Catatan laluta: Seusainya isue panas melanda "krisis koalisi pemerintahan SBY jilit II" yang mulai mereda itu, kemudian cuaca perpolitikan di tanah air dikejutkan kembali oleh hembusan badai berita KKN perpolitikan Indonesia ketika kunjungan rombongan Wakil Presiden Boediono ke Australia, 9-13 Maret 2011.
Agenda kunjungan rombongan WaPres. Boediono bersama sejumlah menteri yang turut serta dalam perjalanan, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Pendidikan Nasional M Nuh dan Menteri PAN EE Mangindaan, yakni untuk melakukan berbagai pertemuan dan kegiatan di tiga kota, yakni Perth, Canberra dan Sydney, rupanya agak terganggu lantaran sambutan berita media The Age dan The Sydney Morning Herald, yang intinya memuat berita: "Presiden SBY menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan ambisi politiknya." Berita The Age, yang diambil dari sumber Wikileaks itu, juga menyebut Ibu Ani Yudhoyono mempunyai peran aktif pula dalam mempengaruhi kebijakan politik suaminya. Ani Yudhoyono disebut mempunyai hubungan baik dengan para pengusaha, termasuk pengusaha kaya Tomy Winata. Banyak reaksi dari kalangan politik elit di tanah air, bahkan.. "...Pimpinan DPR memprotes keras pemberitaan media massa Australia, Jelas ada maksud politik yang sistematis untuk menggoyahkan stabilitas politik pemerintahan SBY," ujar Ketua DPR Marzuki Alie kepada detikcom, Sabtu (12/3/2011). Protes senada disampaikan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan: "BIN harus lebih lanjut menyelidiki kenapa informasi itu disampaikan disaat Wapres sedang kunjungan resmi di Australia apakah ada pengkhianat bangsa yang sengaja melakukan hal itu dengan menggunakan jurus dewa mabuk," .." info selanjutnya silahlan click: http://us.detiknews.com/read/2011/03/12/214950/1590440/10/dpr-kritisi-pemberitaan-sydney-morning-herald-dan-the-age-soal-sby?nd991103605 Sehubungan dengan adanya berita angin badai dari dalam negeri "krisis koalisi pemerintahan SBY jilit II", kemudian berita angin badai berhembus dari Aussie... maka pertanyaannya adalah, bagaimana publik opini merespons sistim "Demokrasi ala Indonesia" dibawah rejim pemerintahan SBY jilit I&II itu? ini mengingat semakin maraknya kasus KKN dari tingkat pusat sampai daerah... Ada yang "Meragukan Komitmen dan Ketegasan Politik SBY", pula yang mempertanyakan : "Percaya The Age atau SBY ?" tapi ada pula yang menyatakan "Demokrat (SBY) Balik Kucing" tapi perlu... "Mewaspadai Bahaya Laten Demokrasi Kolusif".. untuk itu silahkan baca lampiran dibawah ini... Selamat berhari pekan, MiRa *** Sumber: http://politik.kompasiana.com/2011/03/12/percaya-the-age-atau-sby/ Politik Bang Rizal Kalau dunia ingin mengenal diri kita, tulislah! Salam kenal untuk semua. Semoga bermanfaat. Percaya The Age atau SBY ?OPINI | 12 March 2011 | 13:09 ________________________________ Ilustrasi Presiden ‘Korup’, Keluarga Presiden ‘Kemaruk’, TB Silalahi ‘Informan’ Amerika di Istana Negara, kata Telegram Diplomat Amerika di Wikileaks. Kasar dan vulgar! Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan para elite Istana pusiiiiiing menangkis tudingan publikasi telegram yang dimuat The Age, koran Australia yang memasang headline Yudhoyono ‘abused power’. Membantah,mengelak, balik menuding adalah strategi awal yang ditempuh para elite Istana. Semua media, cetak dan televisi nasional gencar menayangkan jurus DEFENSIF yang diperagakan para elite Istana itu. Sayang, strategi ini adalah taktik umum yang sudah usang. Bahkan, pemerintah sejauh ini hanya menyatakan akan memanggil Duta Besar Amerika Serikat, Scot Alan Marciel. Cuma memanggil? Trus kalau sudah dipanggil mau ngapain? Bagi SBY dan gang Istana-nya, pemberitaan The Age itu diibaratkan seperti ditikam teman sepermainan. Amerika (teroris nomor wahid dunia) itu diduga sebagai dalang dibalik tereksposnya kawat-kawat diplomatiknya dan memberikan hak penayangan eksklusif atas telegram diplomat Amerika yang dibocorkan oleh situs Wikileaks. The Age dalam laporannya menyebut adanya dugaan yang menguatkan kalau Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta menggunakan orang-orang di lingkaran dekat kekuasaan untuk melakukan kegiatan spionase atas pemerintahan Presiden SBY. Hal itu dapat ditengarai dengan menunjukkan hal-hal berikut: - Spionase Kedutan Amerika atas presiden diduga banyak mengandalkan informasi dari Tiopan Bernhard Silalahi, bekas petinggi militer yang sejak 2006 menjadi penasehat keamanan presiden. Telegram menyebut TB Silalahi, pernah mengambil kursus militer di Amerika Serikat, sebagai ‘informasi paling berharga’. - TB Silalahi termasuk yang membisikkan ke telinga diplomat Amerika di Jakarta kalau Presiden Susilo sendiri yang meminta pejabat senior Kejaksaan Agung untuk berhenti dari usaha menjerat Taufik Kiemas, suami bekas Presiden Megawati Soekarnoputri, dalam sejumlah kasus tender ratusan miliar rupiah. Telegram menggambarkan Taufik “sudah tersohor dengan korupsinya sejak kekuasaan Megawati”. - Kedutaan Amerika punya informan di kalangan Partai Golkar, utamanya pada sejumlah kandidat yang berlaga dalam Kongres Partai Golkar pada Desember 2004. Informan-informan inilah yang membisikkan ke telinga diplomat Amerika kalau Jusuf Kalla keluar uang paling tidak US$ 6 juta untuk memenangkan kongres di Bali dan menjungkalkan Akbar Tandjung. - Informan-informan Kedutaan Amerika di lingkaran dekat kekuasaan dan juga Partai Kebangkitan Bangsa. Informan-informan ini intinya membisikkan sejumlah hal yang mengisyaratkan kalau Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, “mengintimidasi” hakim yang menangani persidangan sengketa kepemilikan Partai Kebangkitan Bangsa, demi menutup kemungkinan kemenangan kubu almarhum bekas Presiden Abdurrahman Wahid. - Yahya Asegaf, seseorang yang dalam berita The Age digambarkan sebagai ‘pejabat senior Badan Intelejen Negara (BIN)’ telah mensuplai informasi ke diplomat Amerika di Jakarta. Yahya antara lain membisikkan kalau presiden menggunakan BIN untuk memata-matai musuh-musuh politiknya, termasuk seorang menterinya sendiri. Spionase itu, kata The Age, menimpa Jenderal Wiranto. Yahya juga mensuplai informasi ke diplomat Amerika kalau presiden, via TB Silalahi, punya hubungan dekat dan mendapat dukungan dana besar dari Tomy Winata, pengusaha yang digambarkan dalam telegram sebagai bos besar “Sembilan Naga”, sindikat perjudian di Indonesia. - Agung Laksono pernah membisikkan informasi ke diplomat Amerika yang intinya kalau TB Silalahi yang menjadi “orang penengah, yang memindahkan uang Tomy Winata ke Yudhoyono, demi melindungi presiden dari masalah yang kemungkinan muncul jika presiden sendiri yang langsung berhubungan. - Diplomat Amerika juga mendapat informasi kalau Tomy Winata menggunakan ‘Muhammad Lutfi’, seorang pengusaha muda, untuk menyalurkan ‘bantuan’ dana ke Presiden Susilo. Lutfi belakangan adalah orang kepercayaan SBY di Badan Koordinasi Penanaman Modal. - Pejabat senior BIN, Yahya Asegaf, membisikkan ke diplomat Amerika kalau Tomy Winata berusaha memupuk pengaruh dengan menggunakan salah satu tangan kanan presiden untuk mencuri perhatian Kristiani Herawati, istri presiden. - Telegram diplomat Amerika menggambarkan keluarga-keluarga presiden “khususnya Kristiani Herawati … mengeruk keuntungan dari posisi politis mereka.” - Pada Juni 2006, seorang staf presiden membisikkan ke diplomat Amerika kalau anggota keluarga Presiden Susilo “mengincar peluang-peluang bisnis di BUMN.” - Telegram diplomat Amerika menggambarkan Kristina Herawati sebagai “penasehat presiden yang tak punya lawan.” Merujuk dari informasi Yahya Asegaf, diplomat Amerika mengabarkan ke Washington kalau opini Kristiani dalam banyak hal menjadi “satu-satunya yang jadi pertimbangan” presiden dalam mengambil keputusan. - Informan Kedutaan Amerika di kalangan LSM membisikkan kabar kalau mereka telah menerima informasi “kredibel” kalau dana penalangan Bank Century dipakai untuk membiayai kampanye pemilu presiden pada 2009. DPR belakangan menyelidiki hal ini, menemukan sejumlah pelanggaran serius dan merekomendasikan pemeriksaan hukum atas bekas menteri keuangan Sri Mulyani dan Boediono. Tudingan-tudingan ini memang sangat pedas. Namun, itulah risiko seorang presiden, yang harus siap dihujat publik atas segala aktivitas yang dilakukannya. Celakanya, karena yang menjadi sasaran tembak adalah SBY, maka para kroni SBY dan elite Istana kompak membuat barikade untuk menyelamatkan nama SBY. Mereka lupa, pepatah mengatakan, semakin tinggi pohon, semakin banyak angin yang menggoyangnya. The Age edisi 12 Maret 2011 sudah memuat hak jawab yang dikirimkan ke The Age, dengan tulisan Presiden SBY menuding The Age telah melanggar kode etik jurnalistik universal, dan staf kepresidenan Daniel Sparingga menyebut “isi berita penuh sensasional”. Dalam klarifikasi yang dimuat The Age, SBY membantah keras apa yang diberitakan tentang dirinya, dan menyesalkan penulisan berita yang bersumber dari wikileaks itu tanpa konfirmasi terlebih dulu. Penyesalan seorang Scot Alan Marciel juga disampaikan, meskipun tak ada penyataan yang membenarkan atau membantah berita itu. Lantas, dengan dimuatnya hak jawab, SBY mau ngapain? Hak jawabnya sudah dimuat secara penuh oleh The Age. Risiko bakal menghadang kalau SBY ngotot mempersoalkan kasus ini. Media-media internasional akan merespons pertarungan The Age vs SBY dan bukan tidak mungkin akan makin membuka lacakan-lacakan lain yang lebih detil. Apapun bantahan dan sanggahan yang dilontarkan pihak SBY, pemberitaan sudah terlanjur beredar ke publik. Pertanyaan besarnya adalah, apakah Anda percaya The Age atau SBY? *** http://us.detiknews.com/read/2011/03/11/153252/1589661/103/mewaspadai-bahaya-laten-demokrasi-kolusif?nd991103605 Jumat, 11/03/2011 15:32 WIB Mewaspadai Bahaya Laten Demokrasi Kolusif Ahmad Arif - detikNews Jakarta - Selama tahun 2011 ini Presiden SBY beserta konco-konconya sedang mempertontonkan kepada rakyatnya sendiri sebuah dagelan politik yang sama sekali tidak lucu. Yang ada malah kita dibuat pusing. Sehingga wajar jika ada yang berkesimpulan bahwa semua teori politik, baik lama mau pun kontemporer, seolah-olah tidak bisa membenahi realitas perpolitikan kita. Sedemikian parahnyakah? Idealita Politik & Partai Politik Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertianini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Ia juga seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles), hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara, merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat, segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Sedangkan partai politik merupakan organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik -(biasanya) dengan cara konstitusionil- untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Budiarjo, 1989; 159). Partai politik sebagai sebuah instrumen politik memiliki sedikitnya tujuh macam fungsi. Pertama, melakukan sosialisasi politik, pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Kedua, rekrutmen politik yaitu seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik. Ketiga, partisipasi politik, kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Keempat, pemandu kepentingan, mengatur lalu lintas kepentingan yang seringkali bertentangan dan memiliki orientasi keuntungan sebanyak-banyaknya. Lima, komunikasi politik, partai politik melakukan proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Enam, pengendalian konflik, partai politik melakukan pengendalian konflik mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok. Tujuh, Kontrol politik, partai politik melakukan kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi kebijakan atau pelaksaan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Demokrasi Kolusif Jika realita perpolitikan saat ini dikomparasikan dengan gambaran ideal di atas, maka yang terlihat adalah berbanding terbalik antara kata dan laku. Hanya janji-janji semu. Dan, parahnya lagi, sepertinya tidak ada beda signifikan antara partai berbasis islam maupun sekuler. Kesan yang dominan tertampilkan kepada publik adalah bahwa mereka yang telah duduk di "kursi panas" itu ibarat lupa kacang pada kulitnya, habis manis sepah dibuang, dan seterusnya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Hemat penulis, hal itu disebabkan oleh karena masuknya mereka ke dalam lingkaran system -baik ekskutif maupun legislatif dalam semua levelnya- menggunakan biaya politik yang tidak sedikit. Politik uang, politik dagang sapi, politik transaksional adalah beberapa istilah yang menggambarkannya. Menurut Azyumardi Azra (Republika, 11/10/2010), istilah demokrasi kolusif (collusive democracy) merupakan terminologi baru dalam ensiklopedi demokrasi. Istilah ini dipopulerkan majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, mengutip Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation dalam laporan "From Reformasi to Institutional Transformation: A Strategic Assessment of Indonesia's Prospect for Growth, Equity and Democratic Governance" (24 April 2010). Istilah ini sebelumnya digunakan Dan Slater, "Indonesia's Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition." Apa yang dimaksud dengan demokrasi kolusif? Istilah ini dipinjam The Economist untuk menggambarkan perkembangan demokrasi Indonesia dan pemerintahan Presiden SBY sejak pasca-Pemilu dan Pilpres 2009. Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik Presiden SBY yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus dari pada kompetisi politik secara fair. Demokrasi kolusif terlihat jelas dalam pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati dalam kabinet, ketiadaan parpol oposisi (yang efektif) di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Hasilnya, aliansi-aliansi politik itu sangat tidak stabil karena parpol-parpol terus membentuk aliansi, meningggalkan aliansi, dan membuat aliansi baru berdasarkan pertimbangan jangka pendek yang nyaris kosong dari komitmen ideologis dan kepentingan konstituen mereka. Dengan demikian, demokrasi kolusif dalam pengertian tertentu dapat termasuk ke dalam salah satu bentuk KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), yang secara hukum sudah terlarang di Indonesia sejak masa pasca-Soeharto. Memang, secara konvensional, istilah kolusi lebih terkait dengan 'persekutuan gelap' yang merugikan keuangan dan aset negara dan publik. Namun, demokrasi kolusif juga jelas merugikan pertumbuhan demokrasi dan kepentingan publik karena politik sebagian besarnya tetap merupakan 'kolusi' di antara elite politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Pada tingkat lokal, demokrasi kolusif menghasilkan oligarki elite politik dan partai, yang hampir tidak memberikan ruang bagi partisipasi politik rakyat secara signifikan dan efektif guna perbaikan kehidupan mereka. Sebaliknya, rakyat hanya diperlukan untuk mencapai agenda politik kolusif di antara para elite politik. Kepentingan rakyat hanya menjadi lips-service dan simbolik belaka. Politik demokrasi kolusif yang bergabung dengan oligarki ekonomi mengakibatkan tetap bertahannya banyak hambatan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi; membuat tidak berfungsinya sistem dan penegakan hukum; berlanjutnya politik patrimonial; melucuti keberdayaan warga yang menimbulkan kemerosotan rasa kebangsaan. Politik demokrasi kolusif dan oligarki ekonomi membuat Indonesia tidak memiliki alat dan kemampuan memadai untuk menghadapi tantangan globalisasi. Karena itulah, laporan majalah The Economist yang bertajuk "SBY's Feet of Clay" -jejak kaki SBY yang berlumpur -bernada tidak menggembirakan. Dalam pandangan The Economist, meski SBY menang besar dalam Pilpres 2009, pada tahun pertama periode kedua pemerintahannya tidak seperti yang diharapkan: tampil sebagai pemenang yang tegas dan desisif. Tetapi, realitas yang ada selama setahun sangat jelas. Kinerja Indonesia sangat rendah (underperforming); banyak indikator pembangunannya sangat jelek. Dalam hal GDP, Indonesia jauh lebih kaya dibanding Vietnam misalnya; tetapi seorang ibu Indonesia tiga kali lebih mungkin meninggal ketika melahirkan dibandingkan seorang ibu Vietnam. Hasilnya, seperti disimpulkan Strategic Assessment' Harvard Kennedy School, Indonesia semakin kehilangan pijakan dibandingkan negara-negara tetangganya, khususnya Cina, India, Thailand, Malaysia, dan bahkan Vietnam dan Filipina dalam investasi asing langsung, industri manufaktur, infrastruktur, dan pendidikan. Meski ekonomi Indonesia tetap tumbuh antara 5,5 - 6 persen dalam dua tahun terakhir, negara ini kian tidak kompetitif. Harapan Politik Anak Negeri Lantas, seperti bagaimana sesungguhnya demokrasi dan perpolitikan yang diharapkan? Ikrar Nusa Bhakti menjawab, kita tidak ingin politik dipengaruhi orang yang tampak dari luar amat santun, demokratis, dan sederhana (humble), tetapi sebenarnya ia adalah orang yang bengis, tidak demokratis dan amat Machiavelis. Orang macam ini sangat menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan politiknya. Juga tidak ingin politik dikuasai oleh orang yang sangat kasar, tidak santun, dan sering menggunakan kata-kata kotor dalam sidang-sidang parlemen karena sudah pasti orang ini amat kerdil dan bukan politisi yang matang walaupun jam terbangnya sebagai politisi sudah sangat lama. Yang diinginkan adalah politisi yang tahu kapan harus bersuara lembut, kapan harus bersuara lantang, tapi tetap teguh membela kepentingan rakyat. Tipe ketiga ini yang dapat membangun kultur politik yang baik di masa depan. Karena sesunguhnya demokrasi kolusif dan politik transaksional sebagai turunannya adalah jauh lebih berbahaya dari bahaya laten komunis sekali pun. Waspadalah! *) Ahmad Arif adalah peminat Kajian SOSEKPOLAG, juga kontributor situs asyeh.com Arab Saudi. Berdomisili di Banda Aceh sejak hari ketiga pasca tsunami. (vit/vit) *** http://us.detiknews.com/read/2011/03/11/171436/1589777/103/demokrat--sby--balik-kucing?nd991107103 Jumat, 11/03/2011 17:14 WIB Demokrat (SBY) Balik Kucing Djoko Suud Sukahar - detikNews Jakarta - Teriakan heroik berkumandang. Ikrar talak telah diucapkan. Heboh koalisi retak sudah sampai titik didih. Tapi hanya hitungan hari segalanya sirna. SBY balik kucing. Koalisi pun kembali berlayar tenang setelah 'mimpi' dihempas badai. Tapi akibat itu, ibarat gerbong, sekarang ini Partai Demokrat saling bertabrakan. Betapa tidak. Paska angket pajak yang membelah koalisi dalam dua kubu yang berseberangan, diteruskan polemik apologis yang kalah untuk mempertahankan jatah jabatan. Itu bersamaan dengan pidato SBY menggaris tegas nasib koalisi ke depan. Ketegasan itu sempat diapresiasi kawan maupun lawan. Kawan menyingsingkan lengan dan siap pasang badan. Sedang lawan melakukan lobi dan diplomasi agar di balik perpecahan koalisi tidak mendekonstruksi aset partai dalam kabinet. Itu latar PKS dan Golkar rajin bicara kesopanan. Dalam pertemuan di Cikeas kalimat 'pedang telah tercabut' menstimulasi kader Demokrat. Kata itu memberi sinyal eksistensi Demokrat harus ditegakkan. Gengsi partai dan harga diri partai. Kata itu juga dimaknai, bahwa Ketua Dewan Pembina yang sering disebut peragu mulai 'paham' realitas politik. Tegas bersikap setelah terus dikadali. Endingnya, 'kekerabatan' dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar memang tamat sudah. Esoknya Ulil Abshar Abdala, politisi Demokrat lantang bicara. Dia menandaskan sikap partainya. Dengan jernih mengurai kemungkinan yang bakal terjadi dalam koalisi. Termasuk juga kemungkinan ‘habisnya’ pembantu presiden dari unsur PKS yang dapat jatah empat menteri. Tapi esoknya lagi Sudi Silalahi angkat bicara. Isu perombakan kabinet bukan dari istana. Itu disusul ucapan SBY yang memberi tengara pintu yang tertututp bagi PKS dan Golkar kembali dibuka. Bahasa bersayapnya memformat ulang tata koalisi. Semua itu mengalir searus. Maka ketika sedikit 'bujuk rayu' dari PKS dan Golkar berdatangan, SBY pun reda. Koalisi kembali cool seperti tidak pernah terjadi apa-apa. SBY atret memang biasa. Tapi dampak dari 'kebiasaan' itu pasukan menjadi kocar-kacir. Stel kencang akibat kekencangan SBY berbuah menepuk air di dulang. Para kader harus malu dan dipermalukan omongannya sendiri. Jadi bahan tertawaan. Dicibir sebagai politisi yang mencla-mencle. Gampang menjilat ludah sendiri. Sikap gampang luluh SBY memang baik dan manusiawi. Dalam etika politik versi Jawa pun disarankan. Melalui sesanti menang nora ngasorake, kalah nora ngisin-isini jelas tersurat, bahwa lawan yang kalah jangan dipermalukan. Dan bagi yang kalah pun kekalahannya jangan membuatnya malu. Namun adakah sikap SBY itu aplikasi dari sesanti itu? Tidak. Sikap SBY itu telah membalik kemenangannya dan kemenangan Demokrat menjadi kekalahan. Kekalahan yang paling menyakitkan dan sulit untuk disikapi adalah meralat dan menarik ucapan yang sudah terlanjur diungkapkan. Dan itu bukan hanya kader Demokrat di Jakarta, tapi seluruh kader yang sudah terlanjur berucap dan bersikap sama di seantero Nusantara. Sekarang kalau ingin tahu keresahan di Demokrat, maka kuping dan intip SMS atau pembicaraan antar-mereka. Kelesak-kelesiknya hampir sama. Bagaimana bersikap menghadapi lawan yang 'nakal' sekaligus 'usil' tapi dimenangkan. "Kalau Golkar okelah, karena mereka orang partai sekaligus professional. Tapi PKS? Itulah yang membuat kita pening," celoteh mereka. Adakah akan ada kejutan lain yang bakal mengoyak-oyak Partai Demokrat dari dalam tubuhnya sendiri? *) Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya, tinggal di Jakarta. (vit/vit) *** Sumber: http://dierdzarghifari.blogdetik.com/meragukan-komitmen-dan-ketegasan-politik-sby/?n993306blog Meragukan Komitmen dan Ketegasan Politik SBY Posted on Mar 10 2011 by Dier Dzar Ghifari Dengan muka berseri-seri Panglima Tinggi Bakrie Group atau yang lebih akrab disapa Ical keluar dari Istana Presiden menuju mobil pribadinya. Kedatangan Ical ke Istana Presiden terkait perihal pembahasan keadaan di Sekretaris Gabungan Koalisi (Setgab Koalisi) akhir-akhir ini. Akan tetapi menurut pandangan saya, Istana Kepresiden adalah milik bangsa Indonesia serta penggunaannya pun diperuntukkan bagi kepentingan bangsa Indonesia, dengan melakukan komunikasi politik di Istana Kepresidenan apakah dilakukan untuk kepentingan bangsa atau hanya kepentingan sebagian kelompok saja dalam hal ini partai koalisi. Mari kita pikirkan bersama saudaraku sebangsa dan setanah air. Seperti telah diketahui oleh publik bahwa Setgab Koalisi tengah mengalami goncangan stabilitas antar partai yang terhimpun di dalamnya. Oleh karena itu kehadiran Ical di Istana Presiden memiliki dua kapasitas siang itu, yang pertama Ical sebagai Ketua Pelaksana Harian Setgab Koalisi dan yang kedua sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar. Akan tetapi publik lebih menunjukkan sorotannya lebih kepada kapasitas Ical sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar. Selain PKS, Partai Golkar pun termasuk partai yang terancam akan terdepak dalam komposisi Setgab Koalisi serta akan mengalami efek domino dalam rantai kekuasaan. sby-aburizalNamun SBY rupanya mengambil sikap lain, walaupun Partai Golkar telah berkali-kali tak menunjukkan perilaku layaknya partai koalisi yang mendukung pemerintahan presidensiil yang dipimpin oleh SBY, akan tetapi SBY masih mempertahankan Partai Golkar dalam komposisi partai yang mendukung pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II ini. Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya (perihal ketergantungan SBY terhadap Partai Golkar) bahwa ketergantungan SBY terhadap Partai Golkar masih tinggi, selain karena hitung-hitungan persentase suara di parlemen Partai Gollkar pun memiliki Resources SDM yang mumpuni belum lagi kematangan elit-elit Partai Golkar yang masih memiliki pengaruh di perpolitikan Indonesia saat ini. Maklum Partai Golkar terbilang partai senior dalam perpolitikan Indonesia, partai yang kenyang dengan kekuasaan seperti yang diucapkan Ical dalam forum pertemuan DPP Partai Golkar seluruh Indonesia. Dengan muka berseri yang ditunjukkan oleh Ical, publik dengan mudah dapat menerka bahwa Partai Golkar akan tetap berada dalam koalisi, sementara tak lama berselang PKS dapat dipastikan juga masih bergabung dengan koalisi, hal ini mungkin saja disebabkan kedekatan historis SBY dengan PKS serta lemahnya bargaining Gerindra untuk masuk dalam jaringan koalisi yang dibangun oleh SBY. Kepastian masih atau keluarnya PKS dalam koalisi tak dapat diduga semudah Partai Golkar, karena PKS melakukan komunikasi politik secara diam-diam. Hal yang pernah terekam oleh media, hanyalah pertemuan SBY dengan ketua Majelis Syuro PKS Ustadz Hilmi di bandung. Selebihnya media tak pernah mendeteksi komunikasi politik yang dilakukan oleh PKS. Kini publik pun tengah menantikan bentuk kongkrit politik akomodatif yang menjadi ciri khas SBY, selain itu, elite politik yang berada dalam koalisi tengah berupaya memperbaiki sistem dan mekanisme dalam tubuh koalisi. Hal ini terbukti dengan menegoisasikan ulang deal politik dengan Partai Golkar dan PKS, dan sebaiknya rakyat jangan terlalu berharap pada deal politiik baru ini. Karena deal politik tersebut masih berasaskan bagaimana mempertahankan kekuasaan yang tengah dikendalikannya bukan berasaskan bagaimana memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. Menurut saya ada sebuah kekurangan paling mendasar yang terdapat dalam sistem koalisi yang tengah di kelola oleh SBY dan Partai Demokrat yaitu kurangnya intensitas komunikasi politik yang dilakukan oleh SBY secara eksekutif dan Partai Demokrat secara Legislatif di internal Setgab Koalisi. Jika saja kebijakan-kebijakan SBY di pemerintahan, diawali dengan proses dialektika yang dilakukan di dalam Setgab Koalisi maka pengawalan kebijakan di dalam parlemen pun akan memiliki kesinergisan. Kemudian terkait reshufle yang digadang-gadang akan menjadi langkah berikutnya, seharusnya reshufle dilakukan berdasarkan kinerja keprofesionalan dan produktivas seorang menteri. Entah menteri tersebut berasal dari Partai Politik ataupun Non-Partai Politik, jika hal itu bisa dijalankan oleh SBY maka tak perlu ada lagi menteri yang harus dikorbankan untuk kepentingan politik. *** http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ http://tamanhaikumiryanti.blogspot.com/ Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ Post message: prole...@egroups.com Subscribe : proletar-subscr...@egroups.com Unsubscribe : proletar-unsubscr...@egroups.com List owner : proletar-ow...@egroups.com Homepage : http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: proletar-dig...@yahoogroups.com proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: proletar-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/