Murid jangan cuma ikut-ikutan. 

Perlu berlari. 

- 

SEABAD KH WAHID HASJIM
Peletak Dasar Islam Kebangsaan di Indonesia

Kompas Minggu, 01 Mei 2011

Tahun 1950-an, ketika menuntut ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, 
mantan Menteri Agama Republik Indonesia Tolchah Hasan kaget mendapat pelajaran 
bahasa Perancis. Menurut Tolchah, keterkejutannya bertambah saat mengetahui 
sebagian guru yang mengajarinya ilmu pengetahuan umum beragama Kristen dan 
Katolik.

"Saya kira, pada zamannya ada yang seperti itu sesuatu yang langka. Guru ilmu 
alam saya orang Kristen. Saya di (madrasah) Aliyah A, yang dapat pelajaran 
bahasa Arab, Inggris, dan Perancis. Meski sekarang saya enggak bisa lagi 
ngomong dengan bahasa Perancis," ujar Tolchah terkekeh, saat menceritakan 
pengalamannya menuntut ilmu di Tebuireng yang ketika itu diasuh KH Abdul Wahid 
Hasjim, pada acara bedah buku Satu Abad KH Abdul Wahid Hasjim karya Aboebakar 
Atjeh, Sabtu (30/4) di Jakarta.

Wahid, anak kelima pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratusyekh Hasyim Asy'ari dengan 
Nafiqah, dianggap menjadi peletak dasar revolusi pendidikan di pesantren. 
Revolusi itu mulai dilakukan sepulang Wahid dari Mekkah, akhir tahun 1933. 
Menukil buku itu, Wahid yang ketika itu baru berusia 19 tahun mulai memimpin 
dan mengajar di Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan ayahandanya.

Di buku ditulis, hasrat Wahid mengadakan revolusi pendidikan di pesantren mulai 
tampak. Cara kuno yang hanya terdiri dari mendengar dan menggantungkan makna 
pada kitab- kitab fikih Islam sudah mulai ditinjau kembali oleh Wahid. Niatnya 
merevolusi dunia pendidikan di pesantren didasari keinginan agar para santri 
tidak lebih rendah kedudukannya dalam masyarakat yang belajar pengetahuan Barat 
ketika itu. Kekurangan santri ketika itu hanya ilmu pengetahuan umum.

Awalnya hanya empat santri yang dididik menggabungkan ilmu agama dengan 
pengetahuan umum. Baru dua tahun kemudian, setelah melihat keberhasilan dua 
orang di antara empat santri pertamanya, Wahid mulai mendirikan Madrasah 
Nizamiyah, yang memasukkan ilmu pengetahuan umum yang masih terasa asing dalam 
tradisi pesantren.

Aboebakar dalam bukunya menulis, Wahid berpegang pada salah satu hadis, barang 
siapa mengetahui bahasa sesuatu golongan, ia akan aman dari perkosaan golongan 
itu. Hingga suatu ketika Wahid melihat anak-anak didiknya, ia tersenyum sambil 
berkata, "Mudah-mudahan kamu sekalian di masa yang akan datang menjadi calon 
kiai intelek, yang dapat mengangkat derajat golonganmu." (halaman 172).

Kebesaran Wahid tak hanya sebagai peletak dasar revolusi pendidikan di 
pesantren. Tak banyak yang tahu bahwa Wahid adalah tokoh sentral berdirinya 
Indonesia sebagai negara kebangsaan. "Salah seorang penulis Arab malah menulis 
KH Wahid Hasjim adalah peletak dasar kemerdekaan Indonesia," kata Ketua Umum 
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj.

Melacak jejak dan warisan Wahid tak cukup hanya mengetahui kiprah ayah mantan 
Presiden Indonesia KH Abdurrahman Wahid ini di dunia pesantren. Sebelum 
kemerdekaan, Wahid menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan 
Indonesia (BPUPKI).

Dari kacamata Direktur Reform Institute Yudi Latif, Wahid adalah pemikir bangsa 
yang terpenting setelah Soekarno. "Ia menjadi anggota BPUPKI dalam usia 31 
tahun," katanya.

Sikap kenegarawanan Wahid terlihat setelah tanggal 18 Agustus 1945 ia tidak 
lagi mengungkit tujuh kata yang dihapuskan dalam Piagam Jakarta. Bahwa Wahid 
merupakan salah seorang tokoh Islam yang merumuskan Piagam Jakarta, dan 
kemudian juga mengusulkan syarat Presiden Indonesia haruslah orang Islam, 
merupakan salah satu fakta sejarah.

Akan tetapi, sikap kenegarawanan Wahid menerima kompromi dalam perdebatan soal 
dimasukkannya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, menjadi penanda penting bahwa 
warisan tokoh ini terhadap Indonesia sebagai negara bangsa. "Wahid meninggalkan 
jejak besar bagi republik ini dengan bersedia menyatakan kalau konsensus sudah 
diterima semua pihak, maka harus diterima dengan lapang dada. Bagi Wahid, 
Indonesia bisa menjadi bangsa yang religius tanpa memaksakan satu agama pun 
menjadi dasar negara," kata Yudi.

Menurut Pendeta Nathan Setiabudi, sikap Wahid yang mau berkompromi demi tetap 
bersatunya semua golongan dalam Republik Indonesia justru menggambarkan pilihan 
kebangsaan yang diambil Wahid tak pernah mengecilkan religiositas Islam dalam 
bernegara.

Menurut KH Salahudin Wahid, salah seorang putra Wahid, sikap itu menunjukkan 
bahwa ayahandanya tahu membedakan mana hal yang bersifat mendesak dan mana hal 
yang bisa dimusyawarahkan lagi. "Saat itu adalah sangat wajar kalau umat Islam 
dan tokoh-tokoh Islam bercita-cita mendirikan negara berdasarkan Islam karena 
kitab-kitab yang mereka baca menegaskan cita-cita seperti itu. Kalau tidak, 
malah aneh," ujar Salahudin (Gus Sholah).

Namun, pada akhirnya perjalanan sejarah kemudian membuktikan, NU, organisasi 
yang ikut dibesarkan Wahid menjadi pelaku utama bagaimana sikap kompromi itu 
mendapatkan pembenarannya. Dalam istilah Gus Sholah, Indonesia tak perlu 
menjadi negara Islam untuk dapat memasukkan syariat Islam pada aturan hukum 
negara.

Indonesia berutang besar kepada tokoh seperti Wahid yang bisa dengan gamblang 
mengajarkan bahwa Islam dan kebangsaan bukanlah pangkal sengketa.

(KHAERUDIN)





------------------------------------

Post message: prole...@egroups.com
Subscribe   :  proletar-subscr...@egroups.com
Unsubscribe :  proletar-unsubscr...@egroups.com
List owner  :  proletar-ow...@egroups.com
Homepage    :  http://proletar.8m.com/Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    proletar-dig...@yahoogroups.com 
    proletar-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    proletar-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke