebagai bangsa maritime. Dalam sejarah, Kerajaan Sriwijaya (683-1030 M) atau Kerajaan Majapahit (1293-1520M) digambarkan nenek moyang kita tidak takut laut, aktif berdagang antarpulau dan benua dengan menggunakan kapal-kapal layar-salah satunya adalah phinisi - ke Cina, India dan Timur Tengah, bahkan hingga ke Madagaskar di Afrika Selatan. Itu semua hanya kebanggaan masa lalu. Selama ini kita tidak menyadari adanya "rekayasa sosial" yang dilakukan Belanda guna mengubah perilaku dan karakter bangsa Indonesia dari wawasan maritim menjadi wawasan daratan atau menjadi negara agraris. Penjajah memperkenalkan konsep yang mengerikan tentang laut, dan karenanya laut dipatrikan sebagai pemisah antar pulau dan bukannya perekat. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya pengkotakan antarsuku ala politik devide et impera. Meski Indonesia diakui dunia sebagai negara kepulauan terbesar dengan 17.508 pulau dan 81.000 km panjang garis pantai, dan terletak di kawasan strategis baik secara ekonomi maupun politik dunia, namun itu semua tak tercermin dalam pandangan hidupnya. Akibat pengaruh dan rekayasa sosial yang dilakukan secara sistematis oleh penjajah selama 350 tahun, karakter dan jati diri negara kepulauan berubah menjadi bangsa yang berorientasi daratan. Melalui rekayasa sosial tersebut, tiap pulau menjadi terpisahkan oleh laut atau selat. Jati diri bangsa bahari yang ditandai dengan mayoritas penduduknya bekerja di bidang perdagangan antarpulau, bahkan antar benua musnah setelah ada monopoli oleh armada maskapai Belanda Verrenigde Oostindische Compagnie (VOC). Terlebih dengan dikembangkannya sistem tanam paksa dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produk pertanian tanaman keras atau bagi industri-industri di Eropa, berubahlah Indonesia menjadi bangsa agraris dengan wawasan darat. Mengubah Paradigma Kini saatnya memanfaatkan momentum di era reformasi ini untuk memperbaiki visi, misi dan kebijakan pembangunan nasional demi menyejahterakan rakyat dengan tidak hanya menggunakan paradigma darat (bidang pertanian) nan tak kunjung dapat mengentaskan atau memerdekakan rakyat dari kemiskinan. Mengubah hasil rekayasa sosial buatan penjajah Belanda, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita harus memulai perubahan paradigma pembangunan dari konsep dasar. Kita harus memberikan pembelajaran kepada rakyat secara struktural maupun kultural. Bangsa Jepang, awalnya berwawasan darat, tapi kemudian mengubah diri pada masa Kaisar Meiji dengan berbagai rekayasa sosial untuk menjadi bangsa bahari dan bangsa niaga. Hasilnya, Jepang maju dan ikut menentukan perekonomian serta politik dunia. Pola ini ditiru Taiwan, Korea Selatan dan negara Asia lainnya. Wawasan dan paradigma pembangunan harus mengarah ke lautan dengan potensi sumber daya alam kelautan yang melimpah sepanjang tahun. Tidak sepatutnya kita hanya melihat dan membanggakan kekayaan laut, namun hasilnya dinikmati bangsa lain baik secara legal maupun ilegal. Pembangunan harus diarahkan demi pemanfaatkan potensi laut dan pantai seperti ikan, pertambangan, wisata bahari maupun berbagai budi daya tanaman dan ikan. Dengan perubahan paradigma dan wawasan daratan ke paradigma kelautan dan wawasan maritim, pengembangan industri nasional harus diarahkan untuk mampu mengelola sumber daya alam kelautan. Hal yang sangat penting dan mendesak adalah mengubah para nelayan tradisional yang menangkap ikan dengan menggunakan perahu di sepanjang perairan dangkal menjadi pengguna kapal ikan yang mampu menjelajahi ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif). Mereka tidak boleh terus menjadi buruh atau kuli. Janganlah kekayaan laut kita terus dijarah nelayan negara lain seenaknya. Sejumlah Rekomendasi Untuk memanfaatkan sumber daya alam kelautan itu pemerintah dapat melakukan beberapa program yang didukung dunia perbankan, bahkan pinjaman lunak dari luar negeri (bukan mengundang investor asing), guna mengembangkan industri maritim: Pertama, membuat galangan kapal dengan kapasitas memproduksi kapal ikan yang mampu menjelajah perairan ZEE (50-100 gt), terutama jenis komando, long line, purse seine dan kapal pukat. Kedua, mendirikan pabrik pengolahan hasil tangkapan laut mulai dari pembekuan, pengalengan, dan pengeringan sampai pengolahan makanan dari bahan ikan dan limbah (untuk pupuk). Ketiga, mendirikan pabrik pengolahan rumput laut, paling tidak di daerah yang sudah dikembangkan budi daya rumput laut secara besar-besaran. Keempat, mendirikan industri kerajinan mutiara, agar Indonesia bukan sekadar menjadi penghasil mutiara melainkan penghasil perhiasan mutiara. Kelima, mendirikan industri garam agar Indonesia yang terletak di sepanjang khatulistiwa tidak lagi mengimpornya. Keenam, membangun lokasi wisata bahari, termasuk hunian musim panas dan pengadaan kapal-kapal pesiar. Kredit untuk pembelian kapal ikan bagi kelompok nelayan di bawah koordinasi pemerintah atau koperasi akan langsung membuat mereka mampu membayar kredit secara tetap. Perbankan jangan terus mengategorikan penangkapan ikan sebagai usaha yang berisiko tinggi. Selain itu, haruslah direncanakan dan diselenggarakan kampanye mengubah visi dan paradigma pembangunan menjadi visi kelautan; sehingga dapat mengembalikan jati diri bangsa sebagai bangsa bahari dan bangsa niaga. Itu semua agar selaras dengan kondisi lingkungan sebagai negara kepulauan. Kita harus mampu mengolah sumber daya laut yang juga bisa hasilnya harus menjadi alternatif guna menanggulangi penggangguran dan mengentaskan kemiskinan. Suatu rekayasa sosial dapat mengembalikan ke watak bangsa bahari yang sesungguhnya. Ini semua sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan para elite politik, elite ekonomi dan para penyelenggara negara. Kelautan janganlah sekadar salah satu bidang yang menjadi kewajiban, fungsi, tugas dan tanggung jawab salah satu menteri atau departemen. Ia harus menjadi landasan dan visi pembangunan nasional. Kelautan harus masuk dalam kebijakan pembangunan nasional. Penulis adalah pengurus di DPP Partai Golkar. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/