Har Wib: In Memoriam: Bapak yang Bersahaja
Oleh Harry Wibowo

In Memoriam: Bapak yang Bersahaja

 Today at 02:52



Hampir sepuluh tahun yang lalu atas prakarsa dan dorongan Arya 
Wisesa, Nug Katjasungkana dan Gung Ayu -- saya dan Wit berupaya 
'membujuk' bapak Setiadi Reksoprodjo untuk bercerita atau menulis 
tentang perjalanan hidupnya sejak zaman revolusi kemerdekaan hingga 
beliau ditahan dan dipenjara rezim Soeharto sejak 1966 tanpa dakwaan dan
 proses pengadilan selama 13 tahun. Tidak mudah membujuk bapak bicara 
karena beliau menganggap bahwa dirinya hanyalah orang biasa dan tidak 
mengetahui apa-apa apalagi berperan dalam peristiwa besar sejarah 
republik ini. Meskipun dalam catatan umum/ resmi, Ir. Setiadi pernah 
menjabat sebagai Menteri Penerangan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin 
(1947), anggota Konstituante (1955-59) dan kemudian sebagai Menteri 
Listik dalam Kabinet Dwikora (1965-66).



Dengan berbagai macam cara, juga dorongan dari teman-temannya para 
korban/ survivor 1965-66, akhirnya bapak mulai sedia untuk diwawancarai 
oleh suatu tim komplit yang terdiri dari Arya Wisesa, Gung Ayu, Hilmar 
Farid, M. Fauzi, Langgeng Budi, Witaryono, dan saya. Hasil wawancara 
ditranskrip dan menghasilkan 3 odner setebal lebih 500 halaman. 
Periodenya mencakup pada masa penjajahan Belanda hingga Orde Baru. Saat 
itu kami masih bimbang dan terus berdiskusi, apakah hendak menulis suatu
 autobiografi, memoar politik, atau suatu 'sejarah lisan' yang ditulis 
dalam kerangka tertentu, misalnya "sejarah gerakan kiri di Indonesia". 



Saat draft pertama ditulis oleh tim tersebut di mana bapak juga ikut di 
dalamnya, kesulitan mulai terasa. Sebagai kerja keroyokan, meskipun 
sudah dengan kerangka pendekatan dan pembabakan yang ketat, dan 
masing-masing anggota tim penulis memiliki bingkai yang sama tentang 
peran dan posisi bapak dalam setiap periode sejarah (sebagai salah satu 
pimpinan Pesindo, pendiri Pemuda Rakyat, dsb) dan diberi tugas untuk 
setiap babakan yang berbeda, namun sangat terasa gado-gadonya. Draft 
pertama telah disusun, namun kemudian diputuskan agar bapak tak hanya 
mengedit bahkan menuliskan kembali.



Karena kesibukan kami masing-masing yang 'muda-muda" ini, proses 
penulisan draft kedua berjalan lambat dan tertunda-tunda. Tim juga sudah
 mulai jarang berkomunikasi. Sebagaian karena bapak belakangan semakin 
aktif dalam berbagai kegiatan Pakorba (Paguyuban Koban Orde Baru) yang 
terus berjuang untuk redress dan rehabiitasi korban 1965-66. Namun, pada
 2006 diam-diam bapak mulai menuliskan kembali 'catatan sejarah'nya 
berdasarkan transkripsi wawancara kami, draft pertama, dan sumber-sumber
 lain yang digali atu diperolehnya sendiri. Sering saya sambil lalu 
mengetahui bapak pergi ke Perpustakaan Nasional dekat rumah untuk 
mencari bahan, dan mulai menulis di tengah-tengah aktivitasnya dalam 
kerja profesinya sebagai kontraktor/ konsultan sipil maupun di Pakorba.



Belakangan, di pertengahan 2007, bapak mulai sibuk mondar-mandir ke 
percetakan. Saya teringat, di suatu hari seminggu menjelang ulang 
tahunnya yang ke-86, di teras rumah sudah menumpuk barang cetakan yang 
tak lain adalah "Jilid I" dari catatan reflektifnya. Ia sudah menyiapkan
 buku tersebut untuk dibagikan sebagai cindera mata ulang tahunnya bagi 
adik-adiknya, sahabat dan kawan-kawan seperjuangannya, keponakan serta 
cucu-cucunya, dan tentu saja kami: "tim penulis" yang hanya berhasil 
mendobrak dan menyemangati bapak untuk bersuara, tapi 'belum' berhasil 
menyelesaikan draftnya.



