Wah kasihan ya anak-anak ini,
Saya teringat tahun 1984 silam, tiga tahun usai Jambore Nasional 1981 di
Cibubur dan menjelang Jambore Nasional 1986, juga di Cibubur. Saya waktu itu
masih duduk di kelas 3 SMP.
Sebagai anak pramuka penggalang yang jauh dari Jakarta, saya begitu bersemangat
mengikuti arahan dari Kwartir Cabang Pramuka tentang peluang menjadi Pramuka
Garuda. Soalnya waktu itu mau ada seleksi menjadi anggota kontingen Indonesia
yang akan ke Jambore Dunia.
Maklumlah. Usai Jamnas 81 saya begitu aktif beraktivitas di kegiatan Pramuka.
Kebetulan di sebuah Gugus Depan yang berpangkalan di Kantor Polres. Selain
satuan penggalang, disitu juga ada satuan penegak yang berafiliasi dengan Saka
Bhayangkara. Juga ada sejumlah barung Siaga.
Harapan itu pupus bersamaan dengan tidak jelasnya waktu seleksi Pramuka Garuda,
belum lagi usia yang terus merambat karena pada tahun yang sama saya mesti
melanjutkan sekolah ke SMA, dan itu berarti saya harus mengakhiri masa
ke-Penggalang- an saya dan masuk pada periode Penegak.
Dan sekarang, sudah lebih dari 20 tahun berlalu. Kok rasanya manajemen di
lingkungan Gerakan Pramuka nggak semakin membaik ya ? Malah jadi kacau balau
begitu.
Kasihan adik-adik itu. Padahal berangkat ke Jambore Dunia adalah kebanggaan
luar biasa dan hanya bisa diperoleh sekali seumur hidup. Mau nunggu Jambore
Dunia berikutnya? Seperti juga aku, saat itu mungkin semua sudah berlalu. Momen
seperti ini tak akan bisa terulang lagi.
Oh Pramuka ku ..
- Original Message -
From: Rahman
To: [EMAIL PROTECTED] ; Milis Pramuka
Sent: Wednesday, August 01, 2007 9:10 AM
Subject: [Pramuka] berita kompas, 1 Agustus 2007
Peserta Jambore Menuntut Ganti Rugi
Jakarta, kompas - Peserta World Scout Jamboree Ke-21, yang gagal berangkat ke
London, menuntut pengembalian uang kepesertaan yang telah mereka setorkan dan
kerugian immaterial akibat kegagalan keberangkatan itu. Selain itu, mereka juga
menuntut agar mereka dipulangkan kembali ke daerah asal dengan biaya dari
panitia.
Pernyataan ini disampaikan Abdul Muli, orangtua Andini, peserta dari DKI; dan
Hans Heipon, pembina pramuka dari Serui, Papua. Kerugian materi memang besar,
tapi yang paling besar adalah mental anak-anak. Mereka sangat kecewa dan malu
karena tak jadi berangkat, kata Muli.
Sementara Tirto Diprojo, orangtua dari Vanda, peserta dari Yogyakarta,
mengakui, panitia Kwartir Nasional (Kwarnas) sangat bertanggung jawab terhadap
kejadian itu, namun panitia tidak profesional dan melakukan persiapan yang
tidak matang. Informasi dari Kedutaan (Inggris) yang saya dapatkan, mereka
mengajukan visa pada 13 Juli dan baru mengetahui ada yang tidak beres pada 27
Juli. Padahal, bila ada administrasi yang tidak cocok, pihak kedutaan pasti
memberi tahu secepatnya.
Mereka telat mengulang permohonan visa karena mengira jika visa ditolak, baru
boleh mengajukan ulang enam bulan lagi. Padahal, kalau cuma kesalahan
administrasi, bisa diajukan ulang secepatnya, kata Tirto.
Saat ini ada 12 peserta jambore dan tujuh siswa peninjau jambore yang masih
menunggu di Taman Rekreasi Wiladatika, Cibubur, Jakarta Timur. Mereka ragu
apakah mereka bisa berangkat atau tidak.
Herry Supianto (14), peserta dari Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, mengaku
sangat risau. Saya mau pulang karena semua rombongan saya sudah berangkat.
Tetapi, bagaimana caranya pulang ke Tanjung Pinang, ungkap Herry, anak yatim
itu.
Hingga kini Herry mengaku tidak mengaktifkan ponselnya karena takut dihubungi
oleh neneknya. Kalau dia tahu saya tidak berangkat, nanti nenek saya
khawatir, ujarnya. (ARN)
[Non-text portions of this message have been removed]
--
No virus found in this incoming message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.476 / Virus Database: 269.11.0/929 - Release Date: 7/31/2007
5:26 PM
[Non-text portions of this message have been removed]