http://www.jambiekspres.co.id/news/opini/politik_nonkonvensional_dan_agresivitas.html
Politik Nonkonvensional dan Agresivitas Oleh: Drs Navarin Karim MSi Wednesday, 31 May 2006 BELUM lupa dalam ingatan kita mogok makan di Sutet dengan menyakitkan fisik (menjahit mulut). Kemudian di minggu pertama bulan Mei ini telah dua kali aksi masyarakat yang membuat atmosfer politik di Indonesia terasa memanas. Pertama, tindakan kekerasan politik terhadap benda dan perusakan yang terjadi di Tuban. Kedua, demonstrasi buruh di Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudoyono mensinyalir ada yang memboncengi mereka di balik aksi-aksi tersebut. Diduga berasal dari oknum individu yang belum bisa menerima kekalahan dalam pemilihan presiden langsng tahun 2005 lalu. Terlepas dari benar tidaknya sinyalemen presiden tersebut, ada data menarik yang disajikan dari hasil pengamatan Lambaga Survey Indonesia yang dikeluarkan pada 5 Mei 2006 menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Pada Oktober 2004 tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (60%), Oktober 2005 (50%) dan April 2006 (40%). Dalam tulisan kali ini penulis tidak mau terlalu tendensius, tetapi mencoba memberikan pembelajaran politik bagi masyarakat bahwa masih ada cara-cara partisipasi politik yang lebih elegan, bermatabat, tegas tapi santun (asertif). Partisipasi politik di atas lebih berbentuk partisipasi politik nonkonvensional dengan gaya komunikasi yang agresif. Kecenderungan kejadian belakangan ini ditandai dengan ciri-ciri yang dikemukakan berikut ini. Pertama, tidak langsung (menjahit mulut) yang tidak dibenarkan dalam agama seseorang menyakitkan tubuhnya sendiri. Kedua, melanggar hak orang lain, seperti membakar pendopo dan merusak pemilikan pribadi orang lain serta memacetkan lalu lintas, sehingga mengganggu ketertiban umum, merusak fasilitas umum. Ketiga, berusaha agar hak-hak, keinginan dan kebutuhannya lebih penting disbanding orang lain. Mengapa demikian cara-cara yang konvensional demokrasi dan asertif tidak mereka tampuh? Apakah cara-cara nonkonvensional dan agresif dibenarkan dalam partisipasi politik? Partisipasi Politik Bentuk partisipasi yang bersifat pasif kurang dihargai oleh masyarakat, tetapi yang bersifat agresif juga banyak mudaratnya. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dikatagorikan nonkonvensional dan bersifat agresif adalah (1) pengajuan petisi, (2) berdemonstrasi, (3) konfrontasi, (4) mogok, (5) tindak kekerasan politik terhadap harta benda, perusakan, pemboman, pembakaran, (6) tindakan kekerasan terhadap manusia, penculikan dan pembunuhan, (7) revolusi. Jika partisipasi bentuk ini yang dipilih jelas tidak ada kedamaian hakiki yang diperoleh. Sudah pasti ada pihak yang dikalahkan (dirugikan), bahkan yang tidak tahu apa-apapun akan terkena imbasnya. Oleh sebab itu, marilah setiap persoalan diselesaikan secara arif, dengan kepala dingin dan tanpa dendam. Hal ini jelas lebih elegan dan bermoral. Bentuk konvensional (1) pemberian suara (voting), (2) diskusi politik, (3) kegiatan kampanye, (4) bergabung dalam kelompok kepentingan, (5) komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif. Cara kedua ini menurut penulis santun, elegan dan bermoral. Mengapa Nonkonvensional? Kejadian lama terulang kembali seperti aksi kekerasan, pembakaran yang terjadi di masa reformasi tahun 1998. Artinya, elite politik gagal menangkap aspirasi yang dikehendaki masyarakat dan elite politik dan pemerintah gagal memberikan pembelajaran politik, bahwa kejadian tersebut sebenarnya tidak dibenarkan. Menurut Prof Dr