http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=199523
Senin, 28 Nov 2005, Ukuran Keberhasilan Ekonomi Oleh Hendri Saparini * Minggu lalu, Menko Perekonomian telah memaparkan kinerja tim ekonomi SBY-JK selama setahun. Dalam laporan tersebut, Menko Perekonomian menunjukkan optimismenya dan kembali mengklaim bahwa telah terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi. Penjelasan itu disertai dengan pemaparan berbagai indikator yang diklaim sangat mendukung. Secara umum, sebenarnya tidak ada yang menarik dari laporan tersebut. Sebab, laporan itu mengungkapkan fakta secara tidak utuh. Selain itu, laporan tersebut cenderung membatasi dan memfokuskan pembahasan sumber permasalahan pada tekanan faktor eksternal. Akibatnya, berbagai pilihan kebijakan yang berdampak buruk, seperti kenaikan harga BBM serta kebijakan ad hoc di bidang industri dan perdagangan, tidak diungkap. Dengan berbagai kelemahan itu, banyak pihak menganggap laporan tersebut kurang penting. Lagi pula, klaim-klaim kebangkitan ekonomi pun sebenarnya telah terbantahkan. Evaluasi Tim Indonesia Bangkit, misalnya, mengungkapkan bahwa paling tidak ada sebelas indikator yang menunjukkan terjadinya kemerosotan ekonomi, bukan kebangkitan ekonomi. Selan itu, saat ini masyarakat secara nyata menghadapi kondisi ekonomi yang semakin buruk sehingga berita perbaikan ekonomi yang disampaikan Menko Perekonomian sangat sulit diterima. Daya beli masyarakat telah merosot tajam. Itu ditunjukkan dengan melambatnya pertumbuhan konsumsi swasta dari semula 5,5 persen menjadi hanya 3,5 persen dan inflasi yang melonjak tinggi mencapai 17 persen. Demikian pula, pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin marak karena beban pengusaha yang semakin besar akibat naiknya biaya produksi gara-gara inflasi tinggi ataupun akibat menurunnya permintaan dan meningkatnya persaingan serta berbagai respons kebijakan perdagangan dan industri yang lamban dan kontraproduktif. Makna Keberhasilan Dalam laporan yang dipaparkan Menko Perekonomian, ada beberapa hal menarik. Misalnya, klaim keberhasilan yang didasarkan pada alasan kembalinya kepercayaan pasar yang ditunjukkan dengan membaiknya indeks harga saham dan turunnya rasio utang terhadap PDB serta klaim keberhasilan yang didasarkan pada berlanjutnya pertumbuhan ekonomi. Tidak dapat dipungkiri bahwa membaiknya indeks harga saham yang menunjukkan membaiknya kinerja perusahaan dapat menjadi salah satu indikator positif suatu perekonomian. Meski demikian, harus diakui pula bahwa untuk Indonesia, jumlah perusahaan yang sudah mencatatkan usahanya di bursa saham sangat terbatas. Terutama hanya perusahaan-perusahaan besar. Dengan demikian, meningkatnya indeks harga saham gabungan (IHSG) bukan sebuah keberhasilan besar apabila tidak dibarengi dengan membaiknya berbagai indikator makroekonomi lainnya. Demikian juga klaim terhadap turunnya rasio utang terhadap PDB. Menurunnya rasio utang memang menunjukkan perbaikan pengelolaan keuangan negara. Meski demikian, data tersebut perlu pemahaman secara lebih proporsional. Jumlah utang pemerintah belum berkurang dan masih sangat besar, mencapai USD 82 miliar, sehingga menjadi hambatan dalam kegiatan pembangunan. Sayang, kondisi tersebut tidak dipahami sebagai sebuah masalah besar tim ekonomi SBY-Kalla. Mereka merasa tidak perlu memprioritaskan upaya mengurangi beban utang, baik dengan pemotongan utang maupun lainnya. Akibatnya, tim ekonomi justru menolak moratorium utang dan tetap menjadikan utang sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Pemahaman yang sama perlu dilakukan dalam menilai klaim pertumbuhan ekonomi yang berlanjut. Sejak 2001, pertumbuhan ekonomi terus meningkat dari 3,8 persen pada 2001 menjadi 5,1 persen pada 2004. Pada 2005, meski banyak kalangan meragukan, Menko Perekonomian yakin ekonomi mampu tumbuh 5,5 persen. Meski pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan, sangat penting untuk mencermati berbagai fakta lain. Memang terjadi pertumbuhan ekonomi. Tetapi, pertumbuhan yang terjadi selama ini ternyata dibarengi pula peningkatan jumlah pengangguran dengan sangat signifikan. Angka pengangguran yang pada 2001 sebesar 8,1 persen, pada 2004 meningkat 9,9 persen dan pada awal Oktober 2005 -akibat kelemahan dalam pengelolaam kebijakan ekonomi- telah mencapai 10,8 persen. Artinya, besar kemungkinan angka pada akhir tahun akan jauh lebih tinggi setelah terjadi PHK dan lesunya sektor riil akibat pola pengelolaan kebijakan pemerintah yang tidak hati-hati. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang diklaim tetap tinggi ternyata dibarengi bertambahnya jumlah rakyat miskin. Angka kemiskinan meningkat dari 16 persen pada 2003, 16,6 persen pada 2004, dan diperkirakan akan mencapai 18,5 persen pada akhir 2005 akibat kenaikan harga BBM yang sangat tinggi, yang tidak diikuti kebijakan antisipasi yang memadai. Perlu Perubahan Ukuran Paling tidak, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk mengukur keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Pertama, kemampuan dalam menciptakan stabilitas makroekonomi, yaitu keberhasilan dalam mencapai target-target antara. Kedua, kemampuan untuk menciptakan kebijakan ekonomi yang rakyat (pro-poor) sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan kedua ukuran tersebut, sangat sulit mengatakan bahwa tim ekonomi pemerintahan SBY-Kalla telah berhasil mengelola kebijakan ekonomi dalam setahun pemerintahannya. Sat ini inflasi bahkan sangat tinggi sehingga diperkirakan akan mencapai 14 persen; tingkat suku bunga SBI telah mencapi 12,5 persen, sangat jauh dari target awal sebesar 8 persen; dan nilai tukar rupiah terus tertekan meski Bank Indonesia telah menghabiskan lebih dari USD 7 miliar dalam waktu enam bulan. Demikian pula, kalaupun telah terjadi pertumbuhan ekonomi, pencapaiannya jauh dari target yang 6,2 persen. Selain itu, pertumbuhan yang terjadi bahkan diikuti dengan memburuknya kesejahteraan rakyat yang diindikasikan dari menurunnya daya beli masyarakat bawah, meningkatnya jumlah rakyat miskin, dan semakin banyaknya jumlah pengangguran. Predikat keberhasilan akan semakin jauh bila ukurannya diperluas. Tidak adanya upaya tim ekonomi SBY-Kalla untuk mengurangi stock utang bahkan tetap menambah utang baru atau tetap suburnya berbagai KKN dan conflic of interest dari para pejabat tinggi justru menunjukkan bahwa tim ekonomi SBY-JK tidak sekadar tidak mampu mencapai keberhasilan, tetapi bahkan menunjukkan indikasi arah pembangunan ekonomi yang semakin buruk. Presiden SBY telah menjanjikan sebuah perubahan besar, termasuk dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang dapat dirasakan semua masyarakat. Bapak Presiden, pembangunan ekonomi kita belum on the track, belum sesuai arah pembangunan yang menjadi visi Bapak saat kampanye. Semestinya perubahan yang dituju adalah pembangunan ekonomi yang lebih adil bukan sekadar klaim pertumbuhan yang justru diikuti kemerosotan kesejahteraan masyarakat seperti yang dicapai tim ekonomi saat ini. *. Hendri Saparini, managing Director Economics, Industry, and Trade (ECONIT) Advisory Group [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/