Re: [proletar] Leave la France: for some it's the only option
Bila betul bahwa pemerintah Perancis tidak sigap menghadapi masaalah yang ditimbulkan oleh generasi ke 2 migran yang berasal dari Afrika Utara - dan ini telah diakui oleh pemerintah Perancis sendiri - tapi juga kudu diingat bawa masaalahnya juga timbul oleh budaya dan ajaran Islam. Budya Islam dan ajaran yang dipraktekkan di Afrika Utara itu, dan dibawa ke Perancis seperti yang dikatakan Ade Kim Hook adalah budaya 'dikasi jari minta tangan dan dikasi tangan juga belum puas. Orang Islam itu minta terus... Ini berbeda dengan migranTionghoa (hingga) sekarang dimana-mana, atau migran Portugis, migran Polandia, migran Italia dulu di Perancis. Anak-anak Portugis, Polandia atau Itali dulu tidak serign kedengaran bikin onar, tapi anak-anak Afrika Utara di Perancis (dan juga di negeri Belanda) banyak yang tukang bikin onar. Ada sebuah study sosiologis yang dibikin di negeri Belanda yang menujukkan bahwa salah satu sebabnya adalah sistem pendidikan dikeluarga Maroko. In a nutshell, orang tua Maroko tidak konsisten menghukum kelakuan anak yang salah, seperti mencuri; dan sebaliknya tidak konsisten memberi penghargaan atas kelakuan yang baik. Akibatnya, anak-anak Maroko itu tidak tahu garis yang membedakan perbuatan yang 'baik' dan yang 'buruk. (Bandingkan dengan cerita seorang ibu di Australia - kalau tidak salah anda yang menyampaikannnya di proletar - yang menyalahkan anaknya yang memungut permen yang terserak di lantaisebuah toko dan bilang: Jangan ambil, permen itu bukan milikmu). Dan di luar rumah mereka juga tidak melihat salah untuk mencuri, mencopet atau naik trem dan kereta api tanpa bayar. Dan tidak jarang, mereka kalau kerja asal-asalan. Tentu tidak semua anak orang Islam berbuat demikian, tapi ada tendensi umum demikian. Adalah betul, bahwa sesungguhnya tugas pemerintah juga untuk mencari jalan keluar dari masaalah yang ditimbulkan oleh budaya Islam itu, tapi adalah juga tugas orang Islam sendiri untuk menyadari bahwa budaya Islam itu adalah (salah satu) sebab dari kebengalan anak muda Islam itu dan, dari kesadaran itu, berusaha untuk mengubahnya. Dan adalah betul pula, bahwa sentimen anti-Arab (konkritnya anti-Aljazair dan anti-Maroko) di kalangan umum orang Perancis itu juga ada: pendukung Le Pen juga tidak sedikit. Dan adalah juga tugas pemerintah untuk membendungnya. On 11 Nov 2005, at 21:08, teddysrachman wrote: By James Button Herald Correspondent in Paris November 12, 2005 Here is a tale of two cousins. One stayed in France, one felt so betrayed he left it for good. Aziz Senni, 29, grew up in the high-rise towers of Mante-la-Jolie, 40 kilometres west of Paris and one of 300 French towns where young men have rioted and burnt in the past two weeks. He remembers police humiliating him in the street because he was Moroccan-born and the girl with him was white. He says his boss at a postal company ordered him not to introduce himself to phone customers as Aziz but as Anthony. After rising to run a transport company that employs 100 people Aziz told his story this year in a book, The Social Escalator was Broken so I Took the Stairs. He is a French success story but, as his book title suggests, doesn't entirely feel it. I love France but things have gone very wrong here, he says. France preaches liberty to the world but doesn't offer it to its own people. His cousin Hamid has a tougher tale to tell. When he was a boy, his father, a Moroccan immigrant and factory worker, told him: I don't know how many degrees are available but you are going to get them all. Hamid got three, in economics, but still couldn't find work. So he applied for an elite degree. The supervisor was blunt: Hamid was well qualified for the course but he would never get a job afterwards. So I can't take you, the supervisor said. You'll screw my figures. Hamid says the meaning was clear: his skin was the wrong colour. I started to feel so insecure, Hamid said. You think, 'An entire country can't be wrong. I must not be good enough.' Then he went to Sweden, got an MBA and a good position at the phone company Ericsson. In the late 1990s he decided to give his home another chance. He sent CVs around the country and was offered one job, as a travelling salesman for a German vacuum cleaner company. At that point Hamid gave up on France. The 30-year-old now lives in London, got a job immediately for BP, then Philip Morris, and now runs his own management consulting company. I have been adopted by England, he says. I've never had discrimination. It's my home. In our family we say, 'Our father is Moroccan, our mother is France, he says. I feel like I've been abandoned by my mother. That's why he understands the anger behind the riots. Everyone is against violence but
Re: [proletar] Leave la France: for some it's the only option
Bila betul bahwa pemerintah Perancis tidak sigap menghadapi masaalah yang ditimbulkan oleh generasi ke 2 migran yang berasal dari Afrika Utara - dan ini telah diakui oleh pemerintah Perancis sendiri - tapi juga kudu diingat bawa masaalahnya juga timbul oleh budaya dan ajaran Islam. Budya Islam dan ajaran yang dipraktekkan di Afrika Utara itu, dan dibawa ke Perancis seperti yang dikatakan Ade Kim Hook adalah budaya 'dikasi jari minta tangan dan dikasi tangan juga belum puas. Orang Islam itu minta terus... Ini berbeda dengan migranTionghoa (hingga) sekarang dimana-mana, atau migran Portugis, migran Polandia, migran Italia dulu di Perancis. Anak-anak Portugis, Polandia atau Itali dulu tidak serign kedengaran bikin onar, tapi anak-anak Afrika Utara di Perancis (dan juga di negeri Belanda) banyak yang tukang bikin onar. Ada sebuah study sosiologis yang dibikin di negeri Belanda yang menujukkan bahwa salah satu sebabnya adalah sistem pendidikan dikeluarga Maroko. In a nutshell, orang tua Maroko tidak konsisten menghukum kelakuan anak yang salah, seperti mencuri; dan sebaliknya tidak konsisten memberi penghargaan atas kelakuan yang baik. Akibatnya, anak-anak Maroko itu tidak tahu garis yang membedakan perbuatan yang 'baik' dan yang 'buruk. (Bandingkan dengan cerita seorang ibu di Australia - kalau tidak salah anda yang menyampaikannnya di proletar - yang menyalahkan anaknya yang memungut permen yang terserak di lantaisebuah toko dan bilang: Jangan ambil, permen itu bukan milikmu). Dan di luar rumah mereka juga tidak melihat salah untuk mencuri, mencopet atau naik trem dan kereta api tanpa bayar. Dan tidak jarang, mereka kalau kerja asal-asalan. Tentu tidak semua anak orang Islam berbuat demikian, tapi ada tendensi umum demikian. Adalah betul, bahwa sesungguhnya tugas pemerintah juga untuk mencari jalan keluar dari masaalah yang ditimbulkan oleh budaya Islam itu, tapi adalah juga tugas orang Islam sendiri untuk menyadari bahwa budaya Islam itu adalah (salah satu) sebab dari kebengalan anak muda Islam itu dan, dari kesadaran itu, berusaha untuk mengubahnya. Dan adalah betul pula, bahwa sentimen anti-Arab (konkritnya anti-Aljazair dan anti-Maroko) di kalangan umum orang Perancis itu juga ada: pendukung Le Pen juga tidak sedikit. Dan adalah juga tugas pemerintah untuk membendungnya. On 11 Nov 2005, at 21:08, teddysrachman wrote: By James Button Herald Correspondent in Paris November 12, 2005 Here is a tale of two cousins. One stayed in France, one felt so betrayed he left it for good. Aziz Senni, 29, grew up in the high-rise towers of Mante-la-Jolie, 40 kilometres west of Paris and one of 300 French towns where young men have rioted and burnt in the past two weeks. He remembers police humiliating him in the street because he was Moroccan-born and the girl with him was white. He says his boss at a postal company ordered him not to introduce himself to phone customers as Aziz but as Anthony. After rising to run a transport company that employs 100 people Aziz told his story this year in a book, The Social Escalator was Broken so I Took the Stairs. He is a French success story but, as his book title suggests, doesn't entirely feel it. I love France but things have gone very wrong here, he says. France preaches liberty to the world but doesn't offer it to its own people. His cousin Hamid has a tougher tale to tell. When he was a boy, his father, a Moroccan immigrant and factory worker, told him: I don't know how many degrees are available but you are going to get them all. Hamid got three, in economics, but still couldn't find work. So he applied for an elite degree. The supervisor was blunt: Hamid was well qualified for the course but he would never get a job afterwards. So I can't take you, the supervisor said. You'll screw my figures. Hamid says the meaning was clear: his skin was the wrong colour. I started to feel so insecure, Hamid said. You think, 'An entire country can't be wrong. I must not be good enough.' Then he went to Sweden, got an MBA and a good position at the phone company Ericsson. In the late 1990s he decided to give his home another chance. He sent CVs around the country and was offered one job, as a travelling salesman for a German vacuum cleaner company. At that point Hamid gave up on France. The 30-year-old now lives in London, got a job immediately for BP, then Philip Morris, and now runs his own management consulting company. I have been adopted by England, he says. I've never had discrimination. It's my home. In our family we say, 'Our father is Moroccan, our mother is France, he says. I feel like I've been abandoned by my mother. That's why he understands the anger behind the riots. Everyone is against violence but