Dalam Terang Cahaya Keheningan
Oleh: Gede Prama

Sebuah peradaban yang riuh, demikian sebuah komentar menyimpulkan kehidupan
di awal abad 21. Lebih-lebih ketika menghampar krisis energi dan pangan.
Banyak yang sepakat kalau dunia sedang mengalami kepanikan global. Wakil AS
menuduh India menghabiskan cadangan pangan karena jumlah penduduknya yang
besar. Wakil India menuding balik dengan menyebutkan kalau Amerika Serikat
dengan seluruh keserakahannya yang membuat krisis pangan dan energi. Di
Indonesia, pangan dan energi ini juga menjadi komoditi politik untuk
menjatuhkan lawan.

Ada yang menelaah wajah peradaban ini tidak dengan analisis, namun dengan
lelucon. Suatu hari seorang pemuda kebingungan memilih isteri. Datanglah
dia pada seorang sesepuh. Dan diberitahulah syarat-syarat calon isteri yang
baik. Dari berwajah cantik, puteri orang kaya, bekerja, berkinerja dahsyat
di tempat tidur sampai dengan bisa diminta mengepel lantai.

Ternyata, setelah dicari-cari tidak ada wanita ideal seperti itu. Bila
cantik, puteri orang kaya, wanita karir, maka harga yang harus dibayar,
suaminya terpaksa mengisi keseharian dengan mengepel lantai, sambil
bernyanyi sendu lirik lagu "diriku tak pernah lepas dari penderitaan".

Semakin dipertentangkan, semakin panas

Peradaban manusia serupa, setiap kelebihan meminta ongkos berupa
kekurangan. Keserakahan hanya mau kelebihan, dan berharap kelebihan tidak
berubah-ubah menjadi kekurangan, itulah awal kehidupan yang riuh dan penuh
penderitaan.

Dulu ketika dunia dibuat takut oleh potensi perang bintang antara dua
negara adi kuasa, tidak ada tanda-tanda ketakutan akan bom teroris.
Sekarang ketika ketakutan perang global berhenti, bahkan memasuki hotel pun
harus diperiksa petugas keamanan.

Nasib bangsa ini setali tiga uang. Ia terlihat berputar dari satu
ketidakpuasan menuju ketidakpuasan lain, karena manusianya menolak semua
kekurangan. Di zaman orde baru, sebagian hak-hak politik memang dikekang,
tapi di zaman itu harga pangan, papan dan minyak terjangkau. Di zaman
reformasi ini, kebebasan politik berkibar-kibar, siapa pun boleh dikritik,
namun ia harus dibayar dengan harga pangan, papan dan minyak yang semakin
jauh dari jangkauan. Persis sama dengan lelucon pemuda yang bingung mencari
isteri, setiap kelebihan harus dibayar dengan kekurangan.

Di tengah pengapnya peradaban oleh banyak sekali ketidakpuasan, tidak
terhitung jumlah rapat, konferensi, wacana, seminar sampai kuliah tingkat
tinggi di perguruan tinggi yang mau mencoba mengurai situasi. Dan ternyata,
semakin diperdebatkan peradaban jadi semakin panas.

Bila ada hasilnya, peradaban akan tambah sejuk. Namun sebagaimana dirasakan
bersama, bumi tambah panas baik secara fisik, psikologis, spiritual. Jika
ditelusuri lebih dalam kehidupan manusia, ia ditandai kelahiran dengan
tangisan bayi yang riuh, serta kematian plus tangisan orang yang
ditinggalkan yang juga riuh. Bila di tengah-tengahnya juga riuh dengan
perdebatan dan perkelahian, menimbulkan pertanyaan mendalam, kapan manusia
punya kesempatan berjumpa keheningan?

Menjadi satu dengan alam

Alam sebagai guru bertutur terang, semuanya berubah, semuanya membawa
kelebihan-kekurangan. Siang berganti malam, malam berganti siang. Bila
gunung tinggi, jurangnya dalam. Diperdebatkan atau tidak, tetap seperti
ini. Memahami dalam-dalam sifat alami inilah yang membukakan keheningan.

