REFLEKSI: Alangkah hebat kalau Pak Harto dan konco-konco berkuasa berubah menjadi manusia-manusia suci, lalu karena kesucian ini mereka kembalikan semua harta umat [rakyat] yang selama ini dimiliki dengan cara KKN, pasti kita semua gembira dan bangga serta panjatkan syukur kepadaNya bahwa harapan kemakmuran telah berada diambang pintu.
http://www.indomedia.com/bpost/102005/21/opini/opini2.htm Mencetak Manusia Suci Dengan Puasa Oleh : Yulia Hafizah MEI Puasa, yang sekarang dijalankan umat Islam di seluruh dunia, merupakan ibadah wajib (mahdhah) yang diyakini berfungsi tidak hanya sebagai ritual rutin yang harus dilaksanakan setiap individu muslim sebagai wujud penghambaannya kepada Tuhan semata. Tetapi lebih dari itu, ia memiliki semacam metode dalam rangka membangun kualitas kepribadian seorang muslim yang unggul dan tangguh. Proses pembinaan mental dan kepribadian dalam Islam bersifat kontinyu, dan tak mengenal istilah henti (long life education). Secara harian, proses ini dimanifestasikan dalam ritual shalat, setidaknya selama lima kali sehari semalam. Untuk bulanan, ada ibadah puasa yang menggembleng seorang muslim selama satu bulan penuh pada Ramadhan. Untuk tahunan, yaitu zakat. Kemudian yang sifatnya sekali seumur hidup, yaitu perjalanan ibadah haji. Semua bentuk ibadah di atas, terangkum dalam Rukun Islam yang merupakan kewajiban setiap muslim yang aqil dan baligh untuk ditunaikan. Proses pendidikan semacam ini yang diterapkan Rasulullah SAW, yang kemudian mengantarkan kepada kejayaan umat Islam (the golden age). Oleh karenanya, penelusuran atas hikmat yang dikandung masing-masing ibadah ini menjadi sesuatu yang penting sekali. Terlebih saat ini, umat Islam berada di Bulan Ramadhan, suatu bulan istimewa yang penuh berkah dan kemuliaan. Tulisan ini secara sederhana membahas kaitan antara puasa sebagai kewajiban setiap muslim di Bulan Ramadhan, dengan kesucian (fithrah) yang akan diperoleh pelakunya selepas Ramadhan. Kewajiban Semua Makhluk Puasa sebagai suatu perintah yang diwajibkan atas setiap orang beriman terdapat dalam Firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa." (QS Al-Baqarah: 183). Berangkat dari pemahaman pada ayat tersebut, dapat diketahui, puasa bukan suatu bentuk ibadah yang khas dimiliki umat Islam saja. Bisa dipastikan, tidak ada satu agama pun di dunia ini yang tidak memiliki ritual bernama puasa. Bukan hanya manusia, binatang pun pada saat-saat tertentu menjalani ritual yang satu ini. Misalnya, ulat akan berpuasa sebelum menjadi seekor kupu-kupu. Begitu juga ular sewaktu mengganti kulit, akan berpuasa sebelumnya. Meski ada perbedaan dalam praktiknya, namun ada satu benang merah yang menghubungkan antara bermacam ritual puasa, yaitu pada dasarnya semuanya memiliki orientasi untuk peningkatan kualitas tertentu bagi pelakunya. Baik sifatnya fisik maupun psikis, duniawi (profan) maupun yang memiliki unsur transenden. Dalam Islam, kualitas yang ingin dicapai dari berpuasa adalah taqwa. Ini adalah kualitas tertinggi yang bisa diraih manusia sebagai hamba Allah. Tidak ada kualitas yang lebih mulia dan lebih tinggi dari itu. Bagi mereka yang memperoleh kualitas demikian, janji Allah berupa surga akan diberikan padanya. Firman Allah SWT: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan (maghfirah) dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa." (QS Ali Imran: 133). Dalam Perspektif Islam Perintah puasa dalam Islam ditujukan kepada orang beriman. Di sini unsur iman menjadi parameter utama. Mengapa? Karena, puasa tidak seperti ritual ibadah mahdhah lainnya, ia memiliki unsur 'kerahasiaan' yang sangat kuat. Puasa adalah ibadah yang sangat personal dan merupakan hubungan sangat khusus antara hamba dengan Tuhannya. Karenanya, yang diseru kemudian adalah iman seseorang, keyakinannya pada perintah Tuhan yang mewajibkan atasnya puasa. Berangkat dari karakteristik puasa yang sangat pribadi ini, kualitas taqwa diharapkan bisa terwujud. Bagaimana mekanisme kerjanya? Puasa sebagaimana Rukun Islam lainnya, memiliki fungsi sebagai sarana latihan bagi seorang muslim. Selama seseorang menjalankan puasa dengan penuh kesadaran dan keyakinan, tidak makan dan minum serta perilaku lainnya yang bisa membatalkan puasa. Mengapa ia mau menjalankan demikian? Karena ia sadar, meski tidak ada seorang pun yang tahu, apakah ia benar-benar berpuasa atau tidak, ada yang Maha Tahu yang mengawasi dia. Ada yang Maha Hadir (omnipresent) yang selalu memperhatikan gerak-geriknya, sehingga dia ulus dan penuh kesadaran rela untuk tidak melakukan hal yang sebenarnya 'halal', demi ketaatan pada perintah kepada yang Maha Hadir tadi. Proses pembinaan atas 'pengetahuan' senantiasa diawasi yang Maha Hadir ini, kelak akan memunculkan sifat taqwa pada diri seseorang. Taqwa secara sederhana diartikan sebagai takut kepada Tuhan, yang dilaksanakan dengan menjauhi segala larangan Nya dan menjalankan semua perintah Nya. Pada prinsipnya, kata taqwa mengandung makna: pelaksanaan iman dan amal shaleh; memelihara hubungan dengan Tuhan bukan saja karena takut, tetapi lebih dari itu yaitu kesadaran diri sebagai hamba Allah. Orang yang bertaqwa (muttaqi), meminjam istilah Mirza Nashir Ahmad (1996) disebut the righteous, orang yang lurus atau budiman. Masih dalam lingkup pembentukan taqwa, intisari dari puasa adalah pengendalian diri. Setidaknya menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual. Ketiga faktor ini yang 'menjatuhkan' manusia dari unsur kemuliaannya, ketika tidak bisa dikendalikan dengan baik. Kejatuhan Adam dari surga, adalah satu bentuk ketidakmampuannya menahan diri dari tidak memakan buah yang dilarang Allah SWT. Dalam berpuasa, seorang muslim menahan dirinya untuk tidak melakukan sesuatu yang 'halal'. Logika yang bisa diambil, sesuatu yang halal saja, seorang muslim mampu menahan dirinya, apalagi terhadap yang haram. Manusia Suci Dengan pemahaman seperti tersebut, dipastikan ketika puasa dilakukan secara benar dan penuh ketulusan, derajat taqwa pun akan bisa diperoleh. Ramadhan, adalah bulan penyucian jiwa. Selama Ramadhan, dengan ritual puasa dan ibadah lainnya, pemuasa digembleng lahir batin untuk mendapatkan kualitas taqwa itu. Dalam Ramadhan, ada satu malam yang disebut lailatul qadr, kebaikannya melebihi seribu bulan. Malam istimewa ini, bisa dicari --berdasarkan petunjuk Rasul-- pada sepuluh terakhir Ramadhan. Ini memiliki relevansi yang sangat kuat dengan penyucian diri. Lailatul qadr, jelas hanya akan menemui mereka yang telah suci jiwanya. Dua puluh hari menjalankan puasa, diharapkan seorang muslim bisa menyucikan jiwanya sehingga pada sisa akhir berikutnya, lailatul qadr datang menyapanya. Pasca Ramadhan, seorang muslim diyakini suci jiwanya. Oleh karenanya perlu dirayakan dengan Idul Fithri, hari raya penyucian. Sebagai penambah nilai kesucian ini, ada kewajiban zakat fithrah sebagai manifestasi penyucian jiwa dan harta. Tapi Ramadhan bukan akhir dari proses ritual. Ia baru merupakan langkah awal yang akan ditentukan pada 11 bulan berikutnya. Ramadhan, diharapkan mampu mewarnai 11 bulan pasca Ramadhan. Ini yang diharapkan dari pembinaan mental dan kepribadian yang berlangsung selama Ramadhan. Dosen Fak Syariah IAIN Antasari, tinggal di Banjarmasin e-mail: [EMAIL PROTECTED] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/