Re: [ppiindia] Sikap menolak Muslim Bolaang-Mongondow dan Manado terhadap fatwa MUI

2005-08-11 Thread rahardjo mustadjab
Pakalayan pakalawiran (betul ??),

Pengikut Pangeran Diponegoro betah dan diterima baik
oleh masyarakat Minahasa yang beragama Nasrani, mereka
beranak pinak dengan damai disana.  Salah satu dari
mereka adalah Hidayat Atjeh, kawan baik saya.  Sampai
beberapa tahun lalu ada tradisi dimana masyarakat ikut
menyumbang keringat mendirikan masjid, begitu pula
sebaliknya muslim Minahasa membantu mendirikan gereja.
Tetapi Nyonya Rembet, kawanua tetangga saya, bilang
bahwa tradisi itu sekarang luntur gara-gara ulah
fanatik muslim dari luar daerah.  Tak heran membaca
berita dibawah bahwa wakil PAN dan pimpinan PMII (bagi
yang belum tahu ini kumpulan mahasiswa NU) tegas
menolak fatwa MUI yang mengharamkan Presiden dan ummat
Islam menghadiri pesta Natal.

Salam,
RM

--- Danardono HADINOTO <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Bupati Bolmong Tolak Fatwa MUI
> 
> Wilayah Bolmong yang luasnya 54 persen dari luas
> wilayah Sulut kerap disebut Indonesia Mini.
> Pasalnya, 400 ribu penduduknya memiliki beragam
> agama, suku dan budaya, bahkan boleh dibilang semua
> suku dan agama di republik ini dapat ditemukan di
> Bumi Totabuan. Karena itu, sosok pemimpin pun harus
> bisa diterima oleh semua umat.
> 
> Nah, terkait fatwa MUI tentang pengharaman doa
> bersama, di mana umat Muslim diharamkan mengikuti
> acara natalan atau kegiatan keagamaan lainnya dari
> non-Muslim, Bupati Bolmong Dra Hj Marlina Moha
> Siahaan (MMS) tentu saja menolak, apalagi bila fatwa
> dipaksakan untuk diberlakukan di Bolmong.
> 
> Adapun alasan utama MMS, bahwa dirinya adalah
> pemimpin seluruh rakyat Bolmong, bukan hanya
> memimpin satu agama atau golongan tertentu. Di mana
> dia selalu dituntut untuk bisa berkomunikasi
> langsung dengan rakyat yang dipimpinnya, bukan
> melulu diwakilkan saja. “Bupati adalah milik semua
> rakyat Bolmong tanpa pandang
> bulu, agama, golongan maupun suku mana pun.
> Sehubungan dengan fatwa MUI tersebut, sepertinya
> belum tepat untuk diterapkan di Bolmong. Intinya,
> bupati tetap sah kalau menghadiri dan turut
> mengikuti acara-acara keagamaan dari non-Muslim,”
> kata MMS sebagaimana dikutip juru bicaranya Ir Yudha
> Rantung,kemarin siang (09/08).
> 
> Lagi pula, MMS memang selalu diundang oleh rakyatnya
> dari non-Muslim untuk menghadiri seremoni-seremoni
> keagamaan, di mana pada kesempatan itu MMS selalu
> pula didaulat untuk menyampaikan kata-kata sambutan.
> Sehingga bisa dibayangkan betapa besar kekecewaan
> rakyat, ketika menyadari kalau kata-kata sambutan
> MMS selaku bupati hanya diwakilkan saja kepada
> bawahan.
> 
> “Selama ini ibu bupati selalu menghadiri dan
> mengikuti acara-acara seremonial keagamaan dari
> non-Muslim, misalnya natalan. Beliau diberikan
> kesempatan untuk menyampaikan kata-kata sambutan.
> Kalau pun pada saat acara itu dilangsungkan ibadah,
> bukannya bupati kita langsung beranjak dari
> kursinya, melainkan tetap di tempat namun bersikap
> pasif selama ibadah berlangsung. Itu kan sikap
> positif MMS
> untuk menghormati umat dari agama lain,” tambah
> Rantung lagi.
> 
> Di sisi lain, gaung penolakan terhadap fatwa MUI
> yang mengharamkan umat Islam menghadiri natalan atau
> kegiatan keagamaan dari non-Muslim, disampaikan
> beramai-ramai oleh sejumlah tokoh Bol-mong. Mereka
> menilai, pada hakikatnya negara ini bukan negara
> agama, bukan milik satu agama saja, melainkan milik
> dari seluruh rakyat yang diketahui memiliki
> keanekaragaman agama, suku dan budaya.
> Ketua Fraksi PAN, Drs Jemmy Lantong bersama
> anggotanya Rusli Tungkagi, berikut Ketua F-PDIP
> Christofel Popo Buhang bersama rekannya Herman
> Kembuan, serta Ketua F-PG Mansyur Sugeha
> menyampaikan hal itu dalam perbincangan serius di
> kantor
> dewan kemarin siang, usai membaca headline yang
> terpampang di etalase harian ini, edisi Selasa
> kemarin.
> 
> “Presiden kan bukan pemimpin satu agama saja, tapi
> memimpin semua rakyatIndonesia yang memiliki agama,
> suku maupun budaya yang berbeda. Jadi kalau MUI
> mengeluarkan fatwa haram bagi presiden maupun
> seluruh umat Islam untuk menghadiri acara keagaman
> umat lain, itu sama saja dengan pemasungan terhadap
> umat Muslim sendiri dalam bersosialisasi dengan
> masyarakat sekitar. 
> Jadi saya sendiri sebagai orang Islam tidak bisa
> menerima fatwa itu,” sembur Herman Kembuan, langsung
> diaminkan teman-temannya. “Kita harus menyadari
> bahwa negara masih memegang asas Bhinneka Tunggal
> Ika, atau berbeda-beda tapi tetap satu.
> Jadi kami sarankan sebaiknya MUI tidak terburu-buru
> me-ngeluarkan fatwa haram tersebut,” sambung Popo.
> 
> Senada dikatakan juga oleh Hi Mansyur Sugeha BSc,
> yang lebih memfokuskan penilaiannya pada kerukunan
> antarumat beragama dan kerukunan antarumat yang
> berbeda agama. Ketika datang lebaran, kata Ketua
> F-PG ini yang juga dikenal sebagai sesepuh rakyat
> Bolmong, umat non-Muslim baik dari Kristen, Hindu
> dan Budha berkenan turun merayakan dan mengucapkan
> selamat atas hari kemenangan umat
> Islam itu, bahkan mereka juga tidak segan-segan
> datang be

Ant: Re: [ppiindia] Sikap menolak Muslim Bolaang-Mongondow dan Manado terhadap fatwa MUI

2005-08-11 Thread Danardono HADINOTO
Terimakasih mas. Pakatuan pakalaweran..
 
Setiap saya ke Minahasa mas, saya nyekar ke makam Kiai Mojo, walau saya 
Protestant. Saya sadar beliau berjuang bersama pangeran Diponegoro, dan seorang 
yang masih leluhur saya, yakni Sentot Alibasa (dari keluarga pangeran 
Prawiradirja ke III, adipati Madiun). Pangeran Sentot dibuang dan dimakamkan di 
Bengkulu, dan saya belum sempat kesana.
 
Juru kunci makam ini selalu menemani saya, dan menerangkan, dalam hati mereka 
bersemayam budaya Jawa yang islami dan dalam tubuh mereka mengalir kental darah 
Minahasa dari ibu ibu mereka.
 
Di tanah Minahasa, mereka semua akan bangun dan menyerang siapapun yang 
mengancam tanah mereka dari luar, bersama sama, Kristen dan Islam, Buddha dan 
Tridharma. Bagi mereka, rasa satu tanah dan satu leluhur lebih penting dari 
kefanatikan agama. Walau mereka dalam tiap agama yang mereka anut sangat kaffah.
 
Inilah contoh kebangsaan yang murni. Tidak seperti ditanah kita mas, di tanah 
Jawa.
 
Salam
 
danardono
 
 


rahardjo mustadjab <[EMAIL PROTECTED]> schrieb:
Pakalayan pakalawiran (betul ??),

Pengikut Pangeran Diponegoro betah dan diterima baik
oleh masyarakat Minahasa yang beragama Nasrani, mereka
beranak pinak dengan damai disana.  Salah satu dari
mereka adalah Hidayat Atjeh, kawan baik saya.  Sampai
beberapa tahun lalu ada tradisi dimana masyarakat ikut
menyumbang keringat mendirikan masjid, begitu pula
sebaliknya muslim Minahasa membantu mendirikan gereja.
Tetapi Nyonya Rembet, kawanua tetangga saya, bilang
bahwa tradisi itu sekarang luntur gara-gara ulah
fanatik muslim dari luar daerah.  Tak heran membaca
berita dibawah bahwa wakil PAN dan pimpinan PMII (bagi
yang belum tahu ini kumpulan mahasiswa NU) tegas
menolak fatwa MUI yang mengharamkan Presiden dan ummat
Islam menghadiri pesta Natal.

Salam,
RM

--- Danardono HADINOTO <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Bupati Bolmong Tolak Fatwa MUI
> 
> Wilayah Bolmong yang luasnya 54 persen dari luas
> wilayah Sulut kerap disebut Indonesia Mini.
> Pasalnya, 400 ribu penduduknya memiliki beragam
> agama, suku dan budaya, bahkan boleh dibilang semua
> suku dan agama di republik ini dapat ditemukan di
> Bumi Totabuan. Karena itu, sosok pemimpin pun harus
> bisa diterima oleh semua umat.
> 
> Nah, terkait fatwa MUI tentang pengharaman doa
> bersama, di mana umat Muslim diharamkan mengikuti
> acara natalan atau kegiatan keagamaan lainnya dari
> non-Muslim, Bupati Bolmong Dra Hj Marlina Moha
> Siahaan (MMS) tentu saja menolak, apalagi bila fatwa
> dipaksakan untuk diberlakukan di Bolmong.
> 
> Adapun alasan utama MMS, bahwa dirinya adalah
> pemimpin seluruh rakyat Bolmong, bukan hanya
> memimpin satu agama atau golongan tertentu. Di mana
> dia selalu dituntut untuk bisa berkomunikasi
> langsung dengan rakyat yang dipimpinnya, bukan
> melulu diwakilkan saja. “Bupati adalah milik semua
> rakyat Bolmong tanpa pandang
> bulu, agama, golongan maupun suku mana pun.
> Sehubungan dengan fatwa MUI tersebut, sepertinya
> belum tepat untuk diterapkan di Bolmong. Intinya,
> bupati tetap sah kalau menghadiri dan turut
> mengikuti acara-acara keagamaan dari non-Muslim,”
> kata MMS sebagaimana dikutip juru bicaranya Ir Yudha
> Rantung,kemarin siang (09/08).
> 
> Lagi pula, MMS memang selalu diundang oleh rakyatnya
> dari non-Muslim untuk menghadiri seremoni-seremoni
> keagamaan, di mana pada kesempatan itu MMS selalu
> pula didaulat untuk menyampaikan kata-kata sambutan.
> Sehingga bisa dibayangkan betapa besar kekecewaan
> rakyat, ketika menyadari kalau kata-kata sambutan
> MMS selaku bupati hanya diwakilkan saja kepada
> bawahan.
> 
> “Selama ini ibu bupati selalu menghadiri dan
> mengikuti acara-acara seremonial keagamaan dari
> non-Muslim, misalnya natalan. Beliau diberikan
> kesempatan untuk menyampaikan kata-kata sambutan.
> Kalau pun pada saat acara itu dilangsungkan ibadah,
> bukannya bupati kita langsung beranjak dari
> kursinya, melainkan tetap di tempat namun bersikap
> pasif selama ibadah berlangsung. Itu kan sikap
> positif MMS
> untuk menghormati umat dari agama lain,” tambah
> Rantung lagi.
> 
> Di sisi lain, gaung penolakan terhadap fatwa MUI
> yang mengharamkan umat Islam menghadiri natalan atau
> kegiatan keagamaan dari non-Muslim, disampaikan
> beramai-ramai oleh sejumlah tokoh Bol-mong. Mereka
> menilai, pada hakikatnya negara ini bukan negara
> agama, bukan milik satu agama saja, melainkan milik
> dari seluruh rakyat yang diketahui memiliki
> keanekaragaman agama, suku dan budaya.
> Ketua Fraksi PAN, Drs Jemmy Lantong bersama
> anggotanya Rusli Tungkagi, berikut Ketua F-PDIP
> Christofel Popo Buhang bersama rekannya Herman
> Kembuan, serta Ketua F-PG Mansyur Sugeha
> menyampaikan hal itu dalam perbincangan serius di
> kantor
> dewan kemarin siang, usai membaca headline yang
> terpampang di etalase harian ini, edisi Selasa
> kemarin.
> 
> “Presiden kan bukan pemimpin satu agama saja, tapi
> memimpin semua rakyatIndonesia yang memiliki agama,
> suku maupun budaya yang berbeda. Jadi kalau