Seorang guru yang punya banyak murid di Barat agak terang dalam hal ini.
Tahapan memasuki pintu keheningan sebenarnya sederhana. Pertama-tama,
belajar dari alam. Kemudian hidup sesuai prinsip-prinsip alami. Sebagai
hasilnya, manusia bisa melihat kebenaran di balik alam. Dan ujung-ujungnya
baru bisa menjadi satu dengan alam. Sebelum menyatu dengan alam, manusia
akan terus berputar dari satu penderitaan ke penderitaan lain.

Ia yang bersatu dengan alam tahu, ada bimbingan, ada kesempurnaan, ada
keindahan di sana. Laut sebagai contoh, ia membawa bimbingan-bimbingan.
Sama dengan hidup manusia, ada gelombang tinggi (baca: kaya, dikagumi), ada
gelombang rendah (kehidupan orang biasa). Namun tanpa memandang
tinggi-rendah, gelombang mana pun ikhlas dan rendah hati pada bibir pantai.
Seperti sedang bercerita, ikhlas dan rendah hatilah, ini yang membuat
kematian berhenti berwajah menakutkan.

Siapa yang mengisi kesehariannya dengan keikhlasan dan kerendahatian, akan
menemukan bahwa alam sebenarnya sebuah perpustakaan agung. Berlimpah
pengetahuan dan kebijaksanaan yang disimpan di sana. Perhatikan laut lebih
dalam lagi. Di permukaan ia senantiasa bergelombang. Sama dengan hidup
manusia. Di kedalaman yang dalam, tidak ada gerakan apa lagi gelombang.
Hanya hening yang melukis keindahan dan kesempurnaan.

Cermati apa yang ditulis Zenkei Shibayama dalam A Flower does not talk:
"silently a flower blooms, in silence it falls away�.pure and fresh are the
flowers with dew�.calmly l read the True Word of no letters". Bunga mekar
tanpa suara, berguguran juga tanpa suara. Tanpa keluhan tanpa perdebatan.
Ada kesucian yang menggetarkan dalam bunga yang berhiaskan embun pagi.
Dalam bimbingan hening, tiba-tiba terbaca makna tanpa kata-kata. Zenkei
Shibayama menyebutnya Scripture of no letters. Tanpa kata-kata, tanpa
keriuhan. Hanya sebuah hati yang berkelimpahan dalam dirinya!

Kembali ke cerita awal tentang peradaban yang riuh, dunia memang sedang
dibelit krisis. Namun ketika kata-kata, perseteruan memperpanas suhu panas
peradaban yang sudah panas, mungkin ini saatnya membaca Scripture of no
letters. Ada yang menyebutnya pengetahuan di dalam yang hanya membuka
dirinya di puncak keheningan.

Untuk melangkah ke sana, mulailah hidup sesuai hukum alam. Ia yang mengalir
bersama alam, tersenyum pada setiap putaran alam tahu sebenarnya tidak ada
hukuman. Apa yang kerap disebut sebagai bencana, sebenarnya hanya undangan
laut untuk menyelam semakin dalam. Memasuki wilayah-wilayah tanpa gelombang
(baca: tanpa perdebatan) namun penuh keheningan.

Sebagaimana ditulis rapi oleh kehidupan para Mahasidha (manusia yang
menjadi agung karena melewati banyak rintangan seperti Jalalludin Rumi,
Bunda Theresa, Milarepa, Mahatma Gandhi), awalnya bencana terlihat sebagai
cobaan. Namun begitu dialami, ia memperkuat otot-otot kehidupan. Persis
seperti otot fisik yang kuat karena banyak dilatih. Bila begini cara
memandangnya, bencana bukannya membawa kegelapan kemarahan, ia membawa
cahaya penerang.

Berbekalkan ketekunan, bencana membuat batin kebal dengan penderitaan.
Kekebalan ini kemudian membuat manusia bisa menyambut semua dualitas
(baik-buruk, sukses-gagal, hidup-mati) dengan senyuman yang menawan. Inilah
secercah cahaya keheningan. Ia menyisakan hanya satu hal: compassion is the
only nourishment. Dualitas memang lenyap, kasih sayang kemudian membuat
kehidupan berputar.


Charles Asiku
pin:21EF6D92



Powered by Telkomsel BlackBerry®

------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke