Catatan laluta: 

Seusainya isue panas melanda "krisis koalisi pemerintahan SBY jilit II" yang 
mulai mereda itu, kemudian cuaca perpolitikan di tanah air dikejutkan kembali 
oleh hembusan badai berita KKN perpolitikan Indonesia ketika kunjungan 
rombongan 
Wakil Presiden Boediono ke Australia, 9-13 Maret 2011.  


Agenda kunjungan rombongan WaPres. Boediono bersama sejumlah menteri yang turut 
serta dalam perjalanan, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Menteri Perdagangan 
Mari Elka Pangestu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Pendidikan 
Nasional M Nuh dan Menteri PAN EE Mangindaan, yakni untuk melakukan berbagai 
pertemuan dan kegiatan di tiga kota, yakni Perth, Canberra dan Sydney, rupanya 
agak terganggu lantaran sambutan berita media The Age dan The Sydney Morning 
Herald, yang intinya memuat berita:  "Presiden SBY menyalahgunakan  kekuasaan 
untuk kepentingan ambisi politiknya." 


Berita The Age, yang diambil dari sumber Wikileaks itu, juga menyebut Ibu Ani 
Yudhoyono mempunyai peran aktif pula dalam mempengaruhi kebijakan politik 
suaminya. Ani Yudhoyono disebut mempunyai hubungan baik dengan para pengusaha, 
termasuk pengusaha kaya Tomy Winata.
 
Banyak reaksi dari kalangan politik elit di tanah air, bahkan.. "...Pimpinan 
DPR 
memprotes keras pemberitaan media massa Australia, Jelas ada maksud politik 
yang 
sistematis untuk menggoyahkan stabilitas politik pemerintahan SBY," ujar Ketua 
DPR Marzuki Alie kepada detikcom, Sabtu (12/3/2011).

Protes senada disampaikan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan: "BIN harus lebih 
lanjut menyelidiki kenapa informasi itu disampaikan disaat Wapres sedang 
kunjungan resmi di Australia apakah ada pengkhianat bangsa yang sengaja 
melakukan hal itu dengan menggunakan jurus dewa mabuk," .."

info selanjutnya silahlan click:  
http://us.detiknews.com/read/2011/03/12/214950/1590440/10/dpr-kritisi-pemberitaan-sydney-morning-herald-dan-the-age-soal-sby?nd991103605


Sehubungan dengan adanya berita angin badai dari dalam negeri  "krisis koalisi 
pemerintahan SBY jilit II", kemudian berita angin badai berhembus dari 
Aussie... 
maka pertanyaannya adalah, bagaimana publik opini merespons sistim "Demokrasi 
ala Indonesia" dibawah rejim pemerintahan SBY jilit I&II itu? ini mengingat 
semakin maraknya kasus KKN dari tingkat pusat sampai daerah...

Ada yang "Meragukan Komitmen dan Ketegasan Politik SBY", pula yang 
mempertanyakan : "Percaya The Age atau SBY ?" tapi ada pula yang menyatakan 
"Demokrat (SBY) Balik Kucing" tapi perlu... "Mewaspadai Bahaya Laten Demokrasi 
Kolusif"..  untuk itu silahkan baca lampiran dibawah ini...


Selamat berhari pekan,
MiRa


***
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2011/03/12/percaya-the-age-atau-sby/

Politik
Bang Rizal Kalau dunia ingin mengenal diri kita, tulislah! Salam kenal untuk 
semua. Semoga bermanfaat.  

Percaya The Age atau SBY ?OPINI | 12 March 2011 | 13:09   
________________________________
 
 
Ilustrasi

Presiden ‘Korup’, Keluarga Presiden ‘Kemaruk’, TB Silalahi ‘Informan’ Amerika 
di 
Istana Negara, kata Telegram Diplomat Amerika di Wikileaks. Kasar dan vulgar! 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan para elite Istana pusiiiiiing 
menangkis tudingan publikasi telegram yang dimuat The Age, koran Australia yang 
memasang headline Yudhoyono ‘abused power’.

