http://www.indomedia.com/bpost/012007/4/opini/opini1.htm
Anugerah Sungai Barito
(Catatan Harjad Barito Kuala)
Akibat penggundulan hutan di Hulu Barito, terjadi erosi yang menimbulkan
sedimentasi (pendangkalan) di hilir Sungai Barito sehingga daya tampung sungai
menjadi berkurang.
Oleh: Nasrullah
Mahasiswa Pascasarjana UGM Asal Batola
Desember 2006, merupakan bulan penghargaan bagi komunitas selebritas di tanah
air. Ada yang menerima penghargaan Panasonic Award dengan pelbagai kriteria,
ada mendapatkan penghargaan Anugerah Music Indonesia (AMI). Tepuk tangan
gembira pun diberikan kepada peraih penghargaan tersebut. Bagi masyarakat
Barito Kuala (Batola), tepatnya di hari jadi Kabupaten pada 4 Januari 2007
penghargaan itu mungkin bisa dibayangkan dengan berdirinya jembatan baru
membentang di sungai Barito. 'Jembatan Rumpiang', begitulah sebutan masyarakat.
Dimulai dari ide bupati Batola terdahulu Bardiansyah Mudjidi yang membuat
rancangan dalam bentuk miniatur hingga pembebasan lahan, dilanjutkan bupati
Eddy Sukarma menghubungi menteri terkait. Gayung bersambut. Perjuangan DPRD
Batola dan wakil Batola di DPR Jakarta H Hasanuddin Murad memperjuangkannya di
tingkat pusat sebagai isu strategis nasional, jadilah buah kerja sama itu
seperti direncanakan yang rampung 2007 sekarang.
Sebagai warga Batola, saya bersyukur sebab letak kabupaten berada tepat di
jalur sungai Barito. Tidak ada kabupaten lain di Kalsel dengan letak strategis
di jalur Sungai Barito seperti Batola, di mana segala sumberdaya alam dari
daerah hulu sebelum keluar Kalimantan harus 'pamit' kepada Kabupaten Batola.
Tidak ada pula jembatan besar di daerah lain menyamai Batola, seperti Jembatan
Barito dan Jembatan Rumpiang. Kita haris melihat letak strategis sebagai hal
menguntungkan. Namun sampai sekarang entah seberapa maksimal keuntungan itu
bisa dimanfaatkan? Justru terjadi adalah sebuah ironi luar biasa, bersama HSU,
Batola menyandang sebagai daerah tertinggal.
Januari adalah Hari Jadi Batola, yang dirayakan dengan upacara Sederet daftar
keberhasilan pembangunan kabupaten di jalur Sungai Barito ini diekspos kepada
publik. Biarlah sejenak kita larut dalam sebuah momen perayaan kelahiran
Batola. Tapi jangan lupa, tamu tahunan diundang atau tidak akan senantiasa
datang berkunjung. Setelah asap di musim kemarau, 'saudaranya' yang bernama
banjir akan bergantian berkunjung. Musim penghujan telah tiba, entah Maret,
April atau Mei, banjir (semoga tidak) akan datang lagi.
Akibat penggundulan hutan di Hulu Barito, terjadi erosi yang menimbulkan
sedimentasi (pendangkalan) di hilir Sungai Barito sehingga daya tampung sungai
menjadi berkurang. Sedimentasi menjadi faktor penyebab terjadinya banjir, juga
mengganggu transportasi sungai. Tugboat yang menarik tongkang batu bara sering
kandas di perairan Sungai Barito di wilayah Batola. Kalau kita mau melakukan
kerja sama dengan pelbagai pihak untuk mengeruk daerah yang terjadi
sedimentasi, maka daya tampung sungai menjadi lebih besar dan memudahkan
transportasi angkutan sungai.
Belajar dari banjir di Batola tahun lalu, saya malah membaca di media lokal
Batola ada yang menganggap banjir sebagai berkah bagi daerah yang terkena.
Sayang orang tersebut tidak berada di sana. Ia berada di kejauhan, sebagaimana
fotografer dari tempat jauh asyik mengambil gambar wedus gembel maupun curahan
lahar dari mulut Merapi untuk keperluan seni dan dipajang di ruang pameran.
Banjir bisa saja menjadi berkah, bagi kelompok elit tertentu. Pelajaran dari
berbagai bencana, banyak pihak mengambil kesempatan. Di Amerika Tengah, antara
1960-1988 terjadi 50 kali bencana besar di Costa Rica, Nicaragua, El Savador,
Honduras dan Guatemala. Pemerintah dan Partai Politik memanfaatkan bencana
sebagai ajang pembentukan kekuatan politik yang akibatnya melahirkan korupsi
militer.
Fenomena banjir memang perlu didefinisi ulang, sampai pada ukuran berapa
ketinggian air menjadi bencana. Apakah bencana kalau air setinggi matakaki,
selutut. Atau bahkan sampai pinggang ketika berdiri di dalam rumah masih
dianggap bukan bencana, setidaknya derita bagi warga setempat. Saya teringat
pendapat Irwan Abdullah (2006) dalam pidato pengukuhan dirinya sebagai guru
besar antropologi UGM berkenaan dengan bencana. "Bencana bukan merupakan
peristiwa yang tiba-tiba dan tak terelakkan," ujarnya.
Karenanya, suatu bencana tidak harus mengganggu stabilitas, menyebabkan
ketidakpastian, kekacauan atau runtuhnya sistem sosial budaya, merusak
kemampuan adaptasi masyarakat serta membahayakan sistem pandangan manusia.
Optimisme semacam ini dapat dicapai jika bencana telah menjadi pengetahuan
kolektif yang mekanisme respons terhadapnya telah diintegrasikan dengan baik
melalui proses sosialisasi dan didukung oleh infrastruktur kelembagaan yang
memadai.
Banjir menjadi salah satu contohnya, karena bukan terjadi secara tiba-tiba dan
menanti pembuktian kemampuan kita menghadapinya. Berbeda dengan kasus lumpur
Baram