Aku hanya melihat itikat baik dari sholat dengan 2 bahasa ini. Ibuku,
walaupun belum begitu lama melampaui setengah abad umurnya, selalu
merasa kesulitan untuk melafalkan surat-surat pendek dan bacaan-bacaan
sholat lainnya. Tapi beliau tetap saja sholat 5 reka'at dan berdoa
sesuai dengan apa yang mampu beliau lafalkan. Pada awalnya ada
ketakutan salah dalam melakukannya. Beberapa kali ayahku memberikan
tuntunan, demikian juga aku sabagai anak. Dan kepada beliau aku
mengatakan bahwa Allah Maha Tahu, dan jika niat kita memang baik, tentu
Allah akan mengerti asal kita berusaha.
Sholat dalam 2 bahasa mengantarkan beberapa orang pada pemahaman
tersendiri mengenai apa yang dilafalkan dalam bahasa arab yang kemudian
diartikan dalam bahasa Indonesia. Apa salahnya disini? Apa yang sesat,
toh masih dengan bahasa arab walau kemudian selanjutnya bacaannya
adalah bahasa Indonesia.
Seorang teman yang sedang bersekolah di Belanda mengatakan bahwa di
Iran, mereka sholat 3 waktu. Dan yang aku ketahui disini juga banyak
yang melakukan sendiri.
Lalu bagaimana dengan penafsiran terhadap Al-Qur'an yang berbeda-beda.
Apakah tidak mungkin sejak jaman Nabi Muhhamad SAW menerima wahyu
sampai pada perjalanannya di jaman ini, ada banyak pergeseran. Karena
seperti yang kita ketahui bahwa manusia mempunyai keterbatasan, jadi
bisa saja ada hal yang "kurang tepat" ditafsirkan yang mungkin terjadi
dan atau terus terjadi sampai kemudian menjadi berbeda. Dan siapa yang
tahu "kebenaran yang sebenarnya" tersebut? Hanya Allah...ya hanya Allah
yang dapat menilai apakah itu benar atau salah, apakah itu dosa atau
tidak berdosa dan berapa ukuran dosanya. Kita hanya berusaha untuk
melakukan suatu yang kita yakini benar, dan ketika kita merasakan ada
yang tidak beres karena menyakiti orang lain atau merugikan orang lain,
kita akan berusaha untuk tidak melakukan hal tersebut.
Agama seseorang tidak bisa menentukan iman seseorang, dan sholat yang
merupakan salah satu "ritual" yang dilakukan dalam beragama, juga tidak
bisa menentukan apakah orang tersebut beriman atau tidak. Jadi kenapa
dirisaukan sholat dengan 2 bahasa kalau memang itu membawa kebaikan
buat orang-orang tersebut. Kenapa orang tidak sibuk saja mengurusi
orang-orang yang korupsi, membantu yang terkena bencana dan kesusahan.
SK Bupati Malang tidak akan ada gunanya bagi orang yang meyakini bahwa
apa yang dilakukannya adalah benar. Pasti ada proses yang membawa
sholat dalam 2 bahasa tersebut dilakukan oleh Kyai dari Malang tersebut.
Mending Bupati Malang ngurusin hal-hal yang mampu mensejahterakan
rakyatnya dan membrantas korupsi yang melanda di seluruh lapisan bangsa
ini.
bye
SK
> Pemberitaan pers kadang-kadang agak nakal juga, memakai bahasa Arab
> dan Indonesia, dibilang pakai bahasa Indonesia (saja). Yang namanya
> Ponpes itu, santrinya tetapnya hanya 20 orang
>
> Eniwe, jelas sekali bahwa salat---mulai dari waktu-waktu
pelaksanaannya,
> cara bersuci, bacaan dan bahasa yang digunakan, gerakan, urut-urutan,
> jumlah rakaat harus mengacu kepada contoh dari Nabi saw, seperti
sabda
> beliau yang masyhur itu: salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku
> salat. Dan itulah yang dipegang ummat Islam sejak zaman Nabi sampai
> saat ini oleh mayoritas kaum muslimin di manapun di belahan bumi ini
> suni, syiah dan ahmadi.
>
> Karena itu pemandangan dari jendela pada lantai-lantai teratas Hotel
> Hilton atau Darut Tauhid ke Masjidil Haram di Mekah pada salat-salat
> wajib pada musim haji atau di bulan Ramadhan, di mana jemaah salat
bisa
> mencapai 1,5 juta orang yang luber sampai ke jalan-jalan di sekitar
> Masjid, semuanya melingkar menghadap ke arah Kabah yang berdiri
kokoh
> di pelataran terbuka di tengah masjid, merupakan pemandangan yang
sangat
> fantastis. Dengan dipimpin seorang imam, seluruh jemaah apapun
jabatan
> dan pangkatnya tidak perduli raja atau presiden, apapun bangsanya dan
> warna kulitnya, lelaki atau perempuan, sejak takbiratul ihram,
berdiri,
> rukuk, sujud, duduk, berdiri lagi, dst..dst... sampai dengan
pembacaan
> ucapan salam, bergerak serempak dengan tertib.
>
> Hal itu pula yang menyebabkan seorang muslim Sunni yang bebas
prasangka,
> tidak akan mempunyai hambatan untuk ikut salat berjamah di masjid
yang
> dibangun oleh kaum muslimin Syiah dan Ahmadi atau sebaliknya.
>
> Bayangkan apa yang terjadi kalau setiap muslim salat dengan versinya
> sendiri-sendiri.
>
> Lalu, apakah yang diajarkan Ustad KH Muhammad Yusman Roy di Ponpes
> I'tikaf, Lawang, Malang, yang membaca lafal salat---yang dengan jujur
> dikatakan sang ustad merupakan kreativitasnya---dengan menggunakan
2
> bahasa itu menyimpang dari sunah Nabi? Tidak sukar untuk menjawabnya,
> karena ada salah satu ketentuan dasar dalam syariat: untuk hal yang
> bersifat ritual/ubudiyah dilarang melakukan kecuali yang disuruh,
> sedangkan untuk hal yang bersifat sosial/muamalah semua boleh kecuali
> yang dilarang.
>
> Dengan kata l