Membantah,mengelak, balik menuding adalah strategi awal yang ditempuh para 
elite 
Istana. Semua media, cetak dan televisi nasional gencar menayangkan jurus 
DEFENSIF yang diperagakan para elite Istana itu. Sayang, strategi ini adalah 
taktik umum yang sudah usang. Bahkan, pemerintah sejauh ini hanya menyatakan 
akan memanggil Duta Besar Amerika Serikat, Scot Alan Marciel. Cuma memanggil? 
Trus kalau sudah dipanggil mau ngapain?

Bagi SBY dan gang Istana-nya, pemberitaan The Age itu diibaratkan seperti 
ditikam teman sepermainan. Amerika (teroris nomor wahid dunia) itu diduga 
sebagai dalang dibalik tereksposnya kawat-kawat diplomatiknya dan memberikan 
hak 
penayangan eksklusif atas telegram diplomat Amerika yang dibocorkan oleh situs 
Wikileaks.

The Age dalam laporannya menyebut adanya dugaan yang menguatkan kalau Kedutaan 
Amerika Serikat di Jakarta menggunakan orang-orang di lingkaran dekat kekuasaan 
untuk melakukan kegiatan spionase atas pemerintahan Presiden SBY. Hal itu dapat 
ditengarai dengan menunjukkan hal-hal berikut:

- Spionase Kedutan Amerika atas presiden diduga banyak mengandalkan informasi 
dari Tiopan Bernhard Silalahi, bekas petinggi militer yang sejak 2006 menjadi 
penasehat keamanan presiden. Telegram menyebut TB Silalahi, pernah mengambil 
kursus militer di Amerika Serikat, sebagai ‘informasi paling berharga’.

- TB Silalahi termasuk yang membisikkan ke telinga diplomat Amerika di Jakarta 
kalau Presiden Susilo sendiri yang meminta pejabat senior Kejaksaan Agung untuk 
berhenti dari usaha menjerat Taufik Kiemas, suami bekas Presiden Megawati 
Soekarnoputri, dalam sejumlah kasus tender ratusan miliar rupiah. Telegram 
menggambarkan Taufik “sudah tersohor dengan korupsinya sejak kekuasaan 
Megawati”.

- Kedutaan Amerika punya informan di kalangan Partai Golkar, utamanya pada 
sejumlah kandidat yang berlaga dalam Kongres Partai Golkar pada Desember 2004. 
Informan-informan inilah yang membisikkan ke telinga diplomat Amerika kalau 
Jusuf Kalla keluar uang paling tidak US$ 6 juta untuk memenangkan kongres di 
Bali dan menjungkalkan Akbar Tandjung.

- Informan-informan Kedutaan Amerika di lingkaran dekat kekuasaan dan juga 
Partai Kebangkitan Bangsa. Informan-informan ini intinya membisikkan sejumlah 
hal yang mengisyaratkan kalau Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, 
“mengintimidasi” hakim yang menangani persidangan sengketa kepemilikan Partai 
Kebangkitan Bangsa, demi menutup kemungkinan kemenangan kubu almarhum bekas 
Presiden Abdurrahman Wahid.

- Yahya Asegaf, seseorang yang dalam berita The Age digambarkan sebagai 
‘pejabat 
senior Badan Intelejen Negara (BIN)’ telah mensuplai informasi ke diplomat 
Amerika di Jakarta. Yahya antara lain membisikkan kalau presiden menggunakan 
BIN 
untuk memata-matai musuh-musuh politiknya, termasuk seorang menterinya sendiri. 
Spionase itu, kata The Age, menimpa Jenderal Wiranto. Yahya juga mensuplai 
informasi ke diplomat Amerika kalau presiden, via TB Silalahi, punya hubungan 
dekat dan mendapat dukungan dana besar dari Tomy Winata, pengusaha yang 
digambarkan dalam telegram sebagai bos besar “Sembilan Naga”, sindikat 
perjudian 
di Indonesia.

