Re: [proletar] Leave la France: for some it's the only option

2005-11-12 Terurut Topik Jusfiq Hadjar


Bila betul bahwa pemerintah Perancis tidak sigap menghadapi
masaalah yang ditimbulkan oleh generasi ke 2 migran yang berasal
dari Afrika Utara - dan ini telah diakui oleh pemerintah
Perancis sendiri -  tapi juga kudu diingat bawa masaalahnya juga
timbul oleh budaya dan ajaran Islam. 

Budya Islam dan ajaran yang dipraktekkan di Afrika Utara itu,
dan dibawa ke Perancis seperti yang dikatakan Ade Kim Hook adalah
budaya 'dikasi jari minta tangan dan dikasi tangan juga belum
puas. 

Orang Islam itu minta terus... 

Ini berbeda dengan migranTionghoa (hingga) sekarang dimana-mana,
atau migran Portugis, migran Polandia, migran Italia dulu di
Perancis. 

Anak-anak Portugis, Polandia atau Itali dulu tidak serign
kedengaran bikin onar, tapi anak-anak Afrika Utara di Perancis
(dan juga di negeri Belanda) banyak yang tukang bikin onar.

Ada sebuah study sosiologis yang dibikin di negeri Belanda yang
menujukkan bahwa salah satu sebabnya adalah sistem pendidikan
dikeluarga Maroko. In a nutshell, orang tua Maroko tidak
konsisten menghukum kelakuan anak yang salah, seperti mencuri;
dan sebaliknya tidak konsisten memberi penghargaan atas kelakuan
yang baik.  Akibatnya, anak-anak Maroko itu tidak tahu garis
yang membedakan perbuatan yang 'baik' dan yang 'buruk. 

(Bandingkan dengan cerita seorang ibu di Australia - kalau tidak
salah anda yang menyampaikannnya di proletar  -  yang
menyalahkan anaknya yang memungut permen  yang terserak di
lantaisebuah toko dan bilang: Jangan ambil, permen itu bukan
milikmu). 

Dan di luar rumah  mereka juga tidak melihat salah untuk
mencuri, mencopet atau naik trem dan kereta api tanpa bayar. 

Dan tidak jarang, mereka kalau kerja asal-asalan. 

Tentu tidak semua anak orang Islam berbuat demikian, tapi ada
tendensi umum demikian. 

Adalah betul, bahwa sesungguhnya tugas pemerintah juga untuk
mencari jalan keluar dari masaalah yang ditimbulkan oleh budaya
Islam itu, tapi adalah juga tugas orang Islam sendiri untuk
menyadari bahwa budaya Islam itu adalah (salah satu) sebab  dari
kebengalan anak muda Islam itu dan, dari kesadaran itu, 
berusaha untuk mengubahnya. 

Dan adalah betul pula, bahwa sentimen anti-Arab (konkritnya
anti-Aljazair dan anti-Maroko) di kalangan umum orang Perancis
itu juga ada: pendukung Le Pen juga tidak sedikit. 

Dan adalah juga tugas pemerintah untuk membendungnya. 



On 11 Nov 2005, at 21:08, teddysrachman wrote:

 By James Button Herald Correspondent in Paris
 November 12, 2005
 
 Here is a tale of two cousins. One stayed in France, one felt so
 betrayed he left it for good.
 
 Aziz Senni, 29, grew up in the high-rise towers of Mante-la-Jolie, 40
 kilometres west of Paris and one of 300 French towns where young men
 have rioted and burnt in the past two weeks.
 
 He remembers police humiliating him in the street because he was
 Moroccan-born and the girl with him was white. He says his boss at a
 postal company ordered him not to introduce himself to phone customers
 as Aziz but as Anthony.
 
 After rising to run a transport company that employs 100 people Aziz
 told his story this year in a book, The Social Escalator was Broken so
 I Took the Stairs. He is a French success story but, as his book title
 suggests, doesn't entirely feel it.
 
 I love France but things have gone very wrong here, he says. France
 preaches liberty to the world but doesn't offer it to its own people.
 
 His cousin Hamid has a tougher tale to tell. When he was a boy, his
 father, a Moroccan immigrant and factory worker, told him: I don't
 know how many degrees are available but you are going to get them all.
 
 Hamid got three, in economics, but still couldn't find work. So he
 applied for an elite degree. The supervisor was blunt: Hamid was well
 qualified for the course but he would never get a job afterwards.
 
 So I can't take you, the supervisor said. You'll screw my figures.
 Hamid says the meaning was clear: his skin was the wrong colour.
 
 I started to feel so insecure, Hamid said. You think, 'An entire
 country can't be wrong. I must not be good enough.' 
 
 Then he went to Sweden, got an MBA and a good position at the phone
 company Ericsson.
 
 In the late 1990s he decided to give his home another chance. He sent
 CVs around the country and was offered one job, as a travelling
 salesman for a German vacuum cleaner company. At that point Hamid gave
 up on France.
 
 The 30-year-old now lives in London, got a job immediately for BP,
 then Philip Morris, and now runs his own management consulting company.
 
 I have been adopted by England, he says. I've never had
 discrimination. It's my home.
 
 In our family we say, 'Our father is Moroccan, our mother is France,
 he says. I feel like I've been abandoned by my mother.
 
 That's why he understands the anger behind the riots. Everyone is
 against violence but 

Re: [proletar] Leave la France: for some it's the only option

2005-11-12 Terurut Topik Jusfiq Hadjar


Bila betul bahwa pemerintah Perancis tidak sigap menghadapi
masaalah yang ditimbulkan oleh generasi ke 2 migran yang berasal
dari Afrika Utara - dan ini telah diakui oleh pemerintah
Perancis sendiri -  tapi juga kudu diingat bawa masaalahnya juga
timbul oleh budaya dan ajaran Islam. 

Budya Islam dan ajaran yang dipraktekkan di Afrika Utara itu,
dan dibawa ke Perancis seperti yang dikatakan Ade Kim Hook adalah
budaya 'dikasi jari minta tangan dan dikasi tangan juga belum
puas. 

Orang Islam itu minta terus... 

Ini berbeda dengan migranTionghoa (hingga) sekarang dimana-mana,
atau migran Portugis, migran Polandia, migran Italia dulu di
Perancis. 

Anak-anak Portugis, Polandia atau Itali dulu tidak serign
kedengaran bikin onar, tapi anak-anak Afrika Utara di Perancis
(dan juga di negeri Belanda) banyak yang tukang bikin onar.

Ada sebuah study sosiologis yang dibikin di negeri Belanda yang
menujukkan bahwa salah satu sebabnya adalah sistem pendidikan
dikeluarga Maroko. In a nutshell, orang tua Maroko tidak
konsisten menghukum kelakuan anak yang salah, seperti mencuri;
dan sebaliknya tidak konsisten memberi penghargaan atas kelakuan
yang baik.  Akibatnya, anak-anak Maroko itu tidak tahu garis
yang membedakan perbuatan yang 'baik' dan yang 'buruk. 

(Bandingkan dengan cerita seorang ibu di Australia - kalau tidak
salah anda yang menyampaikannnya di proletar  -  yang
menyalahkan anaknya yang memungut permen  yang terserak di
lantaisebuah toko dan bilang: Jangan ambil, permen itu bukan
milikmu). 

Dan di luar rumah  mereka juga tidak melihat salah untuk
mencuri, mencopet atau naik trem dan kereta api tanpa bayar. 

Dan tidak jarang, mereka kalau kerja asal-asalan. 

Tentu tidak semua anak orang Islam berbuat demikian, tapi ada
tendensi umum demikian. 

Adalah betul, bahwa sesungguhnya tugas pemerintah juga untuk
mencari jalan keluar dari masaalah yang ditimbulkan oleh budaya
Islam itu, tapi adalah juga tugas orang Islam sendiri untuk
menyadari bahwa budaya Islam itu adalah (salah satu) sebab  dari
kebengalan anak muda Islam itu dan, dari kesadaran itu, 
berusaha untuk mengubahnya. 

Dan adalah betul pula, bahwa sentimen anti-Arab (konkritnya
anti-Aljazair dan anti-Maroko) di kalangan umum orang Perancis
itu juga ada: pendukung Le Pen juga tidak sedikit. 

Dan adalah juga tugas pemerintah untuk membendungnya. 



On 11 Nov 2005, at 21:08, teddysrachman wrote:

 By James Button Herald Correspondent in Paris
 November 12, 2005
 
 Here is a tale of two cousins. One stayed in France, one felt so
 betrayed he left it for good.
 
 Aziz Senni, 29, grew up in the high-rise towers of Mante-la-Jolie, 40
 kilometres west of Paris and one of 300 French towns where young men
 have rioted and burnt in the past two weeks.
 
 He remembers police humiliating him in the street because he was
 Moroccan-born and the girl with him was white. He says his boss at a
 postal company ordered him not to introduce himself to phone customers
 as Aziz but as Anthony.
 
 After rising to run a transport company that employs 100 people Aziz
 told his story this year in a book, The Social Escalator was Broken so
 I Took the Stairs. He is a French success story but, as his book title
 suggests, doesn't entirely feel it.
 
 I love France but things have gone very wrong here, he says. France
 preaches liberty to the world but doesn't offer it to its own people.
 
 His cousin Hamid has a tougher tale to tell. When he was a boy, his
 father, a Moroccan immigrant and factory worker, told him: I don't
 know how many degrees are available but you are going to get them all.
 
 Hamid got three, in economics, but still couldn't find work. So he
 applied for an elite degree. The supervisor was blunt: Hamid was well
 qualified for the course but he would never get a job afterwards.
 
 So I can't take you, the supervisor said. You'll screw my figures.
 Hamid says the meaning was clear: his skin was the wrong colour.
 
 I started to feel so insecure, Hamid said. You think, 'An entire
 country can't be wrong. I must not be good enough.' 
 
 Then he went to Sweden, got an MBA and a good position at the phone
 company Ericsson.
 
 In the late 1990s he decided to give his home another chance. He sent
 CVs around the country and was offered one job, as a travelling
 salesman for a German vacuum cleaner company. At that point Hamid gave
 up on France.
 
 The 30-year-old now lives in London, got a job immediately for BP,
 then Philip Morris, and now runs his own management consulting company.
 
 I have been adopted by England, he says. I've never had
 discrimination. It's my home.
 
 In our family we say, 'Our father is Moroccan, our mother is France,
 he says. I feel like I've been abandoned by my mother.
 
 That's why he understands the anger behind the riots. Everyone is
 against violence but