REPUBLIKA

Selasa, 18 Oktober 2005

Menggugat Monopoli Beras dan Gandum 




Wiwik Suhartiningsih
Konsultan, Alumnus IPB

Tahun ini, di tengah keprihatinan akan dampak berganda kenaikan harga BBM dan 
bom Bali II, peringatan Hari Pangan 16 Oktober berlangsung sederhana. Karena 
sederhananya, perhelatan ini tidak ter-cover oleh media. Perhelatan tahun ini 
mengangkat tema: ''Pekarangan sebagai Sumber Pangan''. Pekarangan dilirik 
sebagai sumber pangan? Maklum, kelaparan, kekurangan gizi, dan ketahanan pangan 
masih jadi masalah utama negeri ini. 

Maklum, meskipun ketersediaan pangan melimpah, kelaparan dan kekurangan gizi 
tidak serta-merta hilang. Kelaparan dan kekurangan gizi adalah mata rantai 
kemiskinan. Sepanjang kemiskinan ada di muka, kelaparan dan kurang gizi akan 
eksis. Menurut BPS, pada tahun 2004 terdapat 36 juta orang miskin. Di tahun 
yang sama, Departemen Kesehatan melansir data sekitar 1,67 juta (delapan 
persen) dari 20,87 juta anak usia 0-4 tahun menderita kurang protein alias 
busung lapar. Toh, seperti gunung es, jumlah sesungguhnya kita tidak tahu.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memberantas kemiskinan dan 
menanggulangi kekurangan gizi. Tapi sampai hari ini kedua masalah itu masih 
menjadi agenda utama yang jauh dari selesai. Salah satu pangkal persoalannya 
adalah karena desain ketahanan pangan kita yang salah kaprah.

Simplifikasi
Lebih dari tiga dasawarsa, pengertian ketahanan pangan disimplifikasi menjadi 
swasembada beras. Pada 1984 kita memang bisa berswasembada beras. Tapi prestasi 
itu hanya bertahan selama lima tahun. Sejak itu, kita jatuh menjadi pengimpor 
beras terbesar di dunia.

Selain itu, lewat strategi harga murah (dilakukan pada tahun 1980-an), 50 
persen lebih rendah dari harga internasional, pemerintah mendorong pangan 
terigu dari impor. Tidak heran jika dalam sepuluh tahun terakhir, konsumsi 
bahan pangan dari terigu meningkat pesat. Jika pada 1987 konsumsi terigu per 
kapita masih 1,05 kg/tahun, sepuluh tahun berikutnya mencapai 2,64 kg/tahun. 
Kini bahan pangan terigu amat beragam.

Bahan pangan terigu bisa mensubstitusi beras. Peningkatan konsumsi terigu 
memperbesar impor biji gandum, bahan baku tepung terigu. Tahun 1997/1998, impor 
biji gandum kita sebesar 3,7 juta ton, dan tahun 2000/2001 naik menjadi 4,1 
juta ton. Kini terbukti, penumpukan pangan pada beras dan gandum membuat 
ketahanan pangan kita amat rapuh dan rentan. Pertama, besarnya ongkos 
sosial-ekonomi. Secara sosial, ketergantungan yang sangat besar terhadap beras 
telah menggusur budaya makan pangan lokal yang beragam yang sudah teruji 
sejarah dan berlangsung berabad-abad.

Saat ini, 95 persen perut penduduk Indonesia sangat bergantung pada makanan 
bernama nasi, dengan rata-rata konsumsi 134 kg per kapita per tahun. Dalam 
neraca makanan, sumbangan beras terhadap sumbangan energi dan protein masih 
sangat tinggi, yaitu lebih dari 55 persen. Ketergantungan tersebut membuat 
upaya diversifikasi pangan jadi mandeg. Secara ekonomi, impor beras dan terigu 
masing-masing rata-rata dua juta dan empat juta ton per tahun telah menguras 
devisa. Memang, dua tahun terakhir impor beras turun. Tapi tak ada jaminan ke 
depan lebih baik.

Kedua, secara politik, ketergantungan yang tinggi pada pangan impor membuat 
posisi politik Indonesia menjadi rentan. Harga pangan di pasar dunia amat 
berfluktuasi. Antara tahun 1954 hingga 1994 misalnya, harga beras pernah 
mencapai sekitar 600 dolar AS per ton dan terendah 200 dolar AS per ton.

Ketidakstabilan ini membuat posisi Indonesia dan negara berkembang net importer 
bisa menjadi bulan-bulanan negara maju. Menaruh pasokan pangan dari impor juga 
mengekspose pasar pangan domestik terintegrasi dengan pasar pangan dunia. Ini 
ibarat pedang bermata dua: memukul konsumen ketika harga tinggi, dan menendang 
produsen ketika harga rendah. Fluktuasi harga pangan juga akan mendestabilisasi 
politik domestik, seperti terjadi tahun 1965 dan tahun 1998 lalu. 

Berpijak dari kondisi itu, sudah semestinya ketahanan pangan kita taruh di 
pundak para stakeholder pangan domestik. Hal ini bisa dimulai dengan merancang 
ketahanan pangan berbasis pangan lokal non-beras. Seiring otonomi daerah, 
pemerintah daerah bisa merancang ketahanan pangan berbasiskan pangan lokal. 
Dengan desain yang matang dan ditopang oleh alokasi anggaran yang memadai, 
nantinya akan terbentuk cluster-cluster pangan lokal yang unik.

Paling tidak, ada dua pembenaran untuk pilihan ini: melibatkan aktor utama 
(petani) secara langsung, dan memanfaatkan kekayaan hayati setempat. Dari 
cluster-cluster pangan lokal yang kokoh dan mengakar (indigenous) inilah 
nantinya, secara agregat, akan membentuk dan menopang ketahanan pangan nasional 
yang kokoh. 

Setara beras/terigu
Sebagai negara agraris, Indonesia sebenarnya punya banyak potensi sumber pangan 
yang dapat dimanfaatkan, selain beras. Menurut Atlas Keanekaragaman Hayati, 
Indonesia mempunyai 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat; 75 jenis sumber 
lemak/minyak; 26 jenis kacang-kacangan; 389 jenis buah-buahan; 228 jenis 
sayuran; 40 jenis bahan minuman dan 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan.

Di antara tanaman pangan sumber karbohidrat, terdapat beberapa jenis yang 
memiliki kandungan gizi setara dengan beras/terigu, misalnya garut (Maranta 
arrundinaceae L) atau ubi kayu (Manihot esculanta), sehingga tanaman ini 
potensial mensubstitusi beras/gandum. Tidak banyak yang menyadari bahwa 
penanaman dan pemeliharaan komoditas-komoditas tersebut relatif sangat mudah 
dan memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Ketela pohon mampu menghasilkan 
30-60 ton per hektare, garut 40 ton per hektare, ganyong 30 ton per hektare, 
dan sukun 30 ton per hektare. 

Bandingkan dengan beras yang hanya antara empat sampai enam ton per hektare. 
Dari dulu, dari dalam hutan, masyarakat mengetahui ada banyak sumber 
karbohidrat yang terbagi berlapis-lapis, dari dalam tanah sampai ke atas tanah. 
Orang Jawa menyebutnya ''pala kependhem'' jika buahnya terdapat di dalam tanah, 
dan ''pala gembandhul'' bila buahnya ada di atas tanah. ''Pala kependhem'' 
antara lain, uwi, gembili, ketela rambat, gembolo, talas, kentang, dan yang 
lain. Sedangkan ''pala gembandhul'' seperti jagung, pisang, dan nangka.

Umbi-umbian yang banyak tumbuh di lahan kering ternyata memiliki berbagai 
keunggulan, yaitu: (1) mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi sebagai 
sumber tenaga, (2) sumber vitamin A dan sumber protein penting, (3) 
menghasilkan energi yang lebih banyak per hektare dibandingkan beras dan 
gandum, (4) dapat tumbuh di daerah marjinal di mana tanaman lain tidak bisa 
tumbuh, (5) sebagai sumber pendapatan petani karena bisa dijual sewaktu-waktu, 
dan (6) dapat disimpan dalam bentuk tepung dan pati. 

Masalah
Masalahnya, pangan-pangan lokal non-beras ini kontinuitas ketersediaannya masih 
berfluktuasi, kualitasnya rendah, dan belum diolah menjadi pangan olahan yang 
menarik, bergengsi, mudah didapat, dan murah harganya. Dengan berbagai 
kelebihan dan kekurangannya, sudah waktunya kita memberikan perhatian yang 
lebih besar untuk mendorong peningkatan pemanfaatan pangan non-beras melalui 
upaya: (1) peningkatan produktivitas dengan varietas unggul; (2) peningkatan 
kualitas dengan menggunakan varietas yang mempunyai kandungan zat gizi yang 
tinggi; (3) pengembangan teknologi penanganan dan penyimpanan yang tepat guna, 
sehingga tidak banyak yang rusak atau busuk serta tahan lama; dan (4) pengayaan 
teknologi pengolahan (fortikasi) yang dapat meningkatkan citra dan nilai tambah 
umbi-umbian agar lebih bergengsi dan murah. 

Dengan memanfaatkan potensi sumber bahan pangan lokal tersebut, sebenarnya 
Indonesia dapat menciptakan ketahanan pangan yang tangguh. Bahkan dengan 
potensi yang demikian besar Indonesia mestinya dapat menjadi negara lumbung 
pangan dunia sekaligus mampu membantu masyarakat dunia mengatasi kekurangan 
pangan seperti yang diramalkan oleh FAO. 

Menurut FAO (2002), tidak kurang dari 815 juta penduduk dunia sedang bergulat 
melawan kelaparan yang hebat. Tragedi tersebut mengakibatkan tiap empat detik 
satu jiwa melayang. Selain itu, sekitar 777 juta penduduk dunia mengalami 
kelangkaan pangan, dan tinggal selangkah lagi masuk kategori kelaparan.

Ketahanan pangan secara luas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi 
kecukupan pangan masyarakat dari waktu ke waktu. Kecukupan pangan ini mencakup 
segi kuantitas, kualitas, dan distribusinya yang aman, merata, serta 
terjangkau. Terwujudnya ketahanan pangan tersebut akan tecermin, antara lain, 
dari ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau daya beli masyarakat serta 
terwujudnya diversifikasi pangan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi, aman 
untuk dikonsumsi dalam arti tidak membahayakan jiwa dan kesehatan masyarakat, 
tersebar merata dan terjamin kualitasnya.

Pembangunan di bidang pangan harus diarahkan pada upaya peningkatan swasembada 
pangan yang tidak hanya berorientasi pada beras dan gandum saja namun didukung 
pula oleh jenis-jenis komoditi lokal-strategis (multipurpose tree specieses). 
Dengan desain demikian, ketahanan pangan kita akan menjadi tangguh.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Kirim email ke