Ini tulisan yg gua ambil dr koran beberapa thn yg lalu. "KESEPAKATAN dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk memberantas korupsi akan efektif jika disertai fatwa bahwa korupsi adalah syirik yang tidak akan diampuni Allah. Tanpa basis teologi seperti itu, dosa korupsi bisa diputihkan dengan sedekah dan ibadah tertentu, apalagi jika dilakukan dalam situasi darurat."
Menggelikan, fatwa bisa dijadikan basis teologi, yg berarti fatwa itu sdh ditempatkan sejajar dgn hukum auloh. Jadi tanpa fatwa, maka dosa korupsi bisa diputihkan dgn sedekah dan ibadah, apalagi dgn naik haji. Makanya, korupsi itu ga akan habis krn Islam ngedukung korupsi, hehehe... Teologi Korupsi OLEH ABDUL MUNIR MULKHAN KESEPAKATAN dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk memberantas korupsi akan efektif jika disertai fatwa bahwa korupsi adalah syirik yang tidak akan diampuni Allah. Tanpa basis teologi seperti itu, dosa korupsi bisa diputihkan dengan sedekah dan ibadah tertentu, apalagi jika dilakukan dalam situasi darurat. Bahkan, korupsi bisa berubah di pandang sebagai tindakan membela Islam jika si koruptor bekerja di lembaga yang dipimpin orang-orang yang dituduh kafir. Tafsir baru korupsi sebagai perilaku syirik yang tak bisa diputihkan dengan amal saleh apa pun itu semakin penting di tengah kian meluasnya korupsi, kekerasan, politik uang, dan main hakim sen-diri di segala jenjangbirokrasi dan elemen kehidupan. Selama ini korupsi dipandang sebagai dosa kecil yang bisa diampuni, apalagi jika sebagian hasil korupsinya disisihkan untuk ibadah atau sedekah bagi fakir miskin dan anak yatim. Nanti di akhirat timbangan pahala sedekah dari hasil korupsi bisa lebih berat dibanding sanksi dosanya. Jika demikian, para koruptor dan penjahat politik bisa memperoleh ampun dan masuk surga. Sementara wong cilik yang sering di tuduh tidak taat syariah karena ia miskin, hampir pasti tak pernah korupsi dan ber-money politics, tidak punya peluang menyeimbangkan dosa kecilnya dengan sedekah di bulan penuh berkah. Justru karena selalu terancam penggusuran, hampir tanpa penolong, mereka sering mempertanyakan "kenapa keadilan Tuhan tak berlaku dan kenapa TUhan tak memihak kami" bisa semakin memper-berat timbangan dosanya. Benarkah teologi surga ternyata lebih memihak kelas elite dan penguasa dari-pada wong cilik? SELAMA ini tafsir dan ajaran tentang dosa besar dan dosa kecil, ampunan Tuhan, pintu tobat dan dosa syirik yang tak diampuni Tuhan, justru menunjukkan keterputusan hubungan kegiatan keagamaan dengan tindakan etis dan ketaatan hukum publik. Secara teoretis, semarak keagamaan, seperti ibadah Ramadhan setiap tahun, merupakan penanda tingginya religiusitas dan moralitas mayoritas pen-duduk negeri ini. Semarak keagamaan itu semestinya menengarai kehalusan budi dan kepedulian penderitaan sesama, seperti ajaran pengendalian nafsu serakah, larangan berkata kotor dan marah selama berpuasa, silaturahmi dan fitrah di akhir bulan suci itu atau di awal Idul Fitri. Ironisnya, kehendak memenuhi tuntunan puasa dan Idul Fitri sering kali justru memicu kriminalitas, copet dan jambret, kecelakaan jalanan, dan kekerasan atas pelaku maksiat. Tidak jarang, pelakunya juga berpuasa dan mudik Lebaran de ngan tujuan silaturahmi (menyambung tali cinta kasih) dengan teman, kerabat, dan handai taulan di Hari Raya. Praktik ritual ternyata tidak selalu berhubungan dengan etika sosial. Ketakwaan lebih se-batas hubungan individu (kesalehan per sonal) dengan diri Tuhan yang transenden, yang jauh, dan Yang Maha-abstrak, tanpa suatu persyaratan sosial (kesalehan sosial). Wajar jika orang menyatakan