- Agung Laksono pernah membisikkan informasi ke diplomat Amerika yang intinya 
kalau TB Silalahi yang menjadi “orang penengah, yang memindahkan uang Tomy 
Winata ke Yudhoyono, demi melindungi presiden dari masalah yang kemungkinan 
muncul jika presiden sendiri yang langsung berhubungan.

- Diplomat Amerika juga mendapat informasi kalau Tomy Winata menggunakan 
‘Muhammad Lutfi’, seorang pengusaha muda, untuk menyalurkan ‘bantuan’ dana ke 
Presiden Susilo. Lutfi belakangan adalah orang kepercayaan SBY di Badan 
Koordinasi Penanaman Modal.

- Pejabat senior BIN, Yahya Asegaf, membisikkan ke diplomat Amerika kalau Tomy 
Winata berusaha memupuk pengaruh dengan menggunakan salah satu tangan kanan 
presiden untuk mencuri perhatian Kristiani Herawati, istri presiden.

- Telegram diplomat Amerika menggambarkan keluarga-keluarga presiden “khususnya 
Kristiani Herawati … mengeruk keuntungan dari posisi politis mereka.”

- Pada Juni 2006, seorang staf presiden membisikkan ke diplomat Amerika kalau 
anggota keluarga Presiden Susilo “mengincar peluang-peluang bisnis di BUMN.”

- Telegram diplomat Amerika menggambarkan Kristina Herawati sebagai “penasehat 
presiden yang tak punya lawan.” Merujuk dari informasi Yahya Asegaf, diplomat 
Amerika mengabarkan ke Washington kalau opini Kristiani dalam banyak hal 
menjadi 
“satu-satunya yang jadi pertimbangan” presiden dalam mengambil keputusan.

- Informan Kedutaan Amerika di kalangan LSM membisikkan kabar kalau mereka 
telah 
menerima informasi “kredibel” kalau dana penalangan Bank Century dipakai untuk 
membiayai kampanye pemilu presiden pada 2009. DPR belakangan menyelidiki hal 
ini, menemukan sejumlah pelanggaran serius dan merekomendasikan pemeriksaan 
hukum atas bekas menteri keuangan Sri Mulyani dan Boediono.

Tudingan-tudingan ini memang sangat pedas. Namun, itulah risiko seorang 
presiden, yang harus siap dihujat publik atas segala aktivitas yang 
dilakukannya. Celakanya, karena yang menjadi sasaran tembak adalah SBY, maka 
para kroni SBY dan elite Istana kompak membuat barikade untuk menyelamatkan 
nama 
SBY. Mereka lupa, pepatah mengatakan, semakin tinggi pohon, semakin banyak 
angin 
yang menggoyangnya.

The Age edisi 12 Maret 2011 sudah memuat hak jawab yang dikirimkan ke The Age, 
dengan tulisan Presiden SBY menuding The Age telah melanggar kode etik 
jurnalistik universal, dan staf kepresidenan Daniel Sparingga menyebut “isi 
berita penuh sensasional”.

Dalam klarifikasi yang dimuat The Age, SBY membantah keras apa yang diberitakan 
tentang dirinya, dan menyesalkan penulisan berita yang bersumber dari wikileaks 
itu tanpa konfirmasi terlebih dulu. Penyesalan seorang Scot Alan Marciel juga 
disampaikan, meskipun tak ada penyataan yang membenarkan atau membantah berita 
itu.

Lantas, dengan dimuatnya hak jawab, SBY mau ngapain? Hak jawabnya sudah dimuat 
secara penuh oleh The Age. Risiko bakal menghadang kalau SBY ngotot 
mempersoalkan kasus ini. Media-media internasional akan merespons pertarungan 
The Age vs SBY dan bukan tidak mungkin akan makin membuka lacakan-lacakan lain 
yang lebih detil.

Apapun bantahan dan sanggahan yang dilontarkan pihak SBY, pemberitaan sudah 
terlanjur beredar ke publik. Pertanyaan besarnya adalah, apakah Anda percaya 
The 
Age atau SBY?


***
http://us.detiknews.com/read/2011/03/11/153252/1589661/103/mewaspadai-bahaya-laten-demokrasi-kolusif?nd991103605


Jumat, 11/03/2011 15:32 WIB

Mewaspadai Bahaya Laten Demokrasi Kolusif  

Ahmad Arif - detikNews
 


   
Jakarta - Selama tahun 2011 ini Presiden SBY beserta konco-konconya sedang 
mempertontonkan kepada rakyatnya sendiri sebuah dagelan politik yang sama 
sekali 
tidak lucu. Yang ada malah kita dibuat pusing. Sehingga wajar jika ada yang 
berkesimpulan bahwa semua teori politik, baik lama mau pun kontemporer, 
seolah-olah tidak bisa membenahi realitas perpolitikan kita. Sedemikian 
parahnyakah?

Idealita Politik & Partai Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang 
antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. 
Pengertianini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang 
berbeda 
mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Ia juga seni dan ilmu 
untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik  dari sudut pandang berbeda, yaitu 
antara lain: usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama 
(teori klasik Aristoteles), hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan 
pemerintahan dan Negara, merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan 
dan 
mempertahankan kekuasaan di masyarakat, segala sesuatu tentang proses perumusan 
dan pelaksanaan kebijakan publik.

Sedangkan partai politik merupakan organisasi politik yang menjalani ideologi 
tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok 
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan 
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan 
politik dan merebut kedudukan politik -(biasanya) dengan cara konstitusionil- 
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Budiarjo, 1989; 159).

Partai politik sebagai sebuah instrumen politik memiliki sedikitnya tujuh macam 
fungsi. Pertama, melakukan  sosialisasi politik, pembentukan sikap dan 
orientasi 
politik para anggota masyarakat. Kedua, rekrutmen politik yaitu seleksi dan 
pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan 
sejumlah peranan dalam sistem politik. Ketiga, partisipasi politik, kegiatan 
warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan 
kebijakan 
umum dan ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Keempat, pemandu kepentingan, 
mengatur lalu lintas kepentingan yang seringkali bertentangan dan memiliki 
orientasi keuntungan sebanyak-banyaknya.

Lima, komunikasi politik, partai politik melakukan proses penyampaian informasi 
mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada 
pemerintah. Enam, pengendalian konflik, partai politik melakukan pengendalian 
konflik mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar 
individu atau kelompok. Tujuh, Kontrol politik, partai politik melakukan 
kegiatan untuk  menunjukan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi 
kebijakan atau pelaksaan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Demokrasi Kolusif

Jika realita perpolitikan saat ini dikomparasikan dengan gambaran ideal di 
atas, 
maka yang terlihat adalah berbanding terbalik antara kata dan laku. Hanya 
janji-janji semu. Dan, parahnya lagi, sepertinya tidak ada beda signifikan 
antara partai berbasis islam maupun sekuler. Kesan yang dominan tertampilkan 
kepada publik adalah bahwa mereka yang telah duduk di "kursi panas" itu ibarat 
lupa kacang pada kulitnya, habis manis sepah dibuang, dan seterusnya.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Hemat penulis, hal itu disebabkan oleh karena 
masuknya mereka ke dalam lingkaran system -baik ekskutif maupun legislatif 
dalam 
semua levelnya- menggunakan biaya politik yang tidak sedikit. Politik uang, 
politik dagang sapi, politik transaksional adalah beberapa istilah yang  
menggambarkannya.

Menurut Azyumardi Azra (Republika, 11/10/2010), istilah demokrasi kolusif 
(collusive democracy) merupakan terminologi baru dalam ensiklopedi demokrasi. 
Istilah ini dipopulerkan majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, mengutip 
Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation 
dalam laporan "From Reformasi to Institutional Transformation: A Strategic 
Assessment of Indonesia's Prospect for Growth, Equity and Democratic 
Governance" 
(24 April 2010). Istilah ini sebelumnya digunakan Dan Slater, "Indonesia's 
Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic 
Transition."

Apa yang dimaksud dengan demokrasi kolusif? Istilah ini dipinjam The Economist 
untuk menggambarkan perkembangan demokrasi Indonesia dan pemerintahan Presiden 
SBY sejak pasca-Pemilu dan Pilpres 2009. Demokrasi kolusif mengacu kepada 
perilaku politik Presiden SBY yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus dari  
pada kompetisi politik secara fair.

Demokrasi kolusif terlihat jelas dalam pengaturan keseimbangan yang sangat 
hati-hati dalam kabinet, ketiadaan parpol oposisi (yang efektif) di parlemen, 
dan hubungan promiscuous (sering gonta ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi 
politik yang ada. Hasilnya, aliansi-aliansi politik itu sangat tidak stabil 
karena parpol-parpol terus membentuk aliansi, meningggalkan aliansi, dan 
membuat 
aliansi baru berdasarkan pertimbangan jangka pendek yang nyaris kosong dari 
komitmen ideologis dan kepentingan konstituen mereka.

Dengan demikian, demokrasi kolusif dalam pengertian tertentu dapat termasuk ke 
dalam salah satu bentuk KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), yang secara hukum 
sudah terlarang di Indonesia sejak masa pasca-Soeharto. Memang, secara 
konvensional, istilah kolusi lebih terkait dengan 'persekutuan gelap' yang 
merugikan keuangan dan aset negara dan publik.

Namun, demokrasi kolusif juga jelas  merugikan pertumbuhan demokrasi dan 
kepentingan publik karena politik sebagian besarnya tetap merupakan 'kolusi' di 
antara elite politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Pada tingkat 
lokal, 
demokrasi kolusif menghasilkan oligarki elite politik dan partai, yang hampir 
tidak memberikan ruang bagi partisipasi politik rakyat secara signifikan dan 
efektif guna perbaikan kehidupan mereka. Sebaliknya, rakyat hanya diperlukan 
untuk mencapai agenda politik kolusif di antara para elite politik. Kepentingan 
rakyat hanya menjadi lips-service dan simbolik belaka.

Politik demokrasi kolusif yang bergabung dengan oligarki ekonomi mengakibatkan 
tetap bertahannya banyak hambatan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi; 
membuat tidak berfungsinya sistem dan penegakan hukum; berlanjutnya politik 
patrimonial; melucuti keberdayaan warga yang menimbulkan kemerosotan rasa 
kebangsaan. Politik demokrasi kolusif dan oligarki ekonomi membuat Indonesia 
tidak memiliki  alat dan kemampuan memadai untuk menghadapi tantangan 
globalisasi.

Karena itulah, laporan majalah The Economist yang bertajuk "SBY's Feet of Clay" 
-jejak kaki SBY yang berlumpur -bernada tidak menggembirakan. Dalam pandangan 
The Economist, meski SBY menang besar dalam Pilpres 2009, pada tahun pertama 
periode kedua pemerintahannya tidak seperti yang diharapkan: tampil sebagai 
pemenang yang tegas dan desisif. Tetapi, realitas yang ada selama setahun 
sangat 
jelas. Kinerja Indonesia sangat rendah (underperforming); banyak indikator 
pembangunannya sangat jelek. Dalam hal GDP, Indonesia jauh lebih kaya dibanding 
Vietnam misalnya; tetapi
seorang ibu Indonesia tiga kali lebih mungkin meninggal ketika melahirkan 
dibandingkan seorang ibu Vietnam.

Hasilnya, seperti disimpulkan Strategic Assessment' Harvard Kennedy School, 
Indonesia semakin kehilangan pijakan dibandingkan negara-negara tetangganya, 
khususnya Cina, India, Thailand, Malaysia, dan  bahkan Vietnam dan Filipina 
dalam investasi asing langsung, industri manufaktur, infrastruktur, dan 
pendidikan. Meski ekonomi Indonesia tetap tumbuh antara 5,5 - 6 persen dalam 
dua 
tahun terakhir, negara ini kian tidak kompetitif.

Harapan Politik Anak Negeri

Lantas, seperti bagaimana sesungguhnya demokrasi dan perpolitikan yang 
diharapkan? Ikrar Nusa Bhakti menjawab, kita tidak ingin politik dipengaruhi 
orang yang tampak dari luar amat santun, demokratis, dan sederhana (humble), 
tetapi sebenarnya ia adalah orang yang bengis, tidak demokratis dan amat 
Machiavelis.

Orang macam ini sangat menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan politiknya. 
Juga tidak ingin politik dikuasai oleh orang yang sangat kasar, tidak santun, 
dan sering menggunakan kata-kata kotor dalam sidang-sidang parlemen karena 
sudah 
pasti orang ini amat kerdil dan bukan politisi yang matang walaupun jam 
terbangnya sebagai  politisi sudah sangat lama.

Yang diinginkan adalah politisi yang tahu kapan harus bersuara lembut, kapan 
harus bersuara lantang, tapi tetap teguh membela kepentingan rakyat. Tipe 
ketiga 
ini yang dapat membangun kultur politik yang baik di masa depan. Karena 
sesunguhnya demokrasi kolusif dan politik transaksional sebagai turunannya 
adalah jauh lebih berbahaya dari bahaya laten komunis sekali pun. Waspadalah!

*) Ahmad Arif adalah peminat Kajian SOSEKPOLAG, juga kontributor situs 
asyeh.com 
Arab Saudi. Berdomisili di Banda Aceh sejak hari ketiga pasca tsunami.

(vit/vit)

***
http://us.detiknews.com/read/2011/03/11/171436/1589777/103/demokrat--sby--balik-kucing?nd991107103


Jumat, 11/03/2011 17:14 WIB

Demokrat (SBY) Balik Kucing  

Djoko Suud Sukahar - detikNews
 

 
 
Jakarta - Teriakan heroik berkumandang. Ikrar talak telah diucapkan. Heboh 
koalisi retak sudah sampai titik didih. Tapi hanya hitungan hari segalanya 
sirna. SBY balik kucing. Koalisi pun kembali berlayar tenang setelah 'mimpi' 
dihempas badai.

Tapi akibat itu, ibarat gerbong, sekarang ini Partai Demokrat saling 
bertabrakan.  Betapa tidak. Paska angket pajak yang membelah koalisi dalam dua 
kubu yang berseberangan, diteruskan polemik apologis yang kalah untuk 
mempertahankan jatah jabatan. Itu bersamaan dengan pidato SBY menggaris tegas 
nasib koalisi ke depan.

Ketegasan itu sempat diapresiasi kawan maupun lawan. Kawan menyingsingkan 
lengan 
dan siap pasang badan. Sedang lawan melakukan lobi dan diplomasi agar di balik 
perpecahan koalisi tidak mendekonstruksi aset partai dalam kabinet. Itu latar 
PKS dan Golkar rajin bicara  kesopanan.

Dalam pertemuan di Cikeas kalimat 'pedang telah tercabut' menstimulasi kader 
Demokrat. Kata itu memberi sinyal eksistensi Demokrat harus ditegakkan. Gengsi 
partai dan harga diri partai. Kata itu juga dimaknai, bahwa Ketua Dewan Pembina 
yang sering disebut peragu mulai 'paham' realitas politik. Tegas bersikap 
setelah terus dikadali. Endingnya, 'kekerabatan' dengan Partai Keadilan 
Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar memang tamat sudah.

Esoknya Ulil Abshar Abdala, politisi Demokrat lantang bicara. Dia menandaskan 
sikap partainya. Dengan jernih mengurai kemungkinan yang bakal terjadi dalam 
koalisi. Termasuk juga kemungkinan ‘habisnya’ pembantu presiden dari unsur PKS 
yang dapat jatah empat menteri.

Tapi esoknya lagi Sudi Silalahi angkat bicara. Isu  perombakan kabinet bukan 
dari istana. Itu disusul ucapan SBY yang memberi tengara pintu yang tertututp 
bagi PKS dan Golkar kembali dibuka. Bahasa bersayapnya memformat ulang tata 
koalisi. Semua itu mengalir searus. Maka ketika sedikit 'bujuk rayu' dari PKS 
dan Golkar berdatangan, SBY pun reda. Koalisi kembali cool seperti tidak pernah 
terjadi apa-apa.

SBY atret memang biasa. Tapi dampak dari 'kebiasaan' itu pasukan menjadi 
kocar-kacir. Stel kencang akibat kekencangan SBY berbuah  menepuk air di 
dulang. 
Para kader harus malu dan dipermalukan omongannya sendiri. Jadi bahan 
tertawaan. 
Dicibir sebagai politisi yang mencla-mencle. Gampang menjilat ludah sendiri.

Sikap gampang luluh SBY memang baik dan manusiawi. Dalam etika politik versi 
Jawa pun disarankan. Melalui sesanti menang nora ngasorake, kalah nora 
ngisin-isini jelas  tersurat, bahwa lawan yang kalah jangan dipermalukan. Dan 
bagi yang kalah pun kekalahannya jangan membuatnya malu. Namun adakah sikap SBY 
itu aplikasi dari sesanti itu?

Tidak. Sikap SBY itu telah membalik kemenangannya dan kemenangan Demokrat 
menjadi kekalahan. Kekalahan yang paling menyakitkan dan sulit untuk disikapi 
adalah meralat dan menarik ucapan yang sudah terlanjur diungkapkan. Dan itu 
bukan hanya kader Demokrat di Jakarta, tapi seluruh kader yang sudah terlanjur 
berucap dan bersikap sama di seantero Nusantara.

Sekarang kalau ingin tahu keresahan di Demokrat, maka kuping dan intip SMS atau 
pembicaraan antar-mereka. Kelesak-kelesiknya hampir sama. Bagaimana bersikap 
menghadapi lawan yang 'nakal' sekaligus 'usil' tapi dimenangkan.
 
"Kalau Golkar  okelah, karena mereka orang partai sekaligus professional. Tapi 
PKS? Itulah yang membuat kita pening," celoteh mereka. Adakah akan ada kejutan 
lain yang bakal mengoyak-oyak Partai Demokrat dari dalam tubuhnya sendiri?


*) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

(vit/vit)

***
Sumber: 
http://dierdzarghifari.blogdetik.com/meragukan-komitmen-dan-ketegasan-politik-sby/?n993306blog


Meragukan Komitmen dan Ketegasan Politik SBY

Posted on Mar 10 2011 by Dier Dzar Ghifari

Dengan muka berseri-seri Panglima Tinggi Bakrie Group atau yang lebih  akrab 
disapa Ical keluar dari Istana Presiden menuju mobil pribadinya.  Kedatangan 
Ical ke Istana Presiden terkait perihal pembahasan keadaan di  Sekretaris 
Gabungan Koalisi (Setgab Koalisi) akhir-akhir ini.

Akan tetapi menurut pandangan saya, Istana Kepresiden adalah milik  bangsa 
Indonesia serta penggunaannya pun diperuntukkan bagi kepentingan  bangsa 
Indonesia, dengan melakukan komunikasi politik di Istana  Kepresidenan apakah 
dilakukan untuk kepentingan bangsa atau hanya  kepentingan sebagian kelompok 
saja dalam hal ini partai koalisi. Mari  kita pikirkan bersama saudaraku 
sebangsa dan setanah air.

Seperti telah diketahui oleh publik bahwa Setgab Koalisi tengah  mengalami 
goncangan stabilitas antar partai yang terhimpun di dalamnya.  Oleh karena itu 
kehadiran Ical di Istana Presiden memiliki dua kapasitas  siang itu, yang 
pertama Ical sebagai Ketua Pelaksana Harian Setgab  Koalisi dan yang kedua 
sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar.

Akan tetapi publik lebih menunjukkan sorotannya lebih kepada kapasitas  Ical 
sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar. Selain PKS, Partai Golkar pun  termasuk 
partai yang terancam akan terdepak dalam komposisi Setgab  Koalisi serta akan 
mengalami efek domino dalam rantai kekuasaan.

sby-aburizalNamun SBY rupanya mengambil sikap lain, walaupun Partai  Golkar 
telah berkali-kali tak menunjukkan perilaku layaknya partai  koalisi yang 
mendukung pemerintahan presidensiil yang dipimpin oleh SBY,  akan tetapi SBY 
masih mempertahankan Partai Golkar dalam komposisi  partai yang mendukung 
pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II  ini. Seperti yang sudah saya 
bahas sebelumnya (perihal ketergantungan  SBY terhadap Partai Golkar) bahwa 
ketergantungan SBY terhadap Partai  Golkar masih tinggi, selain karena 
hitung-hitungan persentase suara di  parlemen Partai Gollkar pun memiliki 
Resources SDM yang mumpuni belum  lagi kematangan elit-elit Partai Golkar yang 
masih memiliki pengaruh di  perpolitikan Indonesia saat ini.

Maklum Partai Golkar terbilang partai senior dalam perpolitikan  Indonesia, 
partai yang kenyang dengan kekuasaan seperti yang diucapkan  Ical dalam forum 
pertemuan DPP Partai Golkar seluruh Indonesia. Dengan  muka berseri yang 
ditunjukkan oleh Ical, publik dengan mudah dapat  menerka bahwa Partai Golkar 
akan tetap berada dalam koalisi, sementara  tak lama berselang PKS dapat 
dipastikan juga masih bergabung dengan  koalisi, hal ini mungkin saja 
disebabkan 
kedekatan historis SBY dengan  PKS serta lemahnya bargaining Gerindra untuk 
masuk dalam jaringan  koalisi yang dibangun oleh SBY. Kepastian masih atau 
keluarnya PKS dalam  koalisi tak dapat diduga semudah Partai Golkar, karena PKS 
melakukan  komunikasi politik secara diam-diam.

Hal yang pernah terekam oleh media, hanyalah pertemuan SBY dengan ketua  
Majelis 
Syuro PKS Ustadz Hilmi di bandung. Selebihnya media tak pernah  mendeteksi 
komunikasi politik yang dilakukan oleh PKS.

Kini publik pun tengah menantikan bentuk kongkrit politik akomodatif  yang 
menjadi ciri khas SBY, selain itu, elite politik yang berada dalam  koalisi 
tengah berupaya memperbaiki sistem dan mekanisme dalam tubuh  koalisi. Hal ini 
terbukti dengan menegoisasikan ulang deal politik  dengan Partai Golkar dan 
PKS, 
dan sebaiknya rakyat jangan terlalu  berharap pada deal politiik baru ini. 
Karena deal politik tersebut masih  berasaskan bagaimana mempertahankan 
kekuasaan yang tengah  dikendalikannya bukan berasaskan bagaimana 
memperjuangkan 
hak dan  kepentingan rakyat.

Menurut saya ada sebuah kekurangan paling mendasar yang terdapat dalam  sistem 
koalisi yang tengah di kelola oleh SBY dan Partai Demokrat yaitu  kurangnya 
intensitas komunikasi politik yang dilakukan oleh SBY secara  eksekutif dan 
Partai Demokrat secara Legislatif di internal Setgab  Koalisi. Jika saja 
kebijakan-kebijakan SBY di pemerintahan, diawali  dengan proses dialektika yang 
dilakukan di dalam Setgab Koalisi maka  pengawalan kebijakan di dalam parlemen 
pun akan memiliki kesinergisan.  Kemudian terkait reshufle yang digadang-gadang 
akan menjadi langkah  berikutnya, seharusnya reshufle dilakukan berdasarkan 
kinerja  keprofesionalan dan produktivas seorang menteri. Entah menteri 
tersebut  
berasal dari Partai Politik ataupun Non-Partai Politik, jika hal itu  bisa 
dijalankan oleh SBY maka tak perlu ada lagi menteri yang harus  dikorbankan 
untuk kepentingan politik.

***


http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/
http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   


      

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke