http://cetak.kompas.com/read/2010/08/21/05034835/tak.ada.laci.di.meja.grameen.bank


PRINSIP HIDUP
Tak Ada Laci di Meja Grameen Bank

Sabtu, 21 Agustus 2010 | 05:03 WIB

Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank, kini tinggal di ruangan di kompleks 
kantornya di Dhaka, ibu kota Banglades. Sebuah ruangan di lantai dasar gedung 
Kantor Grameen Bank disediakan untuk Yunus sehingga ia segera bisa mengetahui 
persoalan perusahaan.

Berdasarkan penuturan General Manager Grameen Bank Muhammad Shahjahan yang 
tinggal di lantai tiga gedung tersebut, Yunus senantiasa menempatkan diri bukan 
sebagai pendiri, tetapi pegawai biasa. Di ruangan kantor Yunus di kota Dhaka, 
Banglades, barang-barang luks pun tak ditemukan.

Ditemui di Singapura, pertengahan Juni lalu, Shahjahan menjelaskan, tak ada 
pendingin udara meski hawa di sana luar biasa panas. Suhu di Dhaka bisa 
mencapai 
38 derajat Celsius, lebih panas dari Jakarta yang sekitar 33 derajat Celsius. 
Hanya dipasang kipas angin sekadar untuk pengusir gerah.

”Selain efisiensi energi, memang sudah kebiasaan Yunus sejak dulu saat merintis 
Grameen Bank yang tidak menggunakan pendingin udara,” papar Shahjahan. Kondisi 
jauh dari nyaman itu pula yang senantiasa mengingatkan bahwa pegawai Grameen 
Bank di lapangan pun bekerja dengan peluh bercucuran.

Di Kantor Grameen Bank, tak ada meja bermutu berukir indah. Masing-masing 
pegawai mendapatkan meja berukuran sekitar satu meter persegi. Yunus juga 
menggunakan meja itu. Meja kayu yang biasa digunakan masyarakat kebanyakan di 
Banglades.

”Tak ada laci di meja kami. Sebab, laci bisa membuat pegawai memasukkan 
dokumen. 
Mereka jadi lupa pekerjaan yang harus diselesaikannya,” kata Shahjahan.

Sebagai pendiri Grameen Bank yang namanya sudah sangat menginternasional, 
kebersahajaan Yunus dari segi pendapatan pun benar-benar membuat tak habis 
pikir. Bagi pria sekaliber penerima Nobel Perdamaian tahun 2006 itu, setiap 
bulan ia hanya menerima gaji sebesar 650 dollar AS.

Pendapatan itu pun masih harus dipotong sewa tempat tinggal Yunus di Gedung 
Grameen Bank. Meski pendiri Grameen Bank, tak ada hak istimewa untuk Yunus 
dikecualikan dari pembayaran sewa.

Setelah dipotong sewa, jumlah yang diterima hanya sekitar 400 dollar AS. Jumlah 
itu bila dikonversi dalam rupiah kurang dari Rp 4 juta. Sungguh kontras dengan 
gaji bankir nasional yang bisa mencapai puluhan, bahkan ratusan juta rupiah per 
bulan.

Penghasilan Yunus dengan pegawainya yang tak terlalu jauh pun membuat jurang 
perbedaan pendapatan nyaris tak tercipta. Gaji manajer keliling Grameen Bank, 
misalnya, sebesar 175 dollar AS per bulan. Saat ditanya kecil atau besarnya 
gaji 
di Grameen Bank untuk ukuran Banglades, Shahjahan menjawab, ”Yang penting 
pegawai merasa hidup berkecukupan.”

Mobil milik Yunus tidak mewah. Ia hanya punya mikrobus yang dipilih lantaran 
efisiensi bahwa mobil tersebut bisa memuat lebih banyak penumpang. Sulit 
membayangkan jika mobil pendiri bank besar tak dilengkapi pendingin udara, 
tetapi itulah kenyataan.Mobil sudah digunakan selama delapan tahun terakhir dan 
Yunus tak punya keinginan untuk menggantinya. Ia juga belum berencana membeli 
mobil baru jika mikrobusnya nanti sudah berusia 20 tahun. (BAY)



http://cetak.kompas.com/read/2010/08/21/05032191/pesan.dari.banglades...

PERBANKAN
Pesan dari Banglades...

Sabtu, 21 Agustus 2010 | 05:03 WIB

KOMPAS/DWI BAYU RADIUS

Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Dimitri Mahayana (kiri) dan 
General Manager Grameen Bank Muhammad Shahjahan berdialog di hadapan peserta 
lokakarya tentang pembiayaan usaha mikro dan teknologi informasi di Singapura, 
Juni 2010.

Pria berumur itu hadir dengan busana amat sederhana. Kemeja bermotif 
kotak-kotak 
dipadu rompi oranye pudar. Bahkan, pintalannya kasar dengan sebagian serat 
benang yang terlihat menyembul. Namun, saat memperkenalkan diri, profesi pria 
itu sungguh mengejutkan dan bertolak belakang dengan penampilannya: General 
Manager Grameen Bank dan direktur tujuh unit usaha kelompok Grameen asal 
Banglades.

Ia menyebutkan namanya. Muhammad Shahjahan (54), demikian pria ramah itu 
langsung menggenggam hangat jemari tamu-tamu yang ditemuinya dalam lokakarya 
bertema ”Microfinance Business and Information Technology” yang diselenggarakan 
Lembaga Riset Telematika Sharing Vision di Royal Plaza, Singapura, pertengahan 
Juni 2010.

Shahjahan melayani pertanyaan-pertanyaan para peserta lokakarya dengan sabar. 
Suaranya parau. Tampak sekali ia letih karena pesawat menuju Singapura baru 
bertolak dari Banglades dini hari. Nyaris tak tidur, Shahjahan masih harus 
melanjutkan hari dengan menyampaikan presentasi tentang program Grameen Bank.

Grameen Bank sangat terkenal di dunia karena pendirinya, Muhammad Yunus, 
menerima Nobel Perdamaian pada tahun 2006. Shahjahan adalah orang kedua di 
kelompok usaha Grameen setelah Muhammad Yunus.

Semangat

Semangat meski tak lagi muda serta bersahajanya penampilan Shahjahan sungguh 
menggambarkan tekad para pegawai Grameen Bank untuk memberantas kemiskinan di 
Banglades. Dalam penuturannya selama hampir empat jam tanpa henti di hadapan 
para peserta lokakarya yang terdiri dari manajemen level atas bank pembangunan 
daerah dan perbankan nasional itu, Shahjahan, misalnya, menjelaskan bahwa 
manajer Grameen Bank harus berkeliling setiap hari dengan sepeda untuk 
mengambil 
cicilan dari nasabah.

Dalam sehari, manajer Grameen Bank bisa bekerja selama 10 jam yang tentunya 
membutuhkan ketahanan fisik prima. Berbeda dengan manajer bank pada umumnya 
yang 
hanya bertugas di balik meja mengawasi pegawainya, manajer Grameen Bank 
mendatangi para debitor yang umumnya miskin itu. Kadang, mereka bekerja mulai 
fajar menyingsing hingga senja menjelang.

”Karena itu, bukan orang miskin yang datang ke bank, melainkan Grameen Bank 
yang 
datang ke rumah mereka,” ujar Shahjahan.

Jika jaraknya jauh, manajer keliling Grameen Bank tak menumpang kendaraan 
bermotor. Bagi mereka, sepeda sudah cukup. Di Banglades, para manajer ini 
terkenal dengan istilah unik, yaitu bicycle bankers atau para bankir bersepeda. 
Sikap independen adalah perilaku manajer yang wajib dijaga. Mereka tak boleh 
tergoda untuk menerima pemberian dari debitor, bahkan air minum sekalipun!

”Jadi, semangat untuk bekerja sangat keras bukan karena motif kapitalisme. 
Manajer kami merasa bahagia jika masyarakat miskin bisa hidup lebih baik,” 
paparnya.

Grameen Bank memiliki sekitar 27.000 pegawai dan 16.000 orang di antaranya 
adalah manajer keliling. Manajer keliling juga membina dan memberi saran kepada 
debitor miskin yang kebanyakan buta mengenai pengelolaan uang. Setiap manajer 
bertanggung jawab atas 600 debitor yang harus dikunjungi setiap minggu. Debitor 
Grameen Bank mencakup kelas sosial lapisan bawah, bahkan pengemis sekalipun.

”Tak ada sebab yang membangkitkan motivasi manajer begitu besar untuk bekerja 
keras selain ingin melihat debitornya lebih sejahtera,” kata Shahjahan.

Busana Shahjahan yang juga lebih sederhana dibandingkan dengan para peserta 
lokakarya lain juga merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat miskin di 
Banglades. Orang-orang itu kehilangan pekerjaannya karena modernisasi 
perusahaan 
yang menggunakan mesin-mesin canggih.

Mereka yang tak mampu mengungguli produktivitas mesin-mesin kemudian tersingkir 
dari pabriknya. Grameen Products, salah satu unit dari kelompok usaha Grameen, 
kemudian memberdayakan warga sangat miskin yang hanya memiliki kemampuan 
menjahit dengan tangan tersebut.

Baju yang mereka buat disebut Grameen Check, yaitu berupa kemeja lengan panjang 
atau pendek yang bermotifkan kotak-kotak. Kini, sekitar 50.000 orang di 
Banglades bekerja membuat baju itu.

Miskin

Masyarakat miskin pembuat Grameen Check sudah dipekerjakan sejak lebih dari 20 
tahun lalu. Grameen Check tak hanya populer di Banglades, tetapi juga di 
negara-negara tetangganya. Harga Grameen Check hanya sekitar Rp 40.000 per 
potong.

”Pegawai kelompok usaha Grameen memang ingin dan selalu berusaha mengenakan 
baju 
ini. Bahan baju dari katun biasa, yang penting kami nyaman memakainya,” 
tuturnya. Baju itu cepat menyerap keringat sehingga amat cocok dengan cuaca 
panas Banglades.

Hebatnya, kebanyakan Grameen Check dibuat di pedesaan sehingga negara tak perlu 
dibebani masalah urbanisasi. Pekerja juga tak perlu pusing-pusing menjual baju 
karena Grameen Products yang akan memasarkannya.

Grameen Products memberikan bahan-bahan pakaian kepada masyarakat miskin bagi 
yang berminat dan mereka bisa menjahitnya secara manual. Sementara, Grameen 
Bank 
menawarkan kredit untuk mereka yang ingin membeli mesin jahit.

”Sistem yang terintegrasi memudahkan kami untuk mengentaskan warga Banglades 
dari kemiskinan dengan lebih teratur,” ujar Shahjahan. Populasi Banglades 
sebanyak 150 juta orang dan separuhnya hidup di bawah garis kemiskinan.

Grameen Check bisa dianggap sebagai representasi negara berkembang seperti 
Banglades serta ciri khas pegawai kelompok usaha Grameen. ”Kami ingin, jika 
mengenakan baju itu, orang-orang akan berpikir bahwa mereka melihat pegawai 
Grameen,” tuturnya.

Shahjahan menjelaskan, kelompok usaha Grameen yang terdiri dari 27 perusahaan 
merupakan pengembangan bisnis dari Grameen Bank. Semua perusahaan itu 
mempekerjakan sekitar 60.000 pegawai dan 27.000 orang di antaranya adalah 
karyawan Grameen Bank. Grameen Bank berdiri sendiri tanpa menyalurkan kredit 
kepada unit usaha lain untuk menjaga sikap independen. Jika membutuhkan dana, 
manajemen setiap unit usaha harus mencarinya sendiri.

Hingga saat ini, sudah 8,2 juta warga Banglades yang menerima pinjaman dari 
Grameen Bank. Grameen Bank yang kini memiliki 2.500 cabang didirikan secara 
resmi pada tahun 1983. Akan tetapi, sebelumnya, Muhammad Yunus, pendiri Grameen 
Bank, sudah memberikan pinjaman sejak tahun 1976. Nilai total pinjaman yang 
sudah disalurkan mencapai 9,31 miliar dollar AS. Tingkat pengembalian kredit 
Grameen Bank mencapai 97 persen. Hebatnya, pinjaman untuk masyarakat miskin 
diterapkan tanpa agunan.

”Masyarakat miskin tak akan mampu meningkatkan taraf hidupnya jika tidak 
mendapatkan bantuan keuangan. Grameen Bank menganggap bahwa kredit merupakan 
hak 
asasi manusia untuk kaum papa,” tutur Shahjahan. Sebagian besar peminjam adalah 
perempuan yang lebih berorientasi pada keluarga. Mereka lebih dekat dengan 
anak-anaknya. Berbeda dengan para bapak di Banglades yang bisa meninggalkan 
keluarganya begitu saja bahkan menikah lagi, perempuan tidak mungkin melakukan 
itu.

(DWI BAYU RADIUS)


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke