http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=194007
Rabu, 19 Okt 2005,



Menggugat Tayangan Sinetron Religius
Oleh Benni Setiawan *



Beberapa tahun terakhir ini, pemirsa tayangan televisi dimanjakan dengan 
berbagai ragam acara yang bernuansa religius. Tayangan-tayangan tersebut 
diformat sedemikian rupa sehingga digemari penonton. 

Selain itu, ada beberapa tayangan religius yang langsung didampingi dai-dai 
kondang Indonesia seperti, Arifin Ilham, Jefri al Bukhori, Luthfiah Sungkar, 
dan seterusnya. Pendamping sinetron itu mengajak pemirsa untuk merenungkan apa 
yang telah dilihatnya di awal ataupun di akhir tayangan.

Sinetron bernuansa religius itu semakin marak dengan datangnya bulan Ramadan. 
Tayangan seperti Takdir ilahi, Rahasia Ilahi, Kehendakmu, Insyaf Ramadan, dan 
sebagainya yang konon memiliki rating tertinggi menambah marak suasana Ramadan. 
Pertanyaannya, benarkah tayangan-tayangan tersebut sarat nilai dan memang 
memperjuangkan kejayaan agama Islam pada khususnya?

Sinetron yang bernuansa religius itu mau tidak mau harus kita terima sebagai 
sebuah tawaran baru dalam persinetronan Indonesia. Atau paling tidak menjadi 
salah satu cara dakwah dalam Islam itu sendiri. 


Televisi

Televisi menjadi salah satu hiburan yang murah bagi bangsa Indonesia. Sebab, 
harga televisi tidak terlalu mahal dan terjangkau oleh kalangan bawah 
sekalipun. 

Televisi juga telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup masyarakat. 
Hal itu terbukti dengan penelitian Jalaluddin Rahmat (1995) bahwa televisi 
banyak mengatur jadwal hidup dan kegiatan hidup masyarakat. Masyarakat rela 
menyesuaikan agenda-agenda kerja demi menonton sebuah acara televisi. 

Apalagi, hal tersebut dihubungkan dengan efek negatif dari kenaikan harga bahan 
bakar minyak (BBM) sekarang. Pasien gangguan jiwa meningkat gara-gara BBM. 
Masyarakat akan banyak mencari hiburan dengan cara menonton televisi ataupun 
jalan-jalan.

Kecenderungan masyarakat demikian setidaknya cukup mengkhawatirkan. Lalu apa 
hubungannya dengan sinetron religius? Tayangan sinetron religius sering 
mengisahkan perjalanan seseorang dalam mengarungi hidup sampai ajal. Biasanya 
seseorang itu digambarkan dalam peran berwatak jahat ataupun baik. Orang jahat 
biasanya digambarkan dengan siksa yang pedih menjelang ajal (sakratulmaut). 

Peristiwa-peristiwa aneh mengiringi kematiannya, seperti hilangnya keranda dari 
tempat penyimpanan, liang kubur yang dipenuhi ular, air, kalajengking, dan 
seterusnya.

Berbeda dengan yang disebutkan di atas, orang baik digambarkan hidupnya selalu 
rukun dan damai. Ketika menjelang sakratulmaut pun, orang baik digambarkan 
dengan keadaan yang baik pula, seperti mayat yang wangi, mayat yang utuh selama 
sekian tahun, dan sebagainya.

Pencitraan yang demikian sering membuat kita menjadi tambah iman dan amal 
saleh. Namun, tayangan-tayangan tersebut menjadi sebuah Tuhan baru di tengah 
masyarakat.


Mitos

Sinetron yang demikian di awal 2000-an telah menjadi perbincangan publik. Ambil 
contoh, sinetron Keluarga Cemara, Bidadari, Misteri Gunung Merapi. Dalam cerita 
keluarga Cemara, diceritakan keadaan keluarga yang damai dan bagian hidup di 
tengah perkampungan masyarakat. Keluarga tersebut terdiri atas kedua orang tua 
dan tiga anak gadis yang selalu berbakti kepada orang tua.

Kritik yang terlontar dari sinetron ini adalah kapan ketiga anaknya salat 
Subuh. Padahal, ketiga anaknya dibangunkan orang tuanya ketika fajar sudah 
tinggi dan langsung bergegas ke sekolah dengan membawa barang jajanan.

Gambaran sinetron-sinetron tersebut tidak lebih dari pengagung terhadap 
mitos-mitos-meminjam bahasa Kuntowijoyo. 

Periodisasi masyarakat menurut Pak Kunto adalah mitos, ideologi, dan ilmu. 
Masyarakat Indonesia yang sudah merdeka 60 tahun ini ternyata belum mampu 
keluar dari periode mitos yang membelenggu. 

Kuntowijoyo (2002) menyatakan, mitos tidak perlu ada pengalaman. Mitos itu 
dituturkan secara subjektif, dalam arti kebenarannya hanya berlaku di 
masyarakatnya dan tak ada kaitannya antara pengalaman dan penuturan. 

Sinetron religius pun demikian. Sinetron religius yang diilhami dari 
kisah-kisah nyata dituturkan secara subjektif. Tidak ada orang yang tahu selain 
yang membuat cerita-cerita tersebut di atas.

Guna mengakhiri periode mitos, Pak Kunto menawarkan adanya demitologisasi 
(peniadaan mitos). Demitologisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara. 
Pertama, ilmu pengetahuan harus dapat menjelaskan hal yang sebenarnya mengenai 
sinetron religius tersebut. Dengan ilmu, seseorang dapat membedakan antara yang 
hak (benar) dan yang batil (salah).

Kedua, memurnikan ajaran agama (puritanisme). Dengan adanya gerakan puritanisme 
yang banyak dipelopori Muhammadiyah, sinetron religius tersebut dapat ditekan 
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesyirikan baru di tengah 
masyarakat. 

Ketiga, sejarah dan seni. Sejarah yang bersifat rasional dan faktual akan dapat 
menangkal mitos-mitos di masyarakat. Demikian pula dengan seni. Seni bersifat 
konkretisasi dari yang abstrak. Hal itu tentunya akan sangat bertentangan 
dengan mitos yang bersifat abstraksi.

* Benni Setiawan, alumnus UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Life without art & music? Keep the arts alive today at Network for Good!
http://us.click.yahoo.com/FXrMlA/dnQLAA/Zx0JAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 




Kirim email ke