Republika Senin, 08 Mei 2006
Amuk Para Buruh Oleh : Iman Sugema Demo buruh pekan lalu tidak hanya belangsung secara besar-besaran tetapi juga diakhiri dengan sebuah amuk. Dikatakan sebagai amuk karena memang bukanlah sebuah kerusuhan besar. Amuk biasa dipicu oleh hal-hal yang sepele seperti gesekan fisik dengan aparat keamanan dan kurang pintarnya wakil rakyat dalam berkomunikasi dengan masa. Amuk buruh adalah tumpahan kekecewaan, ketidakpercayaan, keputusasaan, dan kebuntuan kepada siapa nasib harus digantungkan. Karena itu, dalam amuk yang biasa jadi korban adalah pagar, tanaman, dan segala macam benda dan bangunan yang ada di ruang publik. Itu adalah ungkapan kekesalan yang memuncak. Kenapa buruh menjadi kesal? Dari tema demo yang diusung buruh jelas kelihatan bahwa mereka menuntut agar revisi atau amandemen atas undang-undang ketenagakerjaan diurungkan. Sebelumnya, pemerintah telah memanggil pengusaha dan perwakilan buruh ke Istana. Pemerintah secara eksplisit meyakinkan revisi hanya akan dilakukan setelah melakukan konsultasi dengan berbagai kelompok kepentingan, termasuk serikat buruh. Selain itu, beberapa universitas negeri akan diminta untuk melakukan kajian akademis. Sikap tersebut seolah menunjukan kehati-hatian dan keinginan untuk bersikap akomodatif. Dari luar, sikap seperti itu tampak sebagai sebuah kearifan dalam pengambilan keputusan. Tapi mengapa buruh tetap kesal? Berbagai serikat buruh telah secara tegas menyampaikan penolakan atas rencana revisi. Dengan kata lain buruh sama sekali tidak menginginkan adanya perubahan terhadap undang-undang ketenagakerjaan. Alasan mereka hanya satu yakni mereka tidak yakin rancangan revisi tidak akan merugikan buruh. Ada semacam rasa ketidakpercayaan yang mendalam terhadap niat pemerintah. Kalau kita runut, setidaknya ada beberapa faktor yang meyebabkan tumbuhnya rasa tidak percaya bahwa kepentingan buruh akan terakomodasi. Pertama, kajian akademis ditengarai tidak akan sepenuhnya "akademis". Karena itu, buruh memandang bahwa kepentingan mereka tidak akan terakomodasi dalam kajian tersebut. Ini memang menyangkut penyakit kredibilitas. Terlalu sering kajian akademis dipakai sebagai pembenaran atas sebuah kebijakan. Akademisi terlalu kerap menerima "pesanan". Tak heran, akademisi kemudian kehilangan kredibilitas dan obyektifitas. Untuk memecahkan masalah ini, harus ada mekanisme untuk menguji kesahihan dan obyetifitas dari naskah akademis. Harus ada semacam uji publik yang menguliti setiap lembar naskah tersebut. Mulai dari ketepatan metodologi, reliabilitas dan validitas data, konsistensi argumen, sampai penarikan kesimpulan dan saran. Tak hanya itu, tim yang dibentuk di masing-masing universitas harus memiliki kredibilitas di mata publik. Mungkin ada baiknya serikat pekerja meminta pihak lain untuk menyusun naskah akademis tandingan. Nantinya naskah versi buruh bisa dibandingkan dengan nasakah versi pemerintah. Tentu akan ramai bukan? Kedua, buruh merasa tidak punya suara di kabinet. Siapa sih, menteri yang dekat dengan buruh? Tidak ada bukan? Kabinet sekarang dipandang terlalu kental dengan lobi pengusaha. Dengan demikian sulit bagi buruh untuk begitu saja percaya terhadap ketulusan niat pemerintah. Ketiga, tidak ada kekuatan oposisi yang signifikan di parlemen yang mampu membela kepentingan buruh. DPR seringkali alot di awal pembahasan setiap kebijakan penting seperti kenaikan harga BBM. Pada akhirnya, para anggota DPR sering kemudian berbalik arah dan mendukung kebijakan pemerintah. Galak di awal, melempem saat mengambil keputusan. Stigma semacam ini sudah melekat di hati semua kalangan, tidak hanya para buruh. Dari ketiga hal tersebut, adalah wajar jika buruh melakukan penolakan secara keras terhadap rencana revisi. Sebagai orang-orang yang sekarang telah memiliki pekerjaan adalah wajar untuk memiliki sedikit rasa aman. Tentu mereka tidak ingin perusahaan begitu mudahnya melakukan PHK. Mereka tidak ingin bergabung dengan 11,6 juta orang yang menganggur. Mereka juga tak ingin hak-haknya atas penghidupan yang layak menjadi dikebiri oleh undang-undang. Karena itu, untuk saat ini tampaknya upaya untuk melakukan revisi undang-undang ketenagakerjaan hanya akan menghasilkan ketegangan antara buruh di satu pihak dan pengusaha dan pemerintah di lain pihak. Demo mungkin semakin sering dan semakin besar. Kegiatan produksi akan semakin terganggu. Permintaan ekspor akan lebih sering tidak terpenuhi. Persepsi risiko usaha semakin meningkat yang pada gilirannya akan menghambat investasi. Dalam situasi yang serba susah sekarang ini dimana kemiskinan dan pengangguran terus meningkat, yang harus kita prioritaskan adalah membangun sendi-sendi perekonomian. Hal itu hanya tercipta kalau ada kenyamanan bekerja, keamanan akan memiliki pekerjaan dan harmonisnya hubungan antara pengusaha dengan buruh. Saat ini, melanjutkan upaya revisi tidak hanya merupakan pekerjaan yang sia-sia tetapi malah kontra produktif. Dalam literatur ekonomi, terkadang tidak melakukan sesuatu adalah hal yang optimal dibandingkan dengan melakukan perubahan. Perubahan dengan niat yang baik sekalipun tidak akan membawa kebaikan jika tidak dilakukan pada situasi yang tepat dan oleh orang-orang yang tepat. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Home is just a click away. Make Yahoo! your home page now. http://us.click.yahoo.com/DHchtC/3FxNAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/