RE: [R@ntau-Net] ROL--> Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi
Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh, Sanak Nofen, Sebelum ambo taruihin pertanyaan Ambo tentang tarekat, Bisa ndak Nofen atau Dun sanak yang lain maagiah komentar tentang Artikel yang di kirimkan Sanak Nofen, dan baa pandangan Sanak Nofen atau dun sanak yang lain mengenai tarekat atau yang lebih dikenal dengan kata-kata "Tasawuf " Wassalamualaikum Wr.Wb Salmi Sarkis -Original Message-From: RaNK MaRoLa [mailto:[EMAIL PROTECTED]Sent: Friday, February 20, 2004 4:15 PMTo: KaRaNTau; KaSuRauSubject: [EMAIL PROTECTED] ROL--> Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi http://www.republika.co.id/ASP/koran_detail.asp?id=153895&kat_id=185 Jumat, 20 Februari 2004Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi Mengembangkan Naksyabandiyah di Minangkabau Laporan : yus Perkembangan agama Islam di Nusantara sekitar abad 13-14, juga ditandai dengan masuknya berbagai mazhab maupun aliran tarekat. Sejumlah ulama kondang tercatat sebagai pelopor pengembangan ajaran tarekat ini hingga mampu mengokohkan kehadiran Islam di wilayah tanah air. Dari sekian banyak ulama tarekat, tercatat nama Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi yang berasal dari Sumatra Barat dan hidup antara tahun 1125-1260. Dia merupakan seorang ahli fikih, ahli tasawuf dan ahli ilmu kalam (teologi). Dalam buku Ensiklopedi Islam disebutkan Syekh Ismail yang lebih dikenal dengan Ismail al-Minangkabawi belajar mengaji Alquran di surau kampungnya sedari masih kecil. Setelah itu di bawah bimbingan guru dan orang tuanya, dia belajar membaca kitab-kitab Arab Melayu dan kitab berbahasa Arab yang mencakup pelajaran ilmu fikih, tasawuf, kalam, tafsir, hadis dan ilmu kebahasaan. Kemudian dia meneruskan pendidikan ke tanah suci Makkah dan Madinah selama hampir 35 tahun. Di antara para gurunya yang terkenal adalah Syekh Ataillah bin Ahmad al-Azhari (ahli fikih Mazhab Syafi'i), Syekh Abdullah asy-Syarqawi (mantan syekh al-Azhar dan ahli fikih Mazhab Syafi'i), Syekh Abdullah Affandi (tokoh tarekat Naksyabandiyah), Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi (seorang pembimbing rohani), dan Syekh Muhammad bin Ali asy-Syanwani, seorang ahli ilmu kalam. Usai menyelesaikan pelajarannya, Ismail al-Minangkabawi mulailah menuangkan ilmu pengetahuannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti dituturkan oleh Syekh Husein bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri, salah seorang muridnya, menyatakan bahwa dia bertemu dengan gurunya itu di pelabuhan Bahrain dan belajar tarekat Naksyabandiyah kepadanya. Kemudian pelajaran tersebut diteruskan di sebuah desa yang tidak diketahui namanya, di luar kota Basra, sampai keduanya berpisah di desa tersebut setelah sekian lama. Bertahun-tahun mengembara guna menuntut ilmu di Timur Tengah, hingga kemudian tiba waktunya bagi Syekh Ismail memutuskan kembali ke tanah air. Dia langsung menuju ke kampung halamannya yakni Simabur (Batusangkar). Di tempat inilah, dia lantas membuka sebuah majelis pendidikan agama Islam dan mengajarkan ilmu usuluddin, ilmu syariat serta pula ilmu tarekat. Dalam ilmu Usuluddin, dia mengajarkan ilmu kalam Asyariyah terutama pelajaran sifat dua puluh. Dalam ilmu syariat ia mengajarkan fikih mazhab Syafi'i. Sedangkan dalam ilmu tarekat, dia