Bapak selalu menyelesaiakan pekerjaannya tanpa harus sempurna. Sesuatu 
yang pasti berharga dan berarti bagi orang lain. Namun hari ini bapak 
telah menuntaskan hidupnya secara sempurna. Seperti sms Gung Ayu kepada 
Niken dan saya, mengucap belasungkawa siang kemarin: "..orang besar yang
 bersahaja."





***



Sebuah
 catatan reflektif yang pertama (1921-1949) dari 3 'jilid' yang 
direncanakan ditulis bapak Setiadi (diterbitkan Sekertariat DPP-Pakorba,
 September 2007).

Sambil terus masih bekerja dalam profesinya 
sebagai insinyur sipil dalam usia lanjut, bapak masih terus menulis 
jilid yang kedua (1949-65). Sayang, tak sempat dituntaskannya, karena 
sejak Oktober tahun lalu bapak diketahui mengidap 'lukemia akut'. Sangat
 beresiko merusak sel-sel yang sehat untuk melakukukan chemotherapy 
untuk seusianya. Yang dapat dilakukan hanya 'mengelola' kesehatan dan 
mengendalikan 'komposisi darahnya' di bawah pengawasan ahlinya: dr A. 
Haryanto Reksodiputro. Rabu 28 Juli 2010, pukul 10:05, bapak pergi 
dengan tenang menuju keabadianNya....

Kami belajar dari 
kegigihan, rasionalitas dan kebersahajaanmu. Kami bukan hanya 
mengenangmu tapi coba menarik teladan dari perjuanganmu dalam hampir 
sepanjang hayat. Selamat jalan bapak.
Cuplikan salah satu bab dari buku catatan-refektifnya


"Tiba di Yogyakarta"



Saya tiba di Yogyakarta pada bulan Maret 1947. Kota ini sejak lebih 
kurang setahun sebelumnya menjadi tempat kedudukan yang baru dari 
Pemerintah Pusat Republik Indonesia dengan semua kementeriannya (kecuali
 Kementerian Luar Negeri), Markas Besar Angkatan Bersenjata, Angkatan 
Kepolisian serta Lembaga-Lembaga Tinggi Negara lainnya. Kementerian 
Pekerjaan Umum mendapat tempat di sebuah gedung bekas Sekolah Menengah 
Katholik di tengah kota dekat alun-alun utara.



Karena kota Yogyakarta sendiri ketika itu tidak terlalu besar, banyak 
kantor-kantor lainnya tersebar di berbagai tempat luar kota.



Kondisi "kehidupan di masa perang" dari zaman pendudukan Jepartg masih 
harus berlanjut dalam tekad perjuangan untuk merdeka dan melawan 
kembalinya kekuasaan penjajah Belanda. Berdasarkan semangat berbakti 
tersebut, khususnya bagi sebagian besar golongan pemuda dan masyarakat 
umum yang telah memperoleh kesadaran politik, maupun berdasarkan 
kesadaran bahwa kehidupan harus diusahakan untuk berjalan terus, 
berbagai layanan publik seperti: pemerintahan, penjagaan keamanan, 
layanan pos dan transportasi umum, listrik, radio, dan media pers, dapat
 berfungsi optimal menurut kondisi yang ada.



Transportasi kendaraan bermotor untuk umum praktis terhenti. Namun, 
kereta api tetap dijalankan oleh karyawan-karvawan kereta api republik, 
walaupun dengan bahan bakar kayu; di Jawa dari kota Malang lewat Solo, 
Yogya, Cirebon hingga ke Jakarta dan dari Jakarta ke Sukabumi.



Transport lokal berlangsung dengan kendaraan ditarik kuda atau untuk 
angkutan barang ditarik sapi. Sepeda adalah alat transportasi individual
 yang umum, walaupun sering dengan memakai ban karet padat buatan dalam 
negeri. Selanjutnya orang tidak segan-segan berjalan kaki, karena tidak 
dikejar-kejar waktu.



Untuk bahan bakar minyak keperluan pembangkit listrak dan kendaraan 
bermotor yang terbatas dimiliki oleh instansi-instansi resmi, atau pun 
minyak tanah, diandalkan Bari produksi suing-sumur minyak bumi daerah 
Cepu. Pabrik di beberapa tempat, antara lain Garut, diusahakan tetap 
berjalan dengan produksi terbatas pada jenis kain baju yang diperlukan 
untuk pakaian seragam aparat-aparat pemerintah den train "belacu" yang 
dapat diwamai dengan nila (indigo) atau pewama-pewama organik lain. Juga
 pabrik sepatu kulit (kambing) dengan sol karet mentah, diutamakan untuk
 keperluan aparat.



Peredaran bahan makanan pokok berlangsung bebas dari satu daerah ke lain
 daerah, baik dengan angkutan resmi maupun dalam usaha 
perdagangan-perorangan yang masih dapat dilakukan dan pada umumnya masih
 dilakukan secara jujur dan tenggang menenggang.



Selama pendudukan Jepang, hubungan ke pasaran luar negeri terputus 
total; tidak ada ekspor dan impor dalam perdagangan bebas. Barang­barang
 ekspor maupun impor di gudang-gudang perusahaan niaga Belanda maupun 
Tionghoa dikuasai tentara Jepang. Setelah itu, Republik Indonesia hanya 
dapat menguasai stock yang belum diangkut oleh tentara Jepang.



Untuk banyak komoditi terpaksa dimanfaatkan apa yang diproduksi di dalam
 negeri, misalnya : rokok, sabun, kertas (dari merang padi), 
barang-barang yang dapat dibuat dari karet secara sederhana dan 
barang-barang hasil daur ulang atau hasil kreativitas 
pengrajin-pengrajin seperti: jaket dari bahan karet atau kulit kambing, 
tangkai kacamata, sisir dan lain-lain dari bahan baku tanduk 
sapi/kerbau, tulang hewan, dan kayu.



Untuk kota-kota pelabuhan seperti Cirebon dan Tegal adakalanya dapat 
diperoleh barang-barang luar negeri basil penyelundupan ke Singapura 
dengan menerobos blokade laut dari angkatan laut Belanda. Untuk 
pelaut-pelaut Indonesia hal ini tentunya tidak mudah dilakukan karena 
tidak mungkin mengandalkan pada perlindungan ALRI ketika itu. Pada bulan
 Februari tahun 1947 pemah terjadi penerobosan yang menghebohkan yang 
dilakukan oleh pengusaha Amerika Serikat dengan kapal "Martin Behrmann" 
yang tidak dapat dicegah oleh Angkatan Laut Belanda berlabuh di 
pelabuhan Cirebon dan memuat karet, gula pasir dan kinine yang dijual 
oleh pihak Republik Indonesia. Tetapi, kejadian tersebut langsung 
diikuti oleh protes diplomatik pihak Belanda kepada pemerintah Amerika 
Serikat. Usaha-usaha pengulangan yang dilakukan oleh Dr. Soemitro 
Djojohadikusumo dengan mendirikan BTC (Banking and Trading Corporation) 
untuk hal tersebut tenyata tidak bisa berhasil.



Penyelundupan berkala ke Singapura oleh pihak Indonesia selain dilakukan
 oleh peroarngan secara kecil-kecilan, dilakukan juga oleh pemerintah 
Indonesia secara terikendali untuk berbagai kebutuhan pemerintah dengan 
melibatkan oknum-oknum angkatan lautnya; salah satu tenaga handal dalam 
hal ini, seorang perwira keturunan Tionghoa, dikenal sebagai mayor John 
Lie.



Di kemudian hari praktik penyelundupan ditiru oleh berbagai panglima 
Angkatan Darat, tetapi bukan untuk menembus blokade Belanda melainkan 
untuk menghindari bea dan cukai Republik Indonesia dan untuk 
kepentingan-kepentingan khusus kelompok pribadinya; di Sumatera dari 
Medan dan Palembang, di Sulawesi dari Manado dan juga dari Semarang 
(Jawa Tengah) yang diketahui umum dilakukan oleh jenderal Soeharto 
(ketika itu masih kolonel) pada tahun lima puluhan.



Dengan kondisi "kehidupan masa perang" itu masyarakat Indonesia harus 
dapat bertahan selama lima tahun blokade Belanda di masa menegakkan 
Republik 1945-1950 dan kemudian lebih kurang lima belas tahun blokade 
yang disponsori oleh pendukung-pendukung pemberontakan PRRI, Permesta 
(antara lain Des Alwi dan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo) serta 
blokade Belanda/ Inggris di masa perjuangan untuk kembalinya Irian Barat
 dan perjuangan terhadap proyek Malaysia (1953-1955).



Di masa intermezo pendek pada periode Republik Indonesia Serikat dan UUD
 Sementara 1951 (1950-193) masyarakat Indonesia seluruhnya terbuka untuk
 pasaran intenasional dan masyarakat "kehidupan masa perang" 
berintegrasi dengan masyarakat Nusantara yang (terutama elitenya) sudah 
dibiasakan kembali dengan kehidupan dan pikiran "laissez fair laissez passer" 
di dunia liberal barat.



Seperti empat setengah tahun lalu ketika pada akhir 1942 saya tiba di 
Cirebon, kini saya tiba di Yogyakarta juga hanya dengan sebuah koper 
berisi pakaian dan beberapa buku teknik dan menyewa kamar sebuah 
penginapan di Dagen (dekat Stasiun Tugu).



Paginya saya menghadap Bpk. Ir. Soerjomihardjo, Sekretaris Jenderal 
Departemen Pekerjaan Umum; kemudian diperkenalkan kepada Bpk. Menteri 
PU, ketika itu Ir. Putuhena dan Bpk. Wakil Menteri PU, Ir. F. Laoh. 
Semuanya senior sekali dari saya. Tenyata saya akan ditugaskan mengurusi
 Hubungan Masyarakat Departemen PU, langsung bertanggung jawab kepada 
Sekjen; sebelumnya, jabatan tersebut tidak ada.



Untuk mempersiapkan diri bagi pekerjaan, saya minta lebih dahulu diberi 
kesempatan meninjau keadaan jabatan PU di berbagai daerah, terutama yang
 berhubungannya dengan Kantor Pusat mulai sulit dilakukan akibat 
gangguan pihak Belanda.



Dapat disetujui bahwa sambil menyelesaikan urusan-urusan saya di 
Cirebon, saya menghadap Ir. Altus, Kepala PU Propinsi Jawa Barat yang 
kedudukannya telah dipindahkan dari Jakarta ke Cirebon, agar dapat 
mengizinkan dan membantu saya mencapai kota Sukabumi di mana Bpk 
Soeleiman masih bertahan sebagai Pimpinan PU Wilayah Priangan Barat.



Sementara itu di kantor PU di Yogya saya bertemu dengan Sdr. Satrio yang
 saya kenal pada akhir zaman Belanda di Bandung dan tenyata sudah 
mengungsi ke Yogyakarta setelah Bandung (dan gedung Kantor Pusat PU-nya)
 dikuasai tentara Inggris dan NICA. Ia mengajak saya berkumpul saja di 
kamar kosnya. Maka sebelum berangkat ke Jawa Barat saya pindah dari 
tempat penginapan ke tempat kosnya.



Beberapa hari di Cirebon saya bereskan saja segala peralatan rumah 
tangga yang tidak saya prioritaskan lagi; sisanya masuk ke suatu peti 
ukuran 1x1x1m yang saya titipkan sampai nanti ada kesempatan 
mengangkutnya. Ternyata peti tersebut oleh teman-teman itu telah dijaga 
baik-baik, sempat diungsikan ke Jatibarang ketika dalam Aksi Militer I 
Belanda masuk ke Cirebon, dan kira-kira empat tahun kemudian lengkap 
dikirimkan lewat jasa angkutan kereta api ke alamat saya di Yogyakarta. 
Hebat sekali teman-teman itu!



Sekitar bulan April 1947, Persetujuan Linggajati resmi sudah selesai 
diratifikasi kedua belah pihak, yaitu Pemerintah Belanda dan Pemerintah 
RI. Tetapi sebagaimana tersebut di muka, teori dan kenyataan lapangan 
tidak sesuai. Secara diam-diam blokade angkatan laut Belanda terhadap RI
 berjalan terus dengan dalih pemberantasan perdagangan illegal. 
Kontak senjata terbuka dihindari, tetapi Belanda terus menambah jumlah 
angkatan bersenjatanya dan memperkuat kedudukan posisi­posisinya. Mereka
 juga giat membentuk negara-negara boneka baru dan mendukung berbagai 
separatis di seluruh Nusantara.



Untuk menuju kota Sukabumi, Kepala PU Wilayah Jawa Barat, Ir. Altus, 
mengikutsertakan saya kepada Kepala Cabang Pengairan Cianjur yang 
kebetulan akan kembali ke posnya setelah selesai urusannya di Kantor 
Pusat PU Jawa Barat.



Kami berkendaraan jip melalui Cirebon – Sumedang. Pada waktu itu keadaan
 jalan-jalan utama pada umumnya masih baik, karena setelah berpindah ke 
dalam kekuasaan balatentara Jepang selama lebih kurang 4 tahun 
perawatannya tetap dijaga untuk perhubungan yang strategis, sedangkan 
lalu-lintas beret sehari-haai praktis tidak ada. Juga fungsi pengairan 
teknis dipelihara secara optimal demi menjaga produksi pangan, khususnya
 beras.



Dari Sumedang kami tidak menuju ke Bandung; NICA sudah menduduki bagian 
utara kota den menguasai jalur ke Jakarta lewat Cianjur, Puncak Bogor. 
Di Cicalengka kami membelok ke selatan melalui Majalaya mencapai 
Pengalengan den selanjutnya lewat jalan-jalan perkebunan di daerah 
selatan Cianjur sampai ke Sukabumi. Sepanjang jalan itu kehidupan lokal 
tampaknya berjalan tems. Di Pengalengan terdapat banyak warga dan 
karyawan, serta pasukan yang telah mengungsi dari kota Bandung. Di 
Sukabumi kehidupan lokal juga berlangsung terus dan hubungan ke 
wilayah-wilayah Priangan Selatan dan ke Banten dapat berlangsung dengan 
transportasi apa adanya. Pasukan bersenjata tidak begitu menonjol. 
Kereta api yang awalnya menghubungkan Jakarta Bogor - Sukabumi - Cianjur
 ke Bandung, masih dijalankan dengan tanda "milik RI" dari Sukabumi ke 
Jakarta p.p. dan merupakan lalu lintas niaga utama. Jalan kereta api 
tersebut tidak mendapat gangguan dari MICA, tetapi para penumpang pada 
umumnya tidak sampai turun di stasiun Gambir; kalau tidak salah, sehabis
 stasiun Manggarai masinis biasanya menghentikan kereta apinya sebentar 
dan para penumpang dan pedagang kebanyakan ramai-ramai turun.



Selesai bertemu dengan Bpk Soeleiman, saya melanjutkan perjalanan dengan
 kereta api hingga ke Bogor. Di sini saya ditampung oleh Sdr. Soetarjo, 
seorang pelajar senasib dengan Sdr. Isnoedikarta dan La Tiworo di 
Cirebon, yang tidak dapat melanjutkan studinya pada Sekolah Menengah 
Pertanian tetapi ia memilih bertahan di kota Bogor.



Ia memberi petunjuk bagaimana menggunakan kereta api ke Jakarta tanpa 
turun di Gambir. Di Jakarta saya bermalam pada seorang paman dan 
kemudian bersama beratus pengungsi naik kereta api RI dari Jatinegara 
melalui Cikampek ke Cirebon.



Untuk perjalanan-perjalanan melalui daerah-daerah NICA itu, saya 
diajarkan bahwa mempunyai uang ORI (diterbitkan sejak November 1946) 
masuk ke daerah NICA tidak begitu berbahaya, tetapi sebaliknya memasuki 
daerah RI dengan mengantongi uang MICA hanya akan mengundang sial.



Oleh Sdr. Soetarto yang tinggal di rumah saya di Cirebon, saya 
diberitahu bahwa saya dapat "indekost" pada rumah kakaknya di daerah 
Beji-Yogyakarta. Maka sekembali di Yogya saya langsung pindah ke 
pondokan saya yang baru itu, sebuah kamar untuk sendiri, berukuran 2 x 
2,5 m.



Selain mulai rutin berkantor di Departemen PU, saya juga melaporkan 
keberadaan saya di Yogya kepada Sdr. S. Lagiono yang ketika itu menjadi 
Ketua Pesindo Daerah Yogyakarta dan melapor ke Sekretariat Dewan 
Pimpinan Pusat Partai Sosialis yang berkantor di daerah Kotabaru. Di 
Sekretariat itu saya diperkenalkan kepada Sdr. Djohan Sjahroezah yang 
menjadi Sekjen Partai. Saya berkesan baik terhadap Sdr. Lagiono maupun 
Djohan Sjahroezah yang cukup ramah dan bersikap pemerhati. Di Kantor DPP
 Partai Sosialis selalu banyak orang bertemu, masing-masing dengan 
citranya sendiri-sendiri, yang buat saya serba baru karena jelas mereka 
semua termasuk orang-orang politik. Salah satu yang menjadi pengalaman 
unik adalah seorang kader yang terus‑menerus mengulang kalimat-kalimat 
ajaran Marxis, tetapi saya berkesan bahwa ia tidak dapat memahami betul 
maknanya dan karena itu berusaha menghafalkan ucapannya.



Pada bulan April Sdr. Lagiono memberitahukan bahwa saya telah ditarik 
menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan DPP Pesindo (semacam Dewan
 Penasehat) dan supaya hadir kalau ada rapat-spat Pleno Dewan Pimpinan 
Pusat yang biasanya berlangsung di Solo. Maka saya mulai mengenal 
anggota-anggota Pusat Pimpinan Pesindo ketika itu, antara lain 
Krissubanu-Ketua Umum, Subroto Sekjen, Soedisman, Soekamo, Soemasono, 
Roeslan, Widjajasastra-Ketua Bagian Kelaskaran; Djalaluddin, Fatkur, 
Yetty Zain, Francisca Fanggidey dan lain-lain.



Soemarsono
 dan Setiadi: dua kawan lama dalam lingkaran Amir Sjarifuddin pada 
tahun2 revolusi kemerdekaan, dengan banyak koinsidensi sejarah: kota, 
tahun, bulan dan tanggal lahir yg nyaris sama (22 & 18 sept), 
berbagi bahagia bersama di hari lebaran pada usia ke 88.

Photo by HarWib | 21/09/2009 18:40:22 | Canon PowerShot TX1 | ISO Speed 
320(Auto) | Lens 6.5 - 65.0 mm | Focal Length 12.2 mmMereka
 pada umumnya pemuda-pemuda penuh idealisme, rata-rata selesai 
pendidikan tingkat menengah atas dan aktif dalam perjuangan fisik 
menghadapi tentara Sekutu di Surabaya. Selain masalah-masalah 
sehari-hari, yang rupanya menjadi pikiran waktu itu adalah inisiatif 
dari Kementrian Pertahanan RI untuk menampung berbagai kelaskaran dalam 
satu wadah yang dinamakan TNI. Masyarakat dengan maksud memudahkan 
adanya kesatuan komando dalam menghadapi ancaman agresi Belanda setelah 
tentara Sekutu ditarik dari wilayah Nusantara. Pemerintah Indonesia 
menyadari bahwa ada niat pihak Belanda untuk pada waktunya dengan 
keunggulan persenjataannya menuju pada penyelesaian bersenjata dari 
konfliknya dengan pihak Indonesia. Dalam hal demikian titik berat 
perlawanan pihak Indonesia tercetak pada kemampuan menyelenggarakan 
perang gerilya yang terkoordinasi dan mendapat dukungan rakyat dan 
memelihara de fakto kekuasaan pemerintahan RI dari basis-basis di luar 
kota.



Dalam pemilihan umum pada musim semi 1947 di negeri Belanda, Partai 
Buruh (Partai van de Arbeid) yang memprakarsai Persetujuan Linggajati, 
dikalahkan oleh golongan konservatif yang mengangkat perdana menteri Dr.
 Beel. Selanjutnya Undang-Undang Dasar Belanda mendapat perubahan yang 
memungkinkan pemerintahnya untuk mengerahkan para wajib militer Belanda 
guna memperkuat angkatan bersenjatanya di Nusantara. Pimpinan militer 
Belanda pun segera bersiap-siap dengan rencananya "doorstoot° 
(penerobosan) ke Yogyakarta.



Pada akhir bulan Mei 1947 Belanda memberikan ultimatum kepada Pemerintah
 Indonesia supaya mengakui kedaulatan Belanda sepenuhnya sampai habisnya
 masa interim (sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat). Pada 
tanggal 8 Juni pemerintah Indonesia menyatakan menolak. Sebelumnya, 
partai-partai Benteng Republik sudah menyatakan menolak 
kompromi-kompromi lebih jauh.



Pada tanggal 20 Juni P.M. Syahrir mengajukan usul kompromi untuk adanya 
seorang wakil mahkota Belanda selama masa interin dan adanya suatu badan
 bersama untuk urusan luar negeri Indonesia. Usul yang dikemukakan PM. 
Syahrir tersebut, yang dilontarkan sebelum disepakati dalam partai, 
tidak mendapat persetujuan baik dari partainya Syahrir sendiri maupun 
dari Masyumi. Maka Syahrir meletakkan jabatannya sebagai Perdana 
Menteri. Dari Aide Memoir yang diketahui sehari sesudah Syahrir mundur 
tenyata bahwa pemerintah Amerika Serikat sebetulnya dapat menyetujui 
usul yang dikemukan oleh Syahrir dan lebih suka berlansungnya negosiasi 
dari pada perang.



Ir. Setiadi dalam salah satu rapat Kabinet Amir Sjarifuddin (1947)Presiden
 Soekamo menunjuk mr. Amir Syarifudin untuk membentuk kabinet baru. 
Dalam susunan kabinet yang diselesaikan pada tanggal 3 Juli dukungan 
pokok terdapat dari partai-partai "sayap kiri" (Partai Sosialis, Partai 
Buruh Indonesia, Partai Komunis Indone­sia) berikut ormas-ormasnya 
(serikat-serikat buruh, barisan tani, . Pesindo), Mari PNI (Partai 
IVasional Indonesia) dan dari Partai Sarekat Islam Indonesia (P.S.I.I.) 
pimpinan Wondoamiseno. PSII yang mempunyai pengaruh kelaskaran di Jawa 
Barat (S. Karto Suwirjo) dan Jawa Timur, menggantikan posisi Masyumi 
yang tidak bersedia ikut dalam kabinet Amir. Dalam corak politiknya 
mungkin kabinet tersebut lebih bersiap menghadapi konflik bersenjata 
dengan Belanda, tetapi pada umumnya tidak jauh berbeda dengan kabinet 
Syahrir.



Saya dikejutkan oleh berita radio yang menyebut nama saya dalam kabinet 
sebagai Menteri Penerangan. Sementara itu kegiatan sehari­hari yang saya
 lakukan telah beralih kepada tugas-tugas rutin di Departemen P.U. 
Ketika saya mencari konfirmasi dan konsultasi kepada Sdr. S. Lagiono dan
 Wikana, jawabannya enteng saja: "Kalau kamu telah dipilih untuk tugas 
kenegaraan tersebut, ya lakukan menurut kemampuanmu". Enak saja; sekali 
lagi saya dihadapkan kepada sate fait accomplit dan sekali lagi 
perjalanan hidup saya menjadi berubah arah, meninggalkan kemapanan 
birokrasi untuk dilibatkan lagi dalam arus kehidupan politik negara.



Umur saya ketika itu 26 tahun. Saya paham bahwa sebagai anggota kabinet 
menteri, yang merupakan puncak pimpinan negara, tentunya saya adalah 
yang paling muda dalam usia maupun pengalaman politik praktis.



Di kabinet itu untuk pertama kali saya berkenalan atau dapat berhubungan
 lebih dekat dengan gembong-gembong pergerakan kebangsaan yang senior 
termasuk Bung Kamo, drs. Moh. Hatta dan mr. Amir Syarifuddin; 
selanjutnya mr. Ali Sastroamidjojo, mr. Wilopo, dr. AK. Gani, mr. 
Soesanto Tirtoprodjo dari PNI, S.K. Trimurti dari Partai Buruh 
Indonesia, pak Wondoamiseno, S.M. Karto Suwirjo (sebelum beliau 
mengundurkan diri sebagai Menteri Muda Pertahanan dan berkonsentrasi 
memimpin laskamya di daerah Priangan) dari PSII; tokoh-tokoh Perhimpunan
 Indonesia yang berjasa dalam melawan fasis Jerman di negeri Belanda, 
antara lain drs. Setiajid (Partai Buruh Indo­nesia), drs. Maroeto 
Daroesman (PKI), mr. Abdoelmajid Djojohadiningrat dan mr. Tamzil (Partai
 Sosialis) serta tokoh-tokoh masyarakat seperti Sri Sultan Hamengku 
Buwono IX, panglima besar Jenderal Soedirinan. Setiap tokoh memberi 
kesannya sendiri-sendiri, tetapi umumnya bersikap balk-baik saja atas 
kehadiran saya.



Perasaan "asing" juga agak berkurang setelah menemui mr. Icksan sebagai 
Sekretaris Negara. Ayah beliau adalah bupati Kendal ketika ayah saya 
menjadi wedana di Kaliwungu yang termasuk wilayah Kendal. Walaupun 
pewaris jabatan bupati tersebut, mr. Icksan, yang telah menyelesaikan 
studinya di negeri Belanda, agaknya tidak tertarik untuk mengikuti 
tradisi feodal yang berlaku, sehingga hal tersebut menjadi perhatian 
dalam kalangan elit masyarakat ketika itu. Mungkin berdasarkan sejarah 
kedaerahan itu, saya mendapat banyak bantuan beliau dalam menangani 
seluk beluk protokoler dan administrasi yang masih asing bagi saya.



Saya berkonsultasi dengan Pak Syahbuddin Latif yang menjadi Menteri Muda
 Penerangan walaupun beliau jauh lebih senior daripada saya, tetapi 
beliau bahkan mengatakan, "Bung Setiadi atur saja bagaimana sebaiknya, 
saya ditugaskan saja untuk membantu Anda dari Jakarta". Beliau memang 
masih berdomisili di Jakarta bersama keluarganya.



Sementara itu situasi nasional tenyata cukup gawat. Pimpinan tentara 
Belanda meyakinkan pemerintahnya bahwa setelah dengan perubahan 
Undang-Undang Dasar Belanda dimungkinkan untuk melibatkart* 
tenaga-tenaga wajib militer juga ke dalam operasi-operasi militer di 
seberang lautan, maka dengan keunggulan persenjataan dan peralatan yang 
dimilikinya, mereka sanggup menerobos dalam waktu singkat ke Yogyakarta 
dan menghadapkan dunia intenasional pada fait accomplit lenyapnya 
Republik Indonesia. Selain itu mereka menjadikan sasaran prioritas untuk
 menguasai kembali sumber-sumber produksi seperti perkebunan-perkebunan 
dan ladang minyaknya di Sumatera Utara dan Palembang, 
perkebunan-perkebunan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Timur serta daerah
 penghasil beras di Besuki dan Jember, agar dapat dijadikan sumber dana 
operasionalnya.



Pada waktu itu anggaran belanja kerajaan Belanda untuk sebagian besar 
masih bersandar pada bantuan "Marshall-plan" yang didanai oieh Amerika 
Serikat dalam rangka memulihkan keadaan sosial­ekonami Eropa yang porak 
poranda dalam Perang Dania II. Belanda tentu tidak dapat membiayai suatu
 perang kolonial yang terlalu lama dengan mengambil sumber dana dari 
program bantuan tersebut. Terlebih lagi karena iklim politik 
intenasional seusai Perang Dunia Ke-2 adalah mengurangi 
kekuasaan-kekuasaan kolonial yang lama yang bersifat penjajahan monopoli
 suatu negara terhadap bangsa yang lain. Strategi yang tentunya hares 
diusahakan dari pihak Indonesia adalalah sebaliknya, membumihanguskan 
sumber-sumber daya alam yang tidak bisa dipertahankan, berikhtiar tetap 
mempertahankan kekuasaan de fakto RI di luar kota-kota besar dan terus 
mengganggu posisi Belanda di kota-kota tersebut serta membangkitkan 
semangat internasional menentang politik agresi kolonial Belanda 
tersebut.



Secara intuisi saya merasa bahwa pemerintah juga harus segera memberi 
penjelasan kepada rakyatnya tentang situasi-situasi yang akan kita 
hadapi dan bahwa kejadian-kejadian yang akan datang itu tidak harus 
ditanggapi dengan panik. Maka belum sampai 2 minggu menjabat sebagai 
Menteri Penerangan, saya memberanikan diri mengadakan suatu pidato radio
 dari RRI Pusat di mana saya terangkan bahwa pemerintah mempunyai dugaan
 kuat bahwa Belanda akan mengesampingkan Persetujuan Linggajati dan akan
 melancarkan serangan militer besar-besaran menuju pusat Republik. Namun
 pemerintah mengharapkan hal tersebut tidak membuat rakyat panik. 
Pemerintah berkeyakinan bahwa Belanda hanya dapat menguasai kota-kota 
besar dan jalan lintasnya, sehinga di luar itu kekuasaan de facto
 Republik akan dapat dipertahankan. Begitu pula Belanda diperkirakan 
tidak dapat bertahan dalam posisinya bila kita dapat mencegahnya 
memanfaatkan sumber-sumber daya alam yang dapat diandalkan untuk 
mendanai operasi-operasinya di Indonesia. Keadaan ekonomi negeri Belanda
 sendiri belum memungkinkannya melakukan perang kolonial di seberang 
lautan yang mahal untuk waktu yang lama.



Saya merasa ngeri juga setelah mendapat laporan bahwa uraian saya 
menjadi perhatian dan pegangan orang sampai di daerah-daerah. Melegakan 
bahwa tak lama kemudian Presiden Soekarno juga rnemberikan pidato radio 
yang intinya sama. Sementara itu pemerintah juga akan mengutus Bung 
Syahrir dan Haji Agus Salim ke luar negeri, Asia, Arab, Eropa dan 
melobbi di PBB untuk memperoleh dukungan bagi RI. Hanya selang beberapa 
saat kemudian, pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan 
rniliternya secara besar-besaran ke berbagai wilayah RI. Satu hari 
sebelurnnya, pada tanggal 20 Juli atas jasa pendukung-pendukung RI dari 
India yang telah mengirimkan sebuah pesawat terbang pribadi dengan 
rnembawa bantuan obat­obatan, dapat lolos juga: Wakil Presiden Bung 
Hatta dan Duta Besar pertama untuk India dr. Soedarsono menuju ke New 
Delhi serta Saudara Zairin Zain, Duta Besar RI pertama untuk Amerika 
Serikat, dan dr. Soebandrio, High Commisioner RI untuk Inggris, ke 
pos-nya masing­masing. Bersama dengan mereka dapat berangkat dua pemuda,
 yaitu Saudara Soeripno dan Saudari Francisca Fanggidey. Mereka 
ditugaskan oleh Pesindo untuk menghadiri dua kongres internasional di 
Praha, yaitu kongres I.U.S (International Union of Students) dan kongres
 WFDY (World Federation of Democratic Youth) dan menginformasikan 
tentang situasi yang sedang dihadapi pemuda Indonesia. Organisasi 
memberikan tugas kepada mereka, tetapi bagaimana supaya togas itu dapat 
terlaksana adalah urusan mereka masing-masing. 

Sejalan dengan 
perkembangan situasi di Indonesia dan semangat melawan kolonialisme yang
 juga berkobar di berbagai negara terjajah, akhirnya mereka menjadi 
penggerak kampanye solidaritas kaum muda dan rakyat di berbagai negara 
Eropa, India dan negara-negara terjajah Asia Tenggara, Timor Tengah; 
untuk perjuangan RI terhadap agresi militer Belanda.



[….]


Sumber: http://www.facebook.com/HarWib

http://sastrapembebasan.wordpress.com/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   



      

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to