Muchtar Mas'oed, bentuk partisipasi politik berwujud demonstrasi, protes dan tindak kekerasan ini biasanya digunakan oleh orang untuk mempengaruhi kehidupan politik dan kebijaksanaan pemerintah bila bentuk-bentuk aktivitas lain tidak bisa dilakukan atau tidak efektif. Sama seperti yang dikemukakan Goh Tjoh Ping (kandidat Wabup dari Tuban) bahwa "masyarakat melakukan aksi kekerasan karena cara-cara demokrasi yang ditempuh mengalami kebuntuan". Selanjutnya Mas'oed mengemukakan, demonstrasi dilakukan dengan frekuensi yang berbeda-beda menurut situasi dan masyarakatnya. Dalam beberapa masyarakat jarang terjadi karena sistem politiknya cukup tanggap terhadap kebutuhan dan tuntutan warganya, tetapi dalam masyarakat-masyarakat lainnya tindakan-tindakan semacam itu mungkin lebih umum atau bahkan merupakan alat aktivitas politik yang rutin. Di negara yang telah maju tingkat demonstrasinya seperti Amerika Serikat (AS), Inggris dan Perancis selama tiga atau empat dekade terakhir, tidak banyak mengalami kekerasan politik. Ini sangat menarik perhatian kalau dilihat di sana tingkat partisipasi legal dan konvensional yang dijalankan rakyatnya cukup tinggi. Tampaknya bentuk-bentuk konvensional ini jauh lebih banyak dijalankan oleh kelas menegah ke atas. Pada era tahun 1960-an aksi kekerasan di AS berasal dari rakyat kulit hitam yang menuntut persamaan politik dan sosial atau dari rakyat kulit putih yang menentang integrasi. Ditambah lagi dengan keterlibatan dalam perang Vietnam yang juga banyak menimbulkan protes dengan kekerasan. Tapi, setelah itu sudah jarang kita mendegar aksi protes yang diikuti dengan kekerasan terjadi di AS. Yang menarik lagi di Inggris, kemampuannya menyelenggarakan pemerintah tanpa tindak kekerasan, paksaan atau revolusi. Sehingga, lembaga-lembaga politik Inggris seperti parlemen telah ditiru secara luas oleh bangsa lain seperti India dan Kanada. Mengeliminir Demonstrasi Pertama, kelompok-kelompok kepentingan perlu diadakan persuasi oleh elite politik maupun pemerintah dengan menyadarkan mereka untuk menahan diri dan memberikan pemahaman kepada mereka bahwa tindakan-tindakan demonstrasi yang agresif tidak memecahkan masalah, tetapi menimbulkan persoalan baru yang lebih rumit. Kedua, menanamkan sifat sensivitas yang tinggi terhadap kebutuhan dan tuntutan rakyat (terutama rakyat kelas bawah). Dengan kata lain jangan membiarkan saja tuntutan masyarakat tersebut. Seperti kasus Sutet, elite politik tidak memberi dukungan dan pemerintah tidak respek terhadap persoalan tersebut, akhirnya rakyat yang telah menjahit mulutnya capek sendiri dan melepaskan lagi jahitannya karena takut mati. Ketiga, pemerintah hendaknya meningkatkan kredibilitas lembaga-lembaga demokrasi yang ada, seperti KPU/KPUD, lembaga pengadilan. Dengan demikian, masyarakat tidak main hakim sendiri dan bertindak brutal. Keempat, merekrut elite politik yang sudah mapan (establishment). Seperti di (Amerika, Inggris dan Perancis), jabatan-jabatan politik cenderung berasal dari orang-orang yang mempunyai latar belakang kelas menengah atau kelas atas, dan orang-orang yang kelas rendah yang berhasil memperoleh pendidikan. Kelima, dalam proses pengambilan keputusan politik hendaknya melibatkan masyarakat tingkat bawah dan kelompok-kelompok kecil, yaitu kembali ke masyarakat. (Penulis adalah dosen PNSD di lingkungan Kopertis Wilayah X, dan Pudir I ASM) [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Home is just a click away. Make Yahoo! your home page now. http://us.click.yahoo.com/DHchtC/3FxNAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/