mengembangkan tarekat Naksyabandiyah Khalidiah. Sejak masa itu tarekat Naksyabandiyah berkembang pesat di Sumatra Barat dan sekitarnya. Oleh karenanya, Syekh Ismail kerap dipandang sebagai orang pertama yang mengembangkan tarekat Naksyabandiyah Khalidiah di Minangkabau. Bila ditilik perkembangan tarekat di wilayah Sumatra Barat dan sekitarnya, termasuk Riau, Jambi, Bengkulu dan Tapanuli Selatan, maka jauh sebelum adanya tarekat Naksyabandiyah yang diusung Syekh Ismail, telah berkembang tarekat Syatariyah yang berpusat di Ulakan, Pariaman. Yang membawa dan menyebarluaskan tarekat ini adalah Syekh Burhanuddin, murid Syekh Abdur Rauf Singkel. Dalam praktiknya, tarekat Syatariyah ini lebih mementingkan amal batin ketimban amal lahir. Hal ini jelas berbeda dengan tarekat Naksyabandiyah yang menyeimbangkan amal lahir dengan amal batin. Tarekat Naksyabandiyah memiliki dua aliran, yakni tarekat Naksyabandiyah Muzhariyah dan Naksyabandiyah Khalidiah. Aliran pertama berasal dari Syekh Muhammad Muzhar al-Ahmadi, seorang mursyid tarekat Naksyabandiyah, sementra aliran kedua berasal dari Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi yang merupakan salah seorang mursyid tarekat Naksyabandiyah yang banyak melakukan modifikasi terhadap tarekat tersebut. Aliran kedua inilah yang dikembangkan oleh Syekh Ismail al-Minangkabawi. Upaya pengembangan tarekat itu tidak hanya terbatas di kampungnya saja, tapi meluas hingga keluar wilayah Sumatra Barat. Sastrawan terkenal, Raja Ali Haji menyebut dalam bukunya bahwa Syekh Ismail al-Minangkabawi sering datang ke kerajaan Melayu Riau ketika ia menjadi raja muda Riau. Bahkan, seringkali dia sendiri
[R@ntau-Net] ROL--> Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi
http://www.republika.co.id/ASP/koran_detail.asp?id=153895&kat_id=185 Jumat, 20 Februari 2004Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi Mengembangkan Naksyabandiyah di Minangkabau Laporan : yus Perkembangan agama Islam di Nusantara sekitar abad 13-14, juga ditandai dengan masuknya berbagai mazhab maupun aliran tarekat. Sejumlah ulama kondang tercatat sebagai pelopor pengembangan ajaran tarekat ini hingga mampu mengokohkan kehadiran Islam di wilayah tanah air. Dari sekian banyak ulama tarekat, tercatat nama Syekh Ismail bin Abdullah al-Khalidi yang berasal dari Sumatra Barat dan hidup antara tahun 1125-1260. Dia merupakan seorang ahli fikih, ahli tasawuf dan ahli ilmu kalam (teologi). Dalam buku Ensiklopedi Islam disebutkan Syekh Ismail yang lebih dikenal dengan Ismail al-Minangkabawi belajar mengaji Alquran di surau kampungnya sedari masih kecil. Setelah itu di bawah bimbingan guru dan orang tuanya, dia belajar membaca kitab-kitab Arab Melayu dan kitab berbahasa Arab yang mencakup pelajaran ilmu fikih, tasawuf, kalam, tafsir, hadis dan ilmu kebahasaan. Kemudian dia meneruskan pendidikan ke tanah suci Makkah dan Madinah selama hampir 35 tahun. Di antara para gurunya yang terkenal adalah Syekh Ataillah bin Ahmad al-Azhari (ahli fikih Mazhab Syafi'i), Syekh Abdullah asy-Syarqawi (mantan syekh al-Azhar dan ahli fikih Mazhab Syafi'i), Syekh Abdullah Affandi (tokoh tarekat Naksyabandiyah), Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi (seorang pembimbing rohani), dan Syekh Muhammad bin Ali asy-Syanwani, seorang ahli ilmu kalam. Usai menyelesaikan pelajarannya, Ismail al-Minangkabawi mulailah menuangkan ilmu pengetahuannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Seperti dituturkan oleh Syekh Husein bin Ahmad ad-Dawsari al-Basri, salah seorang muridnya, menyatakan bahwa dia bertemu dengan gurunya itu di pelabuhan Bahrain dan belajar tarekat Naksyabandiyah kepadanya. Kemudian pelajaran tersebut diteruskan di sebuah desa yang tidak diketahui namanya, di luar kota Basra, sampai keduanya berpisah di desa tersebut setelah sekian lama. Bertahun-tahun mengembara guna menuntut ilmu di Timur Tengah, hingga kemudian tiba waktunya bagi Syekh Ismail memutuskan kembali ke tanah air. Dia langsung menuju ke kampung halamannya yakni Simabur (Batusangkar). Di tempat inilah, dia lantas membuka sebuah majelis pendidikan agama Islam dan mengajarkan ilmu usuluddin, ilmu syariat serta pula ilmu tarekat. Dalam ilmu Usuluddin, dia mengajarkan ilmu kalam Asyariyah terutama pelajaran sifat dua puluh. Dalam ilmu syariat ia mengajarkan fikih mazhab Syafi'i. Sedangkan dalam ilmu tarekat, dia mengembangkan tarekat Naksyabandiyah Khalidiah. Sejak masa itu tarekat Naksyabandiyah berkembang pesat di Sumatra Barat dan sekitarnya. Oleh karenanya, Syekh Ismail kerap dipandang sebagai orang pertama yang mengembangkan tarekat Naksyabandiyah Khalidiah di Minangkabau. Bila ditilik perkembangan tarekat di wilayah Sumatra Barat dan sekitarnya, termasuk Riau, Jambi, Bengkulu dan Tapanuli Selatan, maka jauh sebelum adanya tarekat Naksyabandiyah yang diusung Syekh Ismail, telah berkembang tarekat Syatariyah yang berpusat di Ulakan, Pariaman. Yang membawa dan menyebarluaskan tarekat ini adalah Syekh Burhanuddin, murid Syekh Abdur Rauf Singkel. Dalam praktiknya, tarekat Syatariyah ini lebih mementingkan amal batin ketimban amal lahir. Hal ini jelas berbeda dengan tarekat Naksyabandiyah yang menyeimbangkan amal lahir dengan amal batin. Tarekat Naksyabandiyah memiliki dua aliran, yakni tarekat Naksyabandiyah Muzhariyah dan Naksyabandiyah Khalidiah. Aliran pertama berasal dari Syekh Muhammad Muzhar al-Ahmadi, seorang mursyid tarekat Naksyabandiyah, sementra aliran kedua berasal dari Syekh Khalid al-Usmani al-Kurdi yang merupakan salah seorang mursyid tarekat Naksyabandiyah yang banyak melakukan modifikasi terhadap tarekat tersebut. Aliran kedua inilah yang dikembangkan oleh Syekh Ismail al-Minangkabawi. Upaya pengembangan tarekat itu tidak hanya terbatas di kampungnya saja, tapi meluas hingga keluar wilayah Sumatra Barat. Sastrawan terkenal, Raja Ali Haji menyebut dalam bukunya bahwa Syekh Ismail al-Minangkabawi sering datang ke kerajaan Melayu Riau ketika ia menjadi raja muda Riau. Bahkan, seringkali dia sendiri yang menjemput Ismail al-Minangkabawi di pelabuhan dan kemudian membawanya ke istana. Kemudian, hampir seluruh kerabat keluarga istana berkumpul untuk mendengarkan nasehat dan wejangan dari ulama terkemuka itu. Di samping karena keluasan wawasan pengetahuannya, Ismail al-Mingangkawabi juga begitu dihormati di wilayah kerajaan Melayu Riau karena di silsilah keturunannya dia memiliki pertalian darah dengan orang-orang Melayu dan Bugis di Pulau Penyengat dan di Negeri Sembilan. Buya Hamka dalam bukunya Dari Perbendaharaan Lama, bahwa Raja Muhammad Yusuf (1858-1899) yaitu yamtuan muda Riau dari keturunan Bugis, menambahkan al-Khalidi di ujung namanya. Hal tersebut sekaligus menandakan bahwa dia adalah pengikut