bahwa keberagamaan sebagai sesuatu yang asing dari hidup dan dunia keseharian. Tuhan dipahami sebagai subyek yang tak terganggu penderitaan dan kerusakan tempat hidup hamba-Nya yang paling cerdas. Ajaran bahwa langit bergetar tatkala orang yang menderita dan dizalimi memanjatkan doa, tak lebih sebagai mitos bagi penenangan wong cilik. Boleh jadi ajaran itu merupakan cara golongan penguasa yang berlaku nista, korup, zalim, dan tiran yang beragama, meredam gejolak dan protes kaum tertindas. Kecenderungan tersebut mengharuskan setiap pihak untuk jujur dan terbuka mengkaji dengan kritis hubungan khotbah, dakwah, dan pengajian serta ritual lainnya dengan perilaku korupsi serta kekerasan sosial, politik, dan ekonomi. Semarak Ramadhan dan segala rangkaian ritual sunahnya bisa dilihat di se-mua penjuru negeri. Jumlah tempat ibadah bertambah, pendidikan agama di seluruh jenjang pendidikan sesemarak pengajian di berbagai sudut kota dan kampung. Pesantren kilat menjamur di kampus bersama tarawih kelas elite di ber bagai hotel berbintang, tak kalah dengan umat lapis bawah di berbagai sudut kota dan perkampungan. Semarak keagamaan, sayangnya, berbarengan dengan fakta perluasan korupsi di berbagai penjuru negeri yang dilakukan birokrat, anggota DPR/DPRD, pebisnis, bahkan penegak hukum! Muncul pertanyaan: apakah doktrin agama yang dikhotbahkan, didakwahkan, dan diajarkan tadi efektif mencegah perilaku korup dan amoral lain? Banyak orang yang rajin shalat di masjid, tekun puasa Senin Kamis, suka bersedekah bagi fakir miskin dan yatim piatu, ternyata ganas melakukan korupsi, suap, ber-money politics bagi diri atau kelompoknya. Andai mereka menyadari bahwa korupsi, suap, dan politik uang tersebut sebagai suatu dosa, mereka pun meyakini tindakan itu bukan tergolong syirik yang tak ada pintu pengampunan dari Allah. Sering kali berpuasa dan melakukan amal saleh lain diniati untuk melebur dosa yang pernah dilakukan sehingga ia merasa bahwa sesudah Ramadhan bersih dari dosa, seperti posisi fitrah saat mula pertama lahir ke dunia. Ajaran demikian bisa dikaji dari sunah Rasul, seperti: man qo-ma romadlo-na i-ma-nan wa ihti-sa-ba-n, ghufiro lahu ma-taqoddama min danbihi (barang siapa berpuasa berdasar iman dan kesadaran atau perhitungan maka akan diampuni dosa-dosanya di masa lalu). Mereka pun meyakini jika amal salehnya dilakukan tepat saat tu-runnya Al Quran yang disebut lailatul qadr, akan memperoleh pahala setara perbuatan yang dilakukan lebih dari 1.000 bulan (sekitar 80 tahun). Selain itu, Tuhan diyakini tidak melipatgandakan sanksi dosa (jika senilai 10 juta, balasannya ya setara 10 juta). Sebaliknya, Tuhan melipatgandakan pahala amal saleh 7 cabang senilai ribuan. Jika amal saleh senilai 10 juta, pahala yang akan diperoleh setara dengan angka 10.000.000 x 7 x 1.000 = 70 miliar. Kadang angka 7 dipahami sebagai pangkat berkelipatan 1.000 seperti deret hitung. Orang pun berhitung jika ia melakukan dosa senilai Rp 10 juta lalu beramal saleh senilai Rp 100 secara ikhlas dan tepat sasaran, dosa tersebut bisa diputihkan dan terhapus dengan masih tersisa sejumlah pahala. Pemahaman pragmatis yang terkesan "ngakali Tuhan" di atas antara lain dipahami dari hadis yang menyatakan "tiap tindakan maksiat (buruk dan dosa) hen-daknya selalu diikuti tindakan ihsan (baik) atau amal saleh yang akan menghapus sanksi dari tindakan maksiat bagai api membakar kayu". Ajaran demikian tidak membuat berhenti berbuat maksiat atau dosa karena bisa dihapus dengan tin dakan saleh atau makruf. Karena itu, pengetahuan keagamaan bukan jaminan ketaatan atas ajaran agama, bahkan pengetahuan tentang sifat dan cara-cara Tuhan mengganjar tindakan manusia sering kali membuat seseorang semakin "berani" berbuat salah karena mengeta-hui pintu dan cara bertobat. Islam selama ini diyakini mengajarkan semua tindakan maksiat itu terbuka bagi pengampunan Tuhan, kecuali syirik (tindakan yang didasari kepercayaan atas kekuatan lain selain Tuhan). Sementara korupsi dipandang bukan syirik, dosanya pun dipahami se-batas besaran korupsi, apalagi jika didasari alasan terpaksa akibat sistem atau tekanan dari atasan. Para koruptor bisa menyatakan tindakannya dilakukan dalam situasi darurat atau jika ia tidak korupsi akan dikorupsi pejabat yang "memusuhi Islam" dan, akan dipakai membiayai tindakan yang merugikan Islam. Korupsi jangan-jangan dilakukan karena pertama-tama ia bukan syirik; kedua, karena sistem dan darurat; ketiga, guna penyelamatan Islam dari ancaman musuh-musuh Islam. Selain itu korupsi dilakukan karena dosanya bisa diputihkan melalui amal saleh secara ikhlas, seperti membangun masjid, santunan yatim piatu, atau perjuangan Islam lain. Jika demikian, para koruptor boleh yakin jumlah pahalanya masih jauh lebih besar dibanding dosanya sehingga jika nanti di akhirat amalan maksiat dan salehnya ditimbang masih lebih besar pahalanya dan ia pun akan masuk surga. Di sini pentihgnya fatwa bahwa korupsi tergolong syirik tanpa pintu ampunan karena selain keru-sakan luar biasa dan berantai, juga setara dengan memperca-yai kekuatan penentu nasib selain Allah. Selama ini tafsir konvensional syirik lebih sebagai model keberagamaan magis yang hanya mengejar pahala bagi kepentingan pragmatis dan disusun dalam kesadaran budaya agraris yang belum mengenal perilaku korupsi, money politics, dan tindakan kriniinal dengan jasa teknologi. Zaman global dengan kecanggihan teknologi informasi seperti saat ini memerlukan tafsir kritis yang fungsional bagi kepentingan publik di luar batas formal kepemelukan agama. Syirik perlu diberi tafsir baru, penduaan Tuhan dilihat dari tingkat kerusakan publik dan lingkungan serta penderitaan manusia yang diperkirakan bakal terjadi akibat suatu tindakan seperti korupsi'. Selanjutnya, ajaran tentang pembelengguan setan, penutupan pintu neraka, dan pembukaan pintu surga di bulan , Ramadhan perlu dipahami secara lebih cerdas tentang pengembangan sistem sosial politik guna memperkecil peluang perilaku setan, bukan sekadar keingkaran normatif terhadap Tuhan, tetapi segala perilaku antisistem dan antikeadilan. Ajaran tentang pengampunan Tuhan dan bonus pahala setiap amal saleh perlu tafsir kritis tentang dialektika sejarah yang tak pernah final dan pemberian harapan aksi pembaruan di setiap momen kehidupan. Bersama teologi korupsi sebagai tindakan syirik akibat kerusakan sosial dan lingkungan yang ditimbulkan, tafsir baru itu adalah roh peran agama bagi tata hidup santun, adil, lestari, dan berkesinambungan di tengah kehidupan global yang cenderung penuh kekerasan, atas nama agama dan Tuhan, atau peradaban dan demokrasi. Tuhan niscaya memahami maksud manusia dalam menafsir firman-Nya bagi kepentingan dunia dan makhluk yang paling dikasihi-Nya tersebut. ABDUL MUNIR MULKHAN Guru Besar LAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------------------ Post message: prole...@egroups.com Subscribe : proletar-subscr...@egroups.com Unsubscribe : proletar-unsubscr...@egroups.com List owner : proletar-ow...@egroups.com Homepage : http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: proletar-dig...@yahoogroups.com proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: proletar-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/