sebuah analisis yg CERDAS sekali dari media sektarian
dibawah ini...
silahkan menikmati...
Bangkitnya Komunis Berjubah Islam
Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Republika, 2 Juni 2006
Kini penganut paham komunis di Indonesia, semakin berani
tampil vulgar. Namun,
tentu saja, mereka tidak punya nyali tampil telanjang sambil
mengusung ideologi
komunis, karena mereka tahu, akan segera dilibas oleh
kekuatan Islam. Mereka
menggunakan siasat lain, yaitu melakukan pola mimikri
(menyamar) dengan
mengenakan jubah Islam.
Kader-kader neo-PKI banyak yang masuk ke perguruan tinggi
Islam semacam IAIN
atau UIN. Dari dalam, mereka mengacak-acak Islam,
melakukan pembusukan ideologi
dengan dalih liberalisasi dan pembaharuan pemikiran Islam.
Padahal, sesungguhnya
mereka membawa misi de-Islamisasi (pendangkalan aqidah)
dan pemurtadan. Yang
terjebak ke dalam barisan ini, tidak saja mereka yang berstatus
mahasiswa,
tetapi juga dosen bahkan pimpinan PT tersebut.
Oleh karena itu, wajar saja bila dari perguruan tinggi Islam
seperti itu lahir
seruan untuk "bertakbir" dengan lafaz anjinghu akbar dan
berbagai kesesatan
lainnya seperti pernyataan 'kawasan bebas tuhan' dan 'tuhan
telah mati'. Bahkan,
ada dosen yang karena berpendirian bahwa Alquran (secara
fisik) adalah makhluk,
maka tidak apa-apa bila diinjak-injak. Lafaz Allah yang ditulisnya
sendiri di
atas secarik kertas, kemudian diinjak-injak adalah bukan
apa-apa.
Jika pelecehan demikian dilakukan terhadap kalam Allah,
apakah dosen itu juga
berani menginjak-injak bendera merah putih, yang juga makhluk
ciptaan makhluk,
namun diposisikan sebagai lambang negara? Pasti si dosen
akan dicokok aparat
berwenang. Apakah dosen itu juga berani menuliskan nama
presiden RI di atas
secarik kertas, kemudian menginjak-injaknya di depan umum?
Pasti ia tidak
berani, karena selain dipecat ia juga akan dibekuk aparat
dengan tuduhan
subversi atau teroris.
Neo-PKI tidak saja masuk ke dalam Perguruan Tinggi Islam,
bahkan sudah sejak
lama mereka menyusup ke dalam ormas Islam, dengan tampil
sebagai generasi muda
Islam yang melawan kejumudan (kebekuan) berpikir,
mengusung liberalisme, dan
inklusifisme. Mereka tidak akan berani tampil dengan wajah
aslinya, sehingga
umat Islam sering terkecoh, dan tidak secara langsung
melibasnya. Bisa karena
alasan aqidah, sesama Muslim dilarang saling memusuhi.
Atau, alasan politis,
tidaklah etis bertengkar sesama ormas Islam. Selain
berpenampilan sebagai
pemikir, mereka juga masuk ke laskar-laskar ormas Islam.
Maka, tidaklah mengherankan bila kemudian dari ormas Islam
seperti itu, mencuat
seruan dan tuntutan untuk membubarkan lembaga Islam
lainnya. Ini, mengingatkan
kita pada gaya PKI di zaman Soekarno dulu. Ketika itu, PKI
sangat gencar
mendesak Bung Karno untuk membubarkan Masyumi dan HMI
yang dianggapnya tidak
sejalan dengan jiwa revolusioner Bung Karno.
Aliansi dan konspirasi
Selain melakukan mimikri dengan mengenakan jubah Islam,
mereka juga membangun
aliansi dan konspirasi dengan tokoh atau elemen yang
mengaku Islam, seperti
Islam liberal, Islam moderat, maupun Islam warna-warni. Tema
kebencian terhadap
Islam dan umat Islam, disebarkan melalui cara penertrasi
gerakan, termasuk
melakukan hasutan dan adu domba di antara umat Islam.
Terhadap gerakan yang secara ideologis memiliki identitas
Islam mereka beri
label fundamentalis, Islam garis keras, dan yang paling baru
preman berjubah.
Sekalipun mereka berusaha menutupi identitas aslinya, dengan
bersembunyi di
balik jubah Islam, namun ciri-cirinya mudah dikenali, karena
mereka tampil
dengan gaya dan format lama, persis gaya PKI di masa orde
lama.
Istilah preman berjubah pertamakali dipopulerkan Ahmad Syafii
Maarif, dalam
salah satu stasiun TV dalam rangka memperingati sewindu
reformasi. Hadir dalam
dialog tersebut antara lain Akbar Tanjung, Wiranto, Buyung
Nasution. Ketika itu
Syafii mengatakan --kalimat ini tidak terlalu persis: "Pada 2030
nanti Pancasila
sebagai karya brilian Bung Karno harus sukses diamalkan,
karena sekarang
penentang Pancasila sudah tidak ada lagi setelah para preman
berjubah kehilangan
energi".
Bila istilah ini dilabelkan pada gerakan Islam yang bertujuan
mengamalkan
syariat Islam, tegas memberantas kemungkaran, jelas bukan
ucapan manusia
beradab. Sebab, para tokoh pejuang mengusir penjajah
Belanda seperti Pangeran
Diponegoro, Pangeran Antasari, Pangeran Hasanuddin, tampil
mengenakan sorban dan
jubah. Begitu pula Imam Bonjol, Syeikh Ahmad Syurkati, Teuku
Umar, KH Syeikh
Hasyim Asyari, mereka semua berpakaian jubah. Jangan lupa,
Panglima Besar
Soedirman selama masa gerilya mengenakan overcoat yang
oleh pengikutnya disebut
jubah. Nah, bagaimana Ahmad Syafi Maarif menilai dan
memposisikan orang besar
seperti itu?
Contoh kasus
Sikap biadab yang sama, ternyata diwarisi juga oleh seseorang
yang mengklaim
diri kelompok Aliansi Anti Kekerasan, Taufiq, dan artis Rieke
Dyah Pitaloka.
Dalam dialog